Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Palapa Sampai Teler Kenapa Sampai Teler

Pengoperasian Palapa B-I & kesibukan di stasiun pengendali utama (SPU) Cibinong. Penyebab bergesernya Palapa B-I & upaya perbaikan. Jaringan terestrial segera dibangun.(nas)

7 September 1985 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

AKHIRNYA, satelit Palapa B-1 kembali ke "kapling"-nya, Senin pagi pekan ini. Para petugas di Stasiun Pengendali Utama (SPU) Cibinong pun banyak yang bernapas lega. Maklum, usaha mengembalikan satelit yang bergeser ini memakan waktu 75 Jam, dan selama itu mereka terus bertugas dengan tegang. Menjaga sebuah satelit geostationer seperti Palapa agar tetap berada di tempatnya memang bukan pekerjaan gampang. Tak heran jika diperlukan peralatan serba mutakhir, seperti komputer, yang harus dilayani tenaga terdidik. Sebab, satelit seberat 625 kg itu harus tetap berada pada kaplingnya: Sebuah bujur sangkar dengan sisi sekitar 70 km pada ketinggian 36 ribu km di atas Kota Pontianak. Atau secara teknis dikatakan, Palapa hanya boleh bergeser di antara 107,95 Bujur Timur (BT) dan 108,05 BT, serta 0,05 derajat di atas atau di bawah bidang khatulistiwa. Agar kedudukan benda angkasa ini tetap stabil, tubuh Palapa yang berbentuk silinder ini berputar seperti gasing. Dengan demikian, dinding "drum" yang dipenuhi solar cell ini bergantian menerima sinar matahari untuk diubah menjadi tenaga listrik. Di ruang angkasa, sebuah benda yang hanya satu sisinya menerima sinar matahari akan terbakar, sedangkan sisi lainnya akan membeku. Walaupun dari bumi satelit Palapa terlihat seolah-olah diam, sebenarnya ia bergerak dalam sebuah orbit lingkaran dengan kecepatan lebih dari 10.000 km/jam. Dalam keadaan demikian, terdapat keseimbangan antara gaya-gaya mekanika yang bekerja pada Palapa. Alhasil, perangkat telekomunikasi ini seharusnya tetap terapung di titik keseimbangan itu. Paling tidak, demikianlah perhitungan teoretisnya. Hanya, dalam kenyataan - seperti umumnya terjadi - terdapat beberapa gangguan terhadap keseimbangan ini. Terutama dengan adanya gaya tarik matahari dan bulan. Akibatnya, satelit harus diperlengkapi dengan sistem untuk mengatasi gangguan itu. Pada Palapa B-1, sistem ini dikenal dengan nama Attitude Control System (ACS). Selain menjaga agar Palapa tak keluar dari kaplingnya tadi, ACS juga mengatur agar arah antena parabola satelit tetap tertuju tegak lurus ke Pontianak. Ini berarti, kedudukan "drum" harus tetap tegak lurus bidang khatulistiwa dan antena tak boleh ikut berputar seperti dinding luar silindernya. Untuk itu, bagian luar dan dalam satelit dihubungkan melalui suatu mekanisme tertentu yang dilengkapi sebuah motor. Dengan adanya motor, bila terjadi perubahan putaran, satelit dapat segera diperbaiki. Sebab, bila putaran melemah, maka - seperti layaknya sebuah gasing - satelit akan terguncang dari kedudukan tegak lurus terhadap bidang khatulistiwa. Dalam istilah teknis, guncangan seperti ini disebut nutation. Sedangkan perangkat motor untuk menghentikannya dikenal dengan nama DANDE (Despin Active Nutation Damping Electronic). Sadar bahwa Palapa akan berada di ruang angkasa selama sedikitnya delapan tahun, para perancangnya merasa perlu memberi pengaman tambahan selain DANDE. Soalnya, bila rusak, misalnya siapa pula yang bisa memperbaiki satelit ini di atas sana? Karena itu, ia ditambah lagi dengan Active Nutation Control (ANC), yaitu cara pengaturan keadaan satelit dengan mengandalkan empat buah jet di pantat Palapa. Dua buah dipakai untuk mempercepat atau memperlambat putaran (jet radial) dan dua buah lagi untuk mengatur tegak doyongnya (jet axial). Pengoperasian DANDE ataupun ANC dapat dilakukan baik secara otomatis maupun dari stasiun bumi secara manual. Untuk mengetahui apakah terjadi guncangan atau tidak, Palapa dilengkapi dengan accelerometer. Ini adalah sebuah alat yang mendeteksi percepatan yang terjadi. Secara sederhana dapat dimisalkan seperti sebuah bandul (pendulum) yang akan bergerak berlawanan dengan arah percepatan yang dialaminya. Semakin besar percepatan yang terjadi, semakin jauh gerakan bandul. Maka, semakin besar pula semburan jet yang keluar secara otomatis untuk menormalkan posisi satelit. Accelerometer inilah yang sekarang dituduh sebagai biang keladi bergesernya Palapa. Dakwaan ini dilontarkan Menteri A. Tahir dalam jumpa pers Senin lalu. "Kerusakan pada accelerometer menyebabkan jet bekerja hingga Palapa bergeser," katanya. Hanya saja, hingga tulisan ini di turunkan, Senin malam, belum diketahui apa yang menyebabkan accelerometer ini memberi perintah palsu kepada jet radial nomor dua yang terletak di pantat satelit tadi. Beberapa teori memang sempat beredar. Seorang pejabat Perumtel menduga terjadi kebocoran pada tempat cairan yang membungkus pendulum accelerometer. "Akibatnya, alat ini mencatat guncangan yang lebih besar dari sebenarnya hingga jet yang disemprotkan terlalu banyak," katanya. Tapi, beberapa ahli lain kurang sependapat. "Saya kira, kerusakan terdapat pada peralatan elektronik, bukan mekanik," kata Larry D. Ohlrogge, kepala perwakilan Hughes Aircraft System International di Jakarta. Insinyur elektro ini sempat tiga hari tak pulang ke rumah ketika membantu operasi penyelamatan Palapa. Toh tenaga ahli yang sudah bekerja di Hughes selama 18 tahun ini tak bisa memastikan penyebab yang pasti. "Saya harus memeriksa dahulu semua data yang ada dan menganalisa dengan tenaga ahli lainnya," katanya kepada TEMPO. Konon, pihak Hughes cukup terguncang dengan peristiwa ini, karenanya memberi perhatian terhadap kasus ini dengan serius. "Soalnya, kami telah memasang 30 sistem yang sama sejak belasan tahun lalu tanpa ada gangguan," kata Larry. Keseriusan ini tampak betul ketika Larry mencoba menangani pergeseran Palapa, Jumat minggu lalu. Tiba di SPU Cibinong sekitar pukul 9.30, ia segera mencoba melokalisasikan permasalahan. Begitu tahu ada pergeseran satelit, ia segera menghubungi markas besar Hughes di AS. Bahkan sarana pengawasan antariksa angkatan udara AS, Norad, diminta bantuan melokalisasikan satelit yang hanyut ini. "Kebetulan, Hughes sedang menggunakan jasa Norad untuk menjejaki peluncuran satelit kami dengan pesawat ulang alik," katanya menjelaskan. Dengan demikian, posisi dan keadaan Palapa segera diketahui. Padahal, bila cuma mengandalkan SPU Cibinong, menurut Larry, informasi ini baru bisa didapat 24 jam kemudian. Rupanya semburan jet radial nomor dua, yang mendapat perintah palsu accelerometer, menyebabkan satelit tak cuma keluar dari kaplingnya, melainkan juga keluar dari bidang khatulistiwa. Tepatnya berada pada bidang Inklinasi yang membentuk sudut 0,6 derajat dengan bidang khatulistiwa itu. Keadaan ini menyebabkan keadaan satelit tidak lagi sinkron dengan perpu-taran bumi. Alhasil, Palapa pun mulai hanyut ke barat dengan kecepatan 1 derajat setiap hari. Perlambatan putaran satelit juga menyebabkan Palapa tidak lagi tegak lurus dengan bidang orbitnya, melainkan membungkuk 10 derajat. Langkah pertama yang dilakukan SPU Cibinong adalah mematikan accelerometer yang teler itu dan memindahkan posisi pengaturan secara otomatis ke manual. Tidak berarti ACS otomatis tak dapat digunakan kembali. Alasan: tersedia sebuah accelerometer lainnya. Dalam perangkat teknologi vital seperti satelit memang selalu dise diakan komponen cadangan. Justru komponen cadangan ini, menurut seorang ahli yang mengaku turut merancang Palapa B-1, "Merupakan titik lemah satelit". Menurut pengalamannya, prosedur pemberian perintah komputer bagi Palapa seri B selalu dalam dua tahap. Tahap membuka kunci kode (enabling) dan baru diikuti dengan tahap memberi kode perintah (execute). Ia menduga jet radial nomor dua itu pernah menerima perintah membuka kunci tadi tak jadi diikuti dengan perintah menjalankannya, "Lalu petugas lupa memberi perintah untuk 'menutup' kembali kunci elektroniknya", kata bekas karyawan Hughes ini berteori. Nah, ketika ada perintah untuk sistem lain, bagian yang tak terkunci ini - karena terbuka - dapat menyangka perintah itu ditujukan padanya. Dalam kejadian Jumat subuh itu ada kemungkinan jet radial nomor dua yang sudah terbuka itu merasa menerima perintah, dan otomatis menyala. Ia cukup yakin dengan pendapatnya, "Karena ini memang kelemahan satelit jenis Palapa B". Tapi untuk membuktikannya ia merasa perlu memeriksa daftar perintah dari SPU yang ada. Padahal, daftar itu panjang sekali. Adakah yang teledor di SPU Cibinong? Larry sendiri merasa yakin kesalahan terjadi di satelit. "Pasti bukan karena kesalahan perintah dari SPU", katanya. Karena itu, dengan mematikan accelerometer yang teler tadi ia yakin pergeseran satelit keluar dari kaplingnya tak akan terulang. Tentu saja banyak pihak yang berharap demikian. Tapi, Menteri A. Tahir sendiri mengatakan, "Saya tak menjamin hal ini tak akan terjadi lagi". Yang jelas, adanya peristiwa seperti ini mengakibatkan usia pakai Palapa berkurang sekitar 2 bulan. Padahal, dalam dua bulan Palapa bisa menghasilkan sekitar Rp 60 milyar buat Perumtel. Memang usia pakai sebuah satelit sangat bergantung pada bahan bakar jet satelit itu. Palapa B-1 membawa bekal sekitar 485 pon dan penggunaan selama ini diperkirakan 60 pon setahun. Soalnya, boleh dikatakan setiap empat minggu bahan jet digunakan untuk menyempurnakan kedudukan satelit. Tinggal berapa pandai para petugas SPU mengefisienkan penggunaan jet ini. Larry sendiri cukup yakin pada akhirnya Palapa B-1 dapat beroperasi hingga sembilan tahun. "Soalnya, Palapa A-1 dan A-2 cuma dirancang untuk tujuh tahun ternyata bisa bekerja sampai sembilan tahun", katanya berkilah. Namun, tak berarti bahwa si A-2 itu misalnya boleh ngendon terus di orbitnya. Diperkirakan Palapa A-2 harus dibuang dari orbit geostationer bulan November nanti. Sementara itu, Palapa B-3 baru akan diluncurkan bulan Juni tahun depan. Artinya, sistem SKSD Indonesia hanya akan mengandalkan Palapa B-1 saja selama selang waktu itu tanpa ada cadangannya. Sebuah satelit geostationer harus dibuang dari orbit ketika bahan jetnya tinggal empat pon lagi, yaitu bahan jet minimal untuk membuang satelit dari orbitnya. Kalau tak cepat dibuang, satelit yang sudah jadi barang bekas itu hanya akan memenuhi tempat yang mestinya bisa dimanfaatkan untuk satelit yang masih aktif. Pembuangan ini perlu dilakukan karena tak ada tempat lain bagi satelit geostationer selain di bidang khatulistiwa pada ketinggian 36.000 km dari bumi. Dengan keadaan teknologi saat ini saja, diperkirakan setiap satelit membutuhkan daerah selebar dua derajat agar tak saling ganggu dengan satelit sebelahnya. Artinya, di daerah itu hanya tersedia tempat bagi 180 satelit. Tak heran jika daerah ini menjadi ajang rebutan. Itulah sebabnya dibentuk badan internasional untuk mengatur pemanfaatan wilayah yang strategis ini. Indonesia beruntung telah mendapat jatah tiga tempat, yaitu pada 108 BT yang sudah ditempati B-1, 113 BT untuk calon tempat B-3, dan 118 BT yang masih belum dipakai. Soalnya, untuk meminta tempat baru biasanya membutuhkan waktu lebih dari dua tahun. Wajar kalau Muangthai mengurungkan niatnya membeli satelit Palapa B-2 bekas milik Indonesia yang kini ditawarkan sebuah konsorsium asuransi, pemiliknya yang baru. Harga satelit Palapa B, menurut Perumtel, hampir mencapai 40 juta dolar AS. Belum termasuk ongkos peluncurannya yang sekitar 9 juta dolar dan asuransi sekitar 3 juta dolar. Karena itu, usaha penyelamatan hanyutnya Palapa B-1 dilakukan secara hati-hati. Mula-mula satelit ditegakkan dahulu, kemudian sudut inklinasinya diperbaiki. "Ternyata, ketika ini dilakukan, satelit semakin hanyut ke barat", kata Larry. Maka, jet pun dinyalakan untuk mendorong kembali satelit ke timur. Olah gerak ini terus-menerus dilakukan hingga semua data yang diterima SPU menyatakan bahwa Palapa kembali normal. Tentu saja olah gerak yang dilakukan tidak sembarangan. "Dihitung bersama di Cibinong dan di AS, kalau cocok baru digunakan," kata A. Tahir. Terguncangnya sistem telekomunikasi nasional akibat peristiwa ini membuka kesadaran baru bagi banyak pihak. Betapa besar sebenarnya ketergantungan yang diciptakan oleh teknologi tinggi. "Kita selama ini terpukau oleh suksesnya Palapa A-1 dan A-2 yang tak pernah rewel", kata A. Tahir dalam pertemuan pers Senin pekan ini. "Kini kita sadar betapa perlunya mempersiapkan sistem penunjang yang lain," katanya mengambil hikmah dari musibah itu. Proyek jaringan terestrial dengan microwave di lintas Kalimantan dan Sulawesi pun tiba-tiba mendapat perhatian yang lebih besar. "Kita lihat apa bisa dipercepat." Prof. Dr. Iskandar Alisjahbana, salah seorang pelopor lahirnya SKSD Palapa, menganggap baik sekali jika sistem terestrial dibangun untuk menunjang sistem satelit. "Asal saja ada uangnya," katanya. Bambang Harymurty Laporan biro Jakarta

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus