KECURIGAAN terhadap Indonesia masih tebal di Australia. Itu terungkap tatkala koran mingguan The National Times (TNT) akhir pekan lalu membocorkan suatu dokumen rahasia departemen pertahanan Australia. Di situ antara lain disimpulkan: Indonesia merupakan satu-satunya ancaman serius bagi Australia. Menurut TNT, naskah analisa pertahanan Australia yang disebut "Dokumen Perencanaan Basis Strategis" ini disusun suatu panitia pertahanan (Office of National Assesment) yang beranggotakan sejumlah pejabat tinggi, Agustus tahun lalu. Naskah itu konon telah diterima kabinet pemerintahan Partai Buruh yang sekarang berkuasa. Pengungkapan TNT, koran berbentuk tabloid setebal 60 halaman yang terbit di Sydney dengan sirkulasi lebih dari 100.000 itu, segera menimbulkan heboh. Di Parlemen, lan Sinclair, juru bicara pihak oposisi menyebut pembocoran dokumen itu suatu "pelanggaran sekuriti yang luar biasa." la menuntut pemerintah agar segera memberhentikan Menteri Pertahanan Gordon Scholes. Scholes sendiri akhir pekan lalu mengakui bahwa naskah itu telah dipertimbangkan Kabinet tahun lalu dan diterima sebagai petunjuk dengan tujuan untuk meninjau kembali perencanaan dan pengembangan pertahanan Australia. Perdana Menteri Bob Hawke akhirnya harus turun tangan. Di Parlemen, Senin pekan ini, Hawke menyatakan bahwa dokumen yang dibocorkan TNT itu bukan suatu beleid (policy paper), tapi hanya petunjuk. Menurut Hawke, salah bila pihak oposisi berasumsi bahwa naskah yang bocor itu persis seperti dokumen yang disetujui Kabinet. Kebocoran dokumen rahasia pertahanan Australia bukan pertama kali ini terjadi. Pada Maret 1981, pers Australia juga menghebohkan suatu dokumen yang bocor, yang ditulis pada pertengahan 1970-an. Yang menarlk, dokumen itu juga menyebut kemungkinan ancaman invasi Indonesia dan cara menghadapinya. Dalam beberapa hal, dokumen yang dibocorkan TNT kah ini memang mirip dengan dokumen yang lama. Mengenai kemungkinan ancaman Indonesia, dokumen itu antara lain mengulas: tampaknya Indonesia akan menjaga hubungan yang stabil dan baik dengan Australia, Papua Nugini, serta negara-negara Pasifik Barat Daya. Namun, beleid itu dapat berubah bila terjadi gangguan keamanan dalam negeri di Indonesia, yang kecil kemungkinan terjadinya, atau bila Indonesia kembali seperti masa avonturisme Soekarno, yang juga kecil kemungkinannya. Perubahan itu bisa juga terjadi bila suatu ketegangan politik yang serius berkembang antara RI dan Australia. Menurut studi itu, Indonesia saat ini dapat - dengan persiapan singkat serta menggunakan transportasi udara dan laut - menyebarkan tujuh batalyon yang diperlengkapi secara ringan untuk menyerang daerah teritorial Australia yang letaknya dekat Indonesia. RI dapat menggunakan kekuatan militernya untuk mengusik permukiman-permukiman terpencil, perkapalan pantai, dan sasaran lain di Australia Utara. Secara militer, keuntungan serangan ini memang tidak ada, atau sedikit. Tapi itu akan menunjukkan baha Australia mudah diserang, dan ini akan mempunyai dampak politik. Dengan cara itu, Indonesia dapat berharap memenangkan konsesi yang berhubungan dengan masalah yang dipertentangkan, atau untuk mendapatkan tujuan politik yang lebih luas. Dalam serangan untuk mengusik Australia, Kepulauan Christmas dan Cocos yang lebih dekat dengan Indonesia bisa menjadi sasaran. Meski kemampuan militernya saat ini sangat terbatas, Indonesia mungkin saja tiba-tiba menyerang kepulauan ini bila melihat ada nilai yang cukup dramatis dan menantang dari serbuan semacam itu. Mungkin Australia terpaksa menyerahkan kepulauan itu pada Indonesia. Dokumen itu juga melihat masalah perbatasan RI-PNG tetap merupakan hal yang peka bagi hubungan kedua negara. Setelah terjadi suatu krisis atau serangkaian insiden perbatasan, Indonesia mungkin akan memutuskan untuk memakai kekerasan dalam usaha mengubah kebijaksanaan PNG. Hal ini bisa dalam bentuk serangkaian serangan atau penyeberangan perbatasan yang terus-menerus. Syarat utama untuk mencegah konflik perbatasan itu adalah bila PNG mengambil kebijaksanaan guna mengontrol kegiatan di daerahnya yang dapat menimbulkan adanya penyeberangan dari Indonesia. Dokumen tadi menyatakan, Australia hendaknya menganjurkan PNG mengambil tindakan atau - bila keadaan memungkinkan - menindas kegiatan anti-RI oleh para pengacau Irian Jaya, dan supaya kehadiran PNG di daerah perbatasan secara berangsur-angsur ditingkatkan. Pakta pertahanan ANZUS (antara Australia, Selandia Baru, dan Amerika Serikat), ternyata, tak terlalu dipandang tinggi manfaatnya. Pakta itu diakui mempunyai pengaruh untuk mengendalikan Indonesia, serta menjamin dukungan diplomatis dan suplai AS. Meski begitu, perkembangan keadaan saat itu bisa membatasi keinginan dan kemampuan AS untuk membantu Australia jika suatu konflik terjadi. Meski dokumen yang bocor ini tidak diakui sebagai beleid pemerintah Australia menarik untuk dicatat: ketakutan terhadap Indonesia - yang lazim disebut Indophobia - ternyata terus menghantui Australia. Survei Morgan Gallup Poll yang disiarkan majalah Bulletin September 1982 menunjang dugaan ini. Hasil pengumpulan pendapat itu menunjukkan bahwa Indonesia menduduki tempat kedua (17%) setelah Rusia (26%), sebagai negara yang dianggap mengancam Australia. Duta besar RI untuk Australia, August Marpaung, cepat membantah. Dalam suatu wawancara televisi hari Minggu pekan ini, Marpaung menyatakan bahwa Indonesia merasa aman dan tenteram dalam hubungannya dengan pemerintah Australia sekarang. "Kami tidak akan membuang uang untuk senjata pertahanan dan strategis," katanya. Selama 15 tahun terakhir, konsentrasi Indonesia ditujukan pada pembangunan ekonomi. "Musuh utama Indonesia saat ini ialah kemiskinan," ujar Marpaung.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini