Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Komisi Pemilihan Umum telah menerima laporan penerimaan sumbangan dana kampanye dari 12 partai politik peserta Pemilu 2014, Jumat, 27 Desember 2013. Partai Gerindra menerima dana kampanye terbesar, Rp 144 miliar. Sumbangan ke Gerindra hampir dua kali lipat Partai Golkar, yakni Rp 75,037 miliar. Partai Golkar pernah "menikmati" predikat "partai kaya" dalam beberapa pemilu.
Majalah Tempo edisi 11 April 1992 mengulas soal partai melarat dan konglomerat. Ketika itu, kampanye Pemilu 1992 tinggal dua bulan lagi. Tapi kantong Partai Demokrasi Indonesia masih kempis. Tatkala peserta pemilu lain mulai sibuk membuat kaus, spanduk, tanda gambar, stiker, dan berbagai perlengkapan kampanye, PDI boleh dibilang masih "santai-santai" saja. "Kami tak ada duit," kata Ketua PDI Jakarta Alex Asmasoebrata.
Seperti dalam pemilu yang sudah-sudah, dalam Pemilu 9 Juni nanti pun PDI masih mengandalkan dana pemerintah Rp 250 juta bagi pengurus pusat untuk kampanye. Menurut Sekretaris Jenderal PDI Nico Daryanto, uang itu didepositokan dan kini menjadi Rp 331 juta. Nantinya untuk semua pengurus daerah akan dibagi Rp 25-70 juta. Padahal untuk keperluan kampanye di Jakarta saja dibutuhkan biaya tak kurang dari Rp 1,9 miliar.
Namun partai "miskin" itu memang kreatif mencari dana. Pekan lalu, misalnya, PDI Jakarta membuka "Dompet Pemilu", seperti dompet bencana alam. "Kami tak melihat besar-kecilnya sumbangan. Kendati cuma 50-100 perak, kami tetap menerimanya dengan tangan terbuka," ujar Alex. Cara ini pernah dilakukan Partai Banteng pada Pemilu 1987. Dan kabarnya ratusan juta rupiah bisa digaet.
Lain halnya dengan Golongan Karya, yang terbilang banyak duit. Uangnya mengalir dengan deras. Sumbernya sebut saja beberapa anggota dan simpatisan dari kalangan pengusaha besar, seperti Anthoni Salim, Aburizal Bakrie, dan Hutomo Mandala Putra. "Baru tiga kali mengadakan dinner party dengan para pengusaha kader Golkar di Hotel Hilton, kami mendapat Rp 50 miliar," kata salah seorang Ketua Golkar, Jakob Tobing. Belum lagi acara serupa yang digelar pengurus daerah untuk merogoh kocek pengusaha setempat.
Menghadapi pemilu mendatang, Golkar menyiapkan dana lebih dari Rp 100 miliar, atau lebih dari separuh anggaran Pemilu 1992 untuk Panitia Pemilihan Indonesia. Artinya, dana Rp 250 juta dari pemerintah bagi Golkar mungkin cuma seperti "uang jajan". Sebab, di kantongnya sudah tersedia Rp 100 miliar, yang sebagian besar akan disalurkan ke daerah untuk membantu acara di daerah, dari komisariat di desa sampai provinsi. "Pengurus pusat paling hanya memakai 20 persen. Itu pun untuk perjalanan dinas dan cadangan," kata Jakob.
Dengan jumlah anggota terbesar dan potensial untuk sumber dana, tampaknya dompet Golkar tak bakal kempis. Anggota Golkar 32,4 juta orang—26,8 juta di antaranya punya nomor anggota—minimal tiap orang membayar iuran Rp 100. Lalu masih ada sejuta kader fungsional, sebagian adalah pengusaha. Di luar itu, dana mengalir dari Yayasan Dakab (Dana Abadi Bhakti) tak kurang dari Rp 70 juta sebulan untuk menggerakkan organisasi.
Gaya Partai Persatuan Pembangunan lain lagi. Meski tak lebih kaya ketimbang PDI, PPP tak memakai acara buka dompet. "Kami berjalan bagaikan lembaga pengajian yang berprinsip swasembada," kata Sekretaris Jenderal PPP Matori Abdul Djalil.
Maksud Matori begini: "Pokoknya jalan, ya, jalan. Kalau kurang duit, ya, kita cari." Besarnya dana, menurut Matori, tak dipikirkan PPP karena masyarakat mempunyai peran penting dalam menyumbangkan dana dan tenaga. Misalnya, beban untuk menyelenggarakan suatu kampanye di desa bisa ditekan lantaran sarana kampanye, seperti panggung dan seragam, disediakan masyarakat. "Setiap ada kampanye, orang berbondong-bondong datang menyerahkan bambu dan beras," katanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo