Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Langkah Kejaksaan Agung yang selama sepuluh bulan terakhir berkeras menolak perkara selebritas Raffi Ahmad bukanlah perkara sepele. Penolakan itu membuat upaya menjerat para pengedar narkotik dan obat berbahaya (narkoba) jenis baru, seperti metilon yang ada di rumah Raffi, menemukan jalan buntu. Padahal narkoba jenis baru inilah yang sekarang membanjiri Indonesia.
Perkara Raffi Ahmad bukan kasus narkoba biasa. Badan Narkotika Nasional (BNN) menangkap Raffi pada Ahad dinihari, 27 Januari 2013, di rumahnya di Lebak Bulus, Jakarta Selatan. Penyidik menemukan jejak pesta narkoba (berupa 14 pil metilon dan dua linting ganja). Metilon inilah yang membuat BNN seperti tak berkutik. Sejak Februari tahun lalu, berkas Raffi tujuh kali bolak-balik ke Kejaksaan Agung, tapi selalu ditolak.
Alasan jaksa sangat aneh, yakni zat psikotropik yang disita di rumah Raffi itu belum masuk daftar zat terlarang sesuai dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Walhasil, April lalu, BNN harus melepas Raffi.
Pandangan sempit Kejaksaan Agung itu sesungguhnya berbahaya. Metilon merupakan salah satu narkoba jenis baru yang kini banyak beredar di Indonesia. Metilon atau methylenedioxymethcathinone (MDMC) merupakan turunan dari katinona atau cathinone, zat psikotropik yang sudah dilarang undang-undang. Zat yang juga disebut si molly ini punya efek negatif seperti narkotik lain. Bahkan tingkat bahayanya masuk level 4, setingkat lebih tinggi daripada ekstasi. Beberapa negara di Eropa dan Amerika sudah melarang peredarannya. Jadi seharusnya tak ada alasan bagi Kejaksaan menolak berkas Raffi.
Lepasnya Raffi membuat BNN pusing. BNN tak bisa bergerak meski tahu peredaran narkotik baru ini terus meluas. Selain si molly, ada "ratu" pesta baru yang sedang naik daun, yakni asam lisergat dietilamida atau LSD. LSD digunakan sebagai pengganti putaw, sedangkan metilon untuk pengganti ekstasi. Pemakainya bisa berdansa, jejingkrakan lebih dari enam jam, tanpa lelah. Tim investigasi Tempo menemukan zat ini berasal dari Belanda, Jerman, Cina, dan Malaysia. Ada dua pintu masuk, yakni Batam dan Tanjung Priok.
Sungguh naif jika jaksa cuma berpegang pada daftar lama narkoba, yang tercantum pada undang-undang buatan 2009. Selama lima tahun terakhir ini sudah lahir zat-zat psikotropik baru. Mereka semestinya berkaca pada kasus Zarima Mir, 17 tahun lampau. Wanita jelita itu dicokok karena membawa 29.677 butir ekstasi. Perdebatan kala itu tak berbeda. Ekstasi belum diatur undang-undang. Namun polisi berhasil meyakinkan majelis hakim bahwa zat aktif ekstasi, methylenedioxymethamphetamine (MDMA), berbahaya. Walhasil, Zarima dihukum empat tahun penjara. Baru tiga tahun kemudian, MDMA masuk daftar zat terlarang dalam Undang-Undang tentang Narkotika.
Kejaksaan Agung, BNN, Kepolisian, dan Kementerian Kesehatan tak boleh loyo mengantisipasi ledakan peredaran narkoba-narkoba baru ini. Mereka harus bekerja sama membuat terobosan hukum, misalnya memakai undang-undang kesehatan, tak cuma mengandalkan Undang-Undang tentang Narkotika. Aturan tentang daftar zat terlarang juga mesti direvisi. Jika undang-undang masih ada cacat, pemerintah bisa segera menerbitkan peraturan pemerintah yang memuat daftar zat terlarang baru. Membiarkan masalah ini berlarut-larut sama dengan membiarkan bom waktu meledak.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo