BUAH pikiran Mohamad Rasjidi akan tetap hidup, meskipun tokoh Muhammadiyah ini tutup mata, Selasa pekan silam, di Rumah Sakit Islam Jakarta. Beberapa contoh buah karya tokoh yang sejak beberapa waktu lalu menjalani perawatan di rumah sakit itu adalah Strategi Kebudayaan dan Pembaharuan Pendidikan Nasional, Kebebasan Beragama, Falsafah Agama, yang biasa mewarnai diskusi di bangku-bangku kuliah atau masjid-masjid di Indonesia.
Lahir di Kotagede, Yogyakarta, 20 Mei 1915, Rasjidi bukan cuma piawai dalam berceramah dan menulis. Bapak tiga anak ini juga tangguh dalam meladeni debat ilmiah. Mantan Menteri Agama Indonesia, Munawir Sjadzali, pernah menulis, "Demi ilmu, beliau tidak segan untuk 'bertengkar' ilmiah dengan sahabat-sahabat dekatnya." Penilaian ini tidak berlebihan bila menengok ke belakang pada polemik yang menghangat antara Rasjidi dan Nurcholish Madjid tentang sekularisasi, atau jika menyimak koreksinya terhadap bekas Rektor IAIN Jakarta, Dr. Harun Nasution.
Kemampuan intelektual Rasjidi mulai terlihat menonjol sejak belia. Kecerdasan putra kedua dari Atmosudigdo ini mengantarkannya ke Fakultas Filsafat Universitas Kairo, Mesir. Gelar doktor filsafat Islam berhasil Rasjidi rengkuh melalui tesisnya, L'evolution de l'Islam en Indonesie ou Consideration Critique du Livre Centini, di Universitas Sorbonne, Paris, pada 1956.
Tak sekadar di dunia intelektual. Semasa di bangku kuliah, Rasjidi juga menunjukkan minatnya pada dunia politik. Pada 1938, sepulang dari Kairo, mantan Direktur Islamic Centre, Washington, Amerika Serikat, ini aktif dalam Partai Islam Indonesia. Karirnya semakin meroket ketika menjabat sebagai Menteri Agama pertama Indonesia dalam kabinet Syahrir pada 1946.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini