SOAL pribumi dan nonpribumi ternyata dapat diperdebatkan dengan suasana yang dingin. Mungkin karena masalah yang sering dianggap peka ini dibicarakan ribuan kilometer dari Indonesia, seperti yang terjadi pekan lalu di Universitas Cornell, Amerika Serikat. Acara yang dihadiri sekitar 250 orang ini memang berjalan lancar dan damai. Tak ada pembakaran mobil atau pengeroyokan terhadap orang-orang yang "dosa"-nya semata-mata karena berwajah dan mempunyai budaya yang berbeda. Yang di Indonesia sering disebut sebagai warga keturunan Cina. Keberadaan mereka di Indonesia, yang sudah lebih dari seperempat abad ini diupayakan pemerintah untuk membaur, dijadikan bahan simposium. Yang dipertanyakan adalah: sejauh mana upaya ini sudah membawa hasil. Jawabannya ternyata tak mudah didapat. Maklum, warga keturunan Cina di Indonesia, yang diperkirakan sekitar 4 juta orang itu, ternyata bukanlah sebuah kelompok yang homogen. Walhasil, ada yang berhasil, yang diperkirakan Dr. Mely G. Tan dari LIPI berasal dari kelompok profesional. Berpendapatan menengah ke atas. Dan ada juga yang tidak, terutama bagi yang berasaldari kelompok berpendapatan rendah. Contoh yang berhasil itu diberikan oleh Edward S. Soeryadjaya, pimpinan kelompok Summa yang tampil sebagai pembicara. "Saya merasa identitas budaya saya lebih Indonesia daripada Cina," katanya. "Saya berbicara bahasa Indonesia di rumah, saya terbiasa makan makanan Indonesia, istri saya orang Jawa, dan saya tak bisa bahasa Cina," tambahnya. Edward mengaku sebagai generasi kelima keturunan Cina yang hidup di Indonesia. Adapun N. Riantiarno dari Teater Koma malah tak tahu ia berasal dari generasi keberapa. Wartawan majalah Matra ini hanya merasa sebagai orang Cirebon. "Saya sendiri tak tahu mengapa diundang sebagai pembicara, tapi karena dibayari ya saya datang," katanya. Simposium ini memang tak hanya disponsori oleh Universitas Cornell, melainkan juga yayasan Prasetiya Mulya, grup Summa, dan harian Kompas. Adapun Universitas Cornell memilih tema ini sebagai simposium rutin musim panas tentu ada sebabnya. Sejak tahun lalu, para pakar Indonesia di universitas yang terletak di Ithaca, 200 km dari New York, ini sudah menduga bahwa persoalan pembauran kelompok Cina akan mencuat. Pasalnya, rangkaian deregulasi yang dilakukan Pemerintah menyebabkan tumbuhnya konglomerat yang kebanyakan dimiliki keturunan Cina. Terbukti lebih dari 90% pemilik konglomerat yang dipanggil Presiden Soeharto ke Tapos Maret lalu berasal dari kelompok ini. Kehebatan mereka di sektor ekonomi, menurut Daniel Lev, "disebabkan karena sektor inilah satu-satunya yang terbuka luas bagi mereka." Lev mengutip hasil seminar Angkatan Darat 1966 sebagai salah satu indikasi. Yakni ketika seminar menyarankan agar peran kelompok keturunan Cina dibatasi di bidang ekonomi saja. Daniel Lev yakin, "Kalau pembatasan ini dihilangkan, konsentrasi kelompok ini di sektor ekonomi akan berkurang." Untuk memperkuat pendapatnya tersebut, Lev mengutip pengalaman Amerika Serikat dengan penduduk keturunan Yahudinya yang tak lagi berkonsentrasi di sektor perdagangan eceran setelah peraturan yang membatasi mereka masuk ke sektor lain hilang. Pendapat Lev ini tak sepenuhnya disetujui oleh Leo Suryadinata. "Ini memerlukan waktu karena konsentrasi kelompok ini di sektor ekonomi sudah berlangsung sangat lama hingga sudah established," katanya. Bagi Leo ada yang lebih penting untuk dipermasalahkan. Yaitu apakah strategi pembauran selama ini, yang mengandalkan pada pengurangan kecinaan seseorang, memang ampuh atau justru berbahaya. "Soalnya, semangat etnis sedang bangkit di seluruh dunia," katanya. Sedangkan strategi pembauran, menurut Harry Tjan Silalahi, Wakil Ketua Bakom PKB (Badan Komunikasi Penghayatan Kesatuan Bangsa), "Pembauran dianggap berhasil jika kecinaan seseorang melenyap dan kemudian menyatu pada karakter utama Indonesia." Sedangkan seseorang dianggap Indonesia asli, berdasarkan definisi Harsya Bachtiar, "jika seseorang sudah merasa sebagai orang Indonesia dan diterima keindonesiaannya itu oleh lingkungannya." Upaya ini tentu mengundang kritik. Terutama dari pihak yang beranggapan penanganan masalah Cina ini bukanlah melalui pembauran, melainkan melalui pengakuan budaya etnis Cina itu sebagai sebuah suku bangsa seperti suku lainya di Indonesia. Pendapat ini, yang disokong oleh Dr. Daniel Lev dari Universitas Cornell, bukanlah pendapat baru. Tiga dekade silam persoalan ini memang sempat ramai. Ketika itu Baperki, organisasi warga keturunan Cina yang berafiliasi dengan kelompok kiri, mengajukan ide pengakuan warga keturunan Cina sebagai salah satu suku bangsa Indonesia. Sedangkan kelompok lain, yang umumnya didukung generasi muda serta ABRI, mengajukan cara pembauran. Ketika Baperki dibubarkan karena dianggap berafiliasi dengan PKI, 1966, maka strategi pembauran pun dijalankan pemerintah Orde Baru. Keengganan untuk dianggap mempunyai hubungan dengan Baperki menyebabkan pihak yang lebih menyukai dianggap sebagai suku pun memlih diam. Tapi kini, lebih dari seperempat abad kemudian, perdebatan ini agaknya bukan lagi dianggap tabu. "Kita kan tak mungkin memerangi sebuah kebudayaan," kata Onghokham yang menganggap kebudayaan Cina justru perlu dipakai untuk memperkaya budaya bangsa. "Tapi saya setuju kalau sekolah Cina dilarang, lo," tambahnya. Menghadapi dunia yang semakin kompetitif di bidang ekonomi, tampaknya pendapat ini patut juga dikaji. Sebab, seperti pernah dikatakan Sutan Takdir Alisjahbana, "Yang diperlukan adalah mencinakan orang Indonesia dan bukan sebaliknya." Takdir tidak hadir di simposium ini. Bambang Harymurti (Ithaca)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini