SUATU pesta kecil di restoran Mitra, Bandung, berlangsung pekan lalu di tengah gerimis, dihadiri oleh para kerabat dan relasi. Acaranya: perpisahan dan perkenalan kepala biro Jawa Barat Majalah TEMPO. Yang dilepas adalah Amran Nasution. Ia memulai kariernya sebagai pembantu lepas (stringer) di Kisaran, Sumatera Utara, lalu pada tahun 1977 ditarik ke Medan, sebagai koresponden. Pada tahun 1980 ia, bersama keluarganya, "hijrah" ke Bandung, menjadi kepala biro Jawa Barat yang pertama. Kini ia mendapat tugas baru, sebagai kepala biro Jakarta, menggantikan A. Margana, melanjutkan pekerjaan yang selama tujuh tahun dipegang oleh Yusril Djalinus: koordinasi reportase. Sedang kedudukan Amran di Jawa Barat dipegang oleh Budiman S. Hartoyo, redaktur senior yang selama ini mengetuai tim buku TEMPO. Biro Jawa Barat lahir belakangan dari biro Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Sumatera Utara. Tapi selama tiga tahun, dengan teamwork yang baik, laporan cukup banyak mengalir dari Jawa Barat. Sekalipun "banyak" itu relatif. Gubernur Jawa Barat dalam sambutan tertulisnya misalnya berharap agar TEMPO "lebih banyak menyiarkan berita tentang Jawa Barat." Lahirnya sebuah biro sesungguhnya bukan hanya dimaksudkan untuk meliput kegiatan kedaerahan. Tapi untuk memudahkan pencarian dan penggalian berita dengan tujuan memperkaya isi tulisan di berbagai rubrik: Nasional, Ekonomi Bisnis, llmu Teknologi, Hukum, Kriminalitas, Pokok Tokoh, Pendidikan, dan sebagainya. Semua rencana pemberitaan, yang diputuskan dalam rapat pada hari Selasa, disebarkan oleh koordinasi reportase ke semua biro pada hari yang sama. Sehingga biro Jawa Timur, misalnya, pernah mencari berita, memperkaya suatu penugasan untuk biro Jawa Tengah. Dari sinilah kemudian ditulis laporan itu secara siap cetak, dan dikirim ke Jakarta. Teamwork pun tak hanya terjadi di tiap-tiap biro, tapi juga antarbiro itu sendiri. Setiap kepala biro, yang sesungguhnya merupakan "pemimpin redaksi" di daerahnya juga mempunyai jaringan pembantu tetap dan lepas di beberapa kota yang dianggap penting di daerah itu. Mereka langsung bertanggung jawab pada biro masin-masin. Mungkin ada yang bertanya: Kenapa biro Jakarta justru lahir paling belakang? Yusril Djalinus, sebelum "menyapih" lembaga koordinasi reportase (kini ia menjabat sebagai redaktur pelaksana), melihat perlunya dilakukan desentralisasi serupa di Jakarta. Maka, sejak beberapa waktu lalu, para reporter dan calon reporter di Jakarta tak lagi dibawahkan oleh koordinasi reportase, tapi oleh sebuah biro seperti di kota-kota lain. Pemakaian alat-alat komunikasi modern di tiap biro lebih memudahkan dan mempercepat pengiriman laporan "pusat", juga komunikasi antarbiro itu sendiri. Bersama dengan perlengkapan kantor dan staf yang selalu ditingkatkan, pertumbuhan biro-biro yang sudah melembaga itu banyak meringankan beban koordinasi di Jakarta, yang sampai sekarang masih langsung membawahkan jaringan koresponden TEMPO di luar negeri. Tapi bukan mustahil suatu hari akan lahir pula biro Eropa, Asia, dan Timur Tengah. Siapa tahu?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini