PERISTIWA itu terjadi Jumat pagi pukul 04.20, 30 Agustus 1985. Waktu itu Ruang Pengendali Utama Satelit Palapa di Stasiun Pusat Cibinong, Jawa Barat, sepi. Tak ada kesibukan yang berarti. Mendadak, sistem telemetri yang memonitor "kesehatan" Palapa mengeluarkan alarem karena menangkap sinyal yang lebih lemah dan yang seharusnya. Sesuatu sedang terjadi pada Palapa B-1. Dalam suasana mengantuk, para petugas dari kelompok A itu segera berusaha mengatasi keadaan. Dari sejumlah indikator, diketahui bahwa terjadi guncangan pada Palapa, dan antena satelit dalam keadaan miring. Sinyal makin lemah. Kemudian diketahui, jet ralial nomor dua - yang berfungsi untuk menggeser sambil menegakkan satelit - mengeluarkan semburan. Ini diketahui dari turunnya tekanan hidrogen dan naiknya temperatur akibat nyala jet. Di sisi bagian pantat Palapa terdapat empat buah thruster atau jet. Dua buah jenis axial dan dua lainnya radial. Fungsi mereka untuk memberikan gaya pada satelit. Gaya menggeser bila satelit lari dari jalur orbitnya (pada 108 BT), serta gaya memutar (ke segala arah) bila satelit berubah dari kedudukannya yang seharusnya, yakni 90 (tegak lurus) terhadap khatulistiwa. Usaha pertama adalah menegakkan kembali satelit dengan menembakkan jet-jet yang lain. Ternyata, berhasil. Tapi pergeseran akibat ledakan jet radial nomor dua tadi tak terkendali. Perlahan-lahan, sinyal tak teraba lagi. Kepanikan pun mulai menyebar. Ruangan yang bersuhu tetap 20C itu tiba-tiba terasa gerah. "Semua wajah tampak tegang. Maklum, baru pertama kali ini kejadian seperti itu terjadi," cerita seorang petugas. Larry D. Ohlrogge, tenaga ahli Hughes Aircraft System International (HASI) yang ditempatkan di Indonesia, mendapat pemberitahuan lewat telepon pukul 8 pagi, Jumat lalu. Ia segera ke Cibinong. "Sekitar pukul 9.30 saya sampai ke sana," cerita insinyur elektro lulusan Midwest State University, Amerika Serikat, ini. Dari laporan ia tahu bahwa terjadi sesuatu pada satelit, hingga hubungan normal tak bisa dilakukan sama sekali sejak pukul 7.20. "Memang, kerusakan dimulai pukul 4.30, tetapi stasiun bumi masih berfungsi hingga pukul 7.20," kata Larry. Setelah kemungkinan sumber kerusakan dilokalisasikan, Larry segera menghubungi markas besarnya di AS, dan meminta bantuan Norad (badan pengawas ruang angkasa AS), yang memiliki peralatan canggih untuk memonitor semua benda ruang angkasa yang ada. Dari laporan Norad diketahui bahwa Palapa keluar dari kaplingnya. "Arah keluar itu tak tentu," ujar Larry. Maksudnya, satelit bukan cuma bergerak ke barat saja, tapi juga keluar bidang khatulistiwa. Maka, mulailah para ahli di Cibinong dan di Amerika Serikat melakukan perhitungan untuk melakukan manuver guna mengembalikan satelit ke kaplingnya. Selain itu, muncul berbagai dugaan tentang asal terjadinya penyalaan jet liar itu (Lihat Kenapa Bisa Teler). Akibat bergesernya Palapa ini, segala hubungan komunikasi yang menggunakan SKSD (Sistem Komunikasi Satelit Domestik) terputus sama sekali. Itu terjadi sejak Jumat pagi pukul 7.20, walau di beberapa daerah terputusnya hubungan itu terjadi lebih cepat. Di SBB (Stasiun Bumi Besar) di Tembung, 4 km dari Medan, dua petugas yang sedang memonitor kegiatan di Stasiun Pusat Cibinong melalui sinyal Palapa B-1 tiba-tiba melihat bintik-bintik halus pada gambar, dan ada nada suara bergema di layar kontrol. Mereka makin kaget ketika gambar dan suara tersebut pelahan-lahan mulai menghilang. Mulai pukul 6.00 Jumat itu, hubungan dengan Cibinong pun terputus. Pimpinan SBB Tembung lalu menginstruksikan agar alat penerima sinyal digerakkan ke arah timur, dan sinyal kembali dapat dimonitor, walau sedikit. "Ketika itulah baru diketahui, kedudukan orbit satelit Palapa B-1 bergeser," cerita sebuah sumber di SBB Tembung. Pergeseran Palapa, yang mengakibatkan terputusnya semua komunikasi ini, merupakan kejadian pertama sejak Indonesia memiliki satelit pada 1976. Satelit Palapa B-1 ini diluncurkan dan dioperasikan sejak 20 Juni 1983, menggantikan satelit Palapa generasi A-1 dan A-2, yang harus dipensiun setelah tujuh tahun bertugas. Di masa Palapa A-1 dan A-2 beroperasi tidak-pernah terjadi gangguan yang berarti. Tapi tergesernya Palapa B-1 kini cukup menimbulkan kekacauan karena Palapa B-2, yang sebetulnya bisa digunakan sebagai cadangan, gagal mencapai orbitnya tatkala diluncurkan Februari tahun lalu. Akibat tidak adanya satelit cadangan itulah kekacauan terjadi. Untungnya, Palapa A-2, yang seharusnya sudah uzur, masih bisa dimanfaatkan, terutama untuk beberapa negara ASEAN yang selama ini turut memakai jasa Palapa B-1. Yang paling dirasakan masyarakat luas akibat tergesernya Palapa B-1 adalah terputusnya siaran televisi di sebagian wilayah Indonesia. Pada pukul 13.45 Jumat lalu, Ditjen Pos dan Telekomunikasi memberi tahu Ditjen Radio, Televisi, dan Film tentang musibah Palapa B-1. "Kami langsung memberi tahu daerah," kata Dirjen RTF Subrata. Kepada enam stasiun daerah - Yogyakarta, Surabaya, Denpasar, Medan, Palembang dan, Ujungpandang - segera diinstruksikan untuk memakai jalur microwave. "Di Balikpapan dan Manado terpaksa dilaksanakan siaran lokal, dan paket pusat tak disiarkan," tutur Subrata. Khusus untuk stasiun Manado dan Balikpapan (juga Ujungpandang) seluruh acara TVRI pusat sejak Jumat malam direkam dan dikirim ke kota-kota itu lewat pesawat terbang. Karena tiadanya hubungan teleks dan telepon ke daerah yang belum terjangkau microwave, TVRI menitip pesan lewat siaran RRI tentang kerusakan Palapa. Di Ujungpandang, Adi Kasno, kepala TVRI stasiun setempat, segera membongkar perpustakaan video tape materi siaran, yang sudah atau yang belum disiarkan. "Dari materi yang ada itu kami menyusun paket siaran untuk Jumat malam itu," kata Adi Kasno. Untunglah, hubungan cuma terputus selama tiga jam. Pada pukul 20.10 WIT, hubungan melalui saluran microwave tersambung, hingga penonton televisi persis dapat mengikuti penjelasan Menparpostel A. Tahir mengenai tergesernya Palapa B-1. Di Banda Aceh, Haji Harun Keuchik Leumiek mengeluh tatkala Jumat malam pekan lalu dari televisinya cuma terdengar suara musik dan lagu, tapi tanpa gambar. Pedagang emas itu mengira televisinya rusak. Tapi semua televisi tetangganya ternyata terkena musibah serupa. Baru setelah esoknya menghubungi Ali Birga, kepala Stasiun Relay TVRI Banda Aceh, Harun mengetahui nasib Palapa. Suara musik yang bergema sepanjang jam siaran TVRI? "Sayalah yang menyuruh memutar lagu-lagu itu sebagai selingan," kata Ali Birga seperti dikutip Harun. Di Malaysia, siaran RTM (Radio - Televisyen Malaysia) saluran II (untuk Sabah dan Serawak) terpaksa hilang selama tiga setengah jam Jumat itu karena gangguan Palapa B-1 itu. Baru setelah Palapa A-2 dimanfaatkan, siaran RTM itu bisa diterima. Sedang siaran I cuma lenyap dari pandangan penonton Sabah dan Serawak selama satu jam, sebelum satelit Intelsat digunakan untuk menggantikan Palapa B-1. "Namun, acara siaran langsung Hari Kemerdekaan yang dipancarluaskan dari Malaka 31 Agustus silam - ini yang pertama - bisa terlaksana tanpa gangguan sedikit pun," kata direktur RTM Sabah, Tamimuddin Abdul Karim. Kalangan bisnis juga cukup direpotkan karena ulah Palapa B-1. Misalnya yang dialami M. Yusuf Hamka, presiden direktur PT Berau Timber. Karena terputusnya komunikasi, kedatangan kapal dari Surabaya ke Jakarta yang akan mengangkut kayu gelondongan ke Tanjungpinang tidak diketahui. Akibatnya, ketika kapal itu tiba Jumat pekan lalu, kayu yang akan diangkut belum siap, dan kapal harus menunggu. "Untuk itu kami harus membayar 2.500 dolar Amerika tiap hari selama kapal menunggu dua hari," kata Yusuf. Di bank-bank, musibah Palapa B-1 menyebabkan kelambatan pengiriman uang, terutama dengan cabang-cabang di Indonesia Timur yang belum terjangkau hubungan microwave. "Tetapi selisih dua tiga hari itu masih bisa di toleransikan, dan itu tidak mempengaruhi moneter," ujar Jusuf Wantah, presiden direktur Bank Arta Pusara. Untunglah, semua itu kini telah berakhir. Dengan wajah cerah Menparpostel Tahir Senin siang pekan ini mengumumkan, "Sejak pukul 7.35 pagi ini, sistem SKSD Palapa kembali normal setelah terganggu selama 75 jam." Musibah Palapa B-1, menurut Tahir, mengingatkan kembali perlunya sistem penunjang sebagai cadangan. Untuk itu, ia telah memerintahkan dipercepatnya pembangunan jaringan microwave lintas Kalimantan dan lintas Sulawesi. Berapa kerugian Perumtel akibat mandeknya sistem Palapa selama 75 jam? "Secara kasar dapat Anda hitung sendiri," sahut dirut Perumtel Willy Munandir. Jika 60-70 persen pendapatan Perumtel berasal dari Palapa, sedang pendapatan Perumtel per tahun Rp 612 milyar, kerugiannya di perkirakan Rp 3 milyar. Mungkin ada yang menganggapnya kerugian itu kecil, tapi betapa banyak pelajaran yang bisa diperoleh dari padanya. Susanto Pudjomartono Laporan biro-biro
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini