Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Tak Cukup Satu Jokowi

6 Januari 2014 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

FENOMENA Jokowi menampar kalangan partai politik: mereka semestinya jeli mendeteksi calon presiden idaman publik. Kegagalan ini membuat hampir semua partai terkencar-kencar menyikapi elektabilitas Jokowi yang meroket. Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan bahkan belum bisa memutuskan apakah akan mencalonkan Jokowi pada pemilihan presiden 2014 atau tidak.

Mantan Wali Kota Surakarta itu sebelumnya tidak diperhitungkan dalam pertarungan politik nasional. Ketika maju dalam pemilihan Gubernur Daerah Khusus Ibu Kota, ia sempat hanya dipandang sebelah mata. Ternyata Jokowi tak bisa diremehkan. Setelah memenangi pemilihan Gubernur Jakarta pada Juli 2012, pamornya terus menggelimantang.

Popularitas pengusaha mebel itu menga­lahkan figur seperti Prabowo Subianto dan Aburizal Bakrie, yang telah lama menyiapkan diri sebagai calon presiden. Rekor ini muncul antara lain dalam hasil survei Centre for Strategic and International Studies (CSIS) yang digelar pada April 2013. Elektabilitas Jokowi mencapai 28,6 persen. Ia mengalahkan Prabowo (15,6 persen), Aburizal (7 persen), Megawati (5,4 persen), dan Jusuf Kalla (3,7 persen).

Hasil survei Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia yang dilakukan Mei tahun lalu juga menunjukkan tingginya elektabilitas Jokowi sebagai calon presiden. Ia mendapat 22,6 persen suara responden, disusul Prabowo (14,2 persen), Aburizal (9,4 persen), dan Megawati (9,3 persen). Jokowi semakin tak tertandingi dalam hasil survei CSIS pada November tahun lalu. Tingkat keterpilihannya mencapai 34,7 persen, jauh meninggalkan Prabowo (10,7 persen) dan Aburizal (9 persen).

Menghadapi fenomena itu, PDIP seharusnya tak ragu menjagokan Jokowi. Berdeging menyodorkan Megawati sebagai calon presiden dan hanya menjadikan Jokowi sebagai calon wakil presiden sungguh berisiko. Mega bisa keok untuk ketiga kalinya. Sebaliknya, mengusung Jokowi sebagai calon presiden akan menguntungkan karena akan berpengaruh besar terhadap perolehan suara partai.

Menurut hasil survei Indikator Politik Indonesia yang dilakukan Oktober tahun lalu, pencalonan Jokowi sebagai presiden sebelum pemilu legislatif 2014 akan mendongkrak perolehan suara PDIP. Partai ini diprediksi akan mendapat 37,8 persen suara, mengalahkan Golkar (14,6 persen), Gerindra (6,6 persen), dan Demokrat (5,4 persen). Sebaliknya, bila tak ada kejelasan mengenai pencalonan Jokowi, PDIP hanya mengantongi 21,6 persen suara, Golkar 17,5 persen, Demokrat 9,2 persen, dan Gerindra 9,1 persen.

Dengan menjual pamor Jokowi, PDIP akan menghemat biaya kampanye pemilu legislatif dan presiden. Partai ini juga tak perlu berkoalisi dengan partai lain untuk mengusung pasangan calon presiden dan wakil presiden bila memperoleh suara lebih dari 25 persen. Lebih penting dari itu, besarnya perolehan suara PDIP dalam pemilu legislatif akan memperkuat posisi politik presiden yang diusung partai ini.

Sikap gamang petinggi PDIP muncul karena Jokowi bukanlah figur yang sejak awal dipersiapkan sebagai calon presiden. Mengusung Jokowi sebagai calon presiden jelas mengubah konstelasi politik di dalam tubuh partai ini. Salah satu yang dikhawatirkan tentu saja: langkah itu akan membuat kekuasaan "trah Sukarno" berangsur surut.

Problem serupa dihadapi partai-partai lain. Kepentingan para petinggi partai politik cenderung bertolak belakang dengan keinginan rakyat. Partai-partai tetap mengusung tokoh seperti Prabowo, Aburizal, dan Wiranto. Padahal kriteria calon pemimpin idaman masyarakat telah berubah. Berdasarkan hasil survei Indikator Politik pada Oktober tahun lalu, kriteria jujur menempati peringkat tertinggi (51 persen), disusul perhatian kepada rakyat (24 persen), mampu memimpin (12 persen), tegas (7 persen), berwibawa (4 persen), dan pintar (1 persen).

Unggulnya kriteria jujur tidak perlu dipandang aneh. Di tengah korupsi yang merajalela, publik mendambakan pemimpin yang bisa dipercaya. Ini merupakan antitesis atas selera rakyat sebelumnya, yang menyukai pemimpin yang tampak gagah. Pergeseran selera rakyat ini semestinya diperhatikan partai politik. PDIP bisa memanfaatkan semaksimal mungkin figur Jokowi yang amat memenuhi kriteria idaman rakyat. Partai-partai pesaing pun bisa secepatnya mencari calon lain. Tentu masih banyak figur yang jujur, antikorupsi, dan peduli kepada rakyat.

Dengan begitu, andai kata PDIP mengusung Jokowi menjadi calon presiden, ia akan mendapat lawan yang lebih sepadan. Republik ini pun akan beruntung bila memiliki sebanyak mungkin calon pemimpin seperti Jokowi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus