Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kutipan & Album

Bertengkar karena Vaksin

Vaksinasi kolera, tifus, dan paratifus massal dianggap menghadirkan ketenangan semu. Tingkat efektivitasnya hanya 30 persen. 

20 Maret 2021 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Bertengkar karena Vaksin

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Kepala Dinas Kesehatan Jakarta Herman Soesilo mengambil kebijakan melakukan vaksinasi kotipa massal untuk mencegah kolera.

  • Direktur Jenderal Pencegahan dan Pemberantasan Penyakit Menular Bahrawi Wongsokusumo menganggap vaksinasi tersebut tak efektif.

  • Upaya pencegahan kematian lewat penyuluhan pemberian larutan garam diare (oralit) tak berjalan.

MENTERI Kesehatan Budi Gunadi Sadikin menangguhkan penggunaan vaksin AstraZeneca menyusul kasus pembekuan darah pada puluhan penerima vaksin Covid-19 itu di Jerman, Italia, dan Prancis. Sikap ini sejalan dengan rekomendasi Badan Pengawas Obat dan Makanan untuk menangguhkan penggunaan vaksin sambil memperdalam kajian mengenai keamanannya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sementara itu, Badan Obat-obatan Eropa (EMA) melaporkan bahwa tidak ada indikasi pembekuan darah tersebut disebabkan oleh vaksinasi. “Manfaat vaksin jauh lebih besar daripada risikonya setelah sampai pada kesimpulan yang lebih jelas,” ucap Direktur Eksekutif EMA Emer Cooke, Rabu, 17 Maret lalu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Masalah vaksin juga memicu perselisihan pada 1977. Saat itu, kolera merebak di Jakarta. Sebanyak 48 orang yang meninggal karena penyakit tersebut menjadi rekor selama Republik berdiri. Kawasan Pasar Minggu, Jakarta Selatan, yang paling parah.

Ihwal perselisihan dalam laporan majalah Tempo edisi 20 Agustus 1977 berjudul “Vaksin: Ketenangan Palsu?” bermula dari silang pendapat Kepala Dinas Kesehatan Jakarta Herman Soesilo dengan Direktur Jenderal Pencegahan dan Pemberantasan Penyakit Menular Bahrawi Wongsokusumo. Saat itu Herman mengambil kebijakan mengadakan vaksinasi kolera, tifus, dan paratifus massal.

Namun Bahrawi menganggap upaya vaksinasi ini sia-sia belaka. “Terhadap muntah-berak yang diakibatkan virus, jelas vaksinasi itu tak berguna,” kata Bahrawi. Vaksin itu dianggap hanya efektif menimbulkan kekebalan pada darah, tapi tidak pada daerah perut yang justru menjadi sasaran penyakit tersebut.

Sunoto, dokter spesialis gastroentrologi Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, mengatakan vaksin tersebut menumbuhkan kekebalan yang sangat sedikit. “Kegunaannya hanya 30 persen,” ujarnya. Karena itu, Sunoto sepakat vaksin ini tidak dapat dijadikan tameng pencegahan. “Tapi, daripada tidak, bolehlah, supaya tenang.”

Karena efektivitasnya yang kurang, kebijakan vaksinasi massal yang dicetuskan Herman itu disebut-sebut sebagai upaya meninabobokan masyarakat supaya tak khawatir. Bahrawi berpendapat, ketenangan semu dari vaksinasi itu bakal mendatangkan malapetaka yang sangat besar. “Bayangkan, seseorang yang sudah divaksin merasa kebal, lalu makan-minum seenaknya, bisa-bisa dia jatuh,” tuturnya.

Kekhawatiran Bahrawi terbukti. Di Cilandak, ada seorang personel Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut yang sudah harus dirawat inap karena kolera, padahal baru dua hari divaksin. Ketimbang vaksinasi massal, Bahrawi beranggapan, upaya pencegahan dengan menyediakan air bersih lebih efektif. Menurut dia, serangan kolera terkait erat dengan kelangkaan air bersih selama musim kemarau. Sedangkan konsentrasi bakteri menebal di dasar-dasar sumur yang hampir kering yang, sialnya, merupakan sumber air utama.

Menjawab skeptisisme terhadap vaksinasi massal itu, Herman mengatakan kolera merupakan penyakit endemis di Jakarta. Saban bulan setidaknya seribu kasus kolera tercatat. Ia menyebut sampah sebagai biang keladinya. Namun pernyataan ini ia ralat sendiri setelah Kepala Dinas Kebersihan DKI Jakarta Tjetje Rahman mengamuk. “Kalau ada kejadian jelek, sampah dibawa-bawa. Ribuan truk buang sampah di Cawang, kok, tak ada yang terserang kolera di sana,” kata Tjetje.

Herman meyakini penyebab kolera yang memakan banyak korban jiwa ini adalah bakteri El Tor. Hal ini didapatkan dari spesimen colekan halus di lubang anus korban kolera. Sementara itu, Bahrawi mengatakan tidak semua kolera disebabkan oleh bakteri. Ada juga yang disebabkan oleh virus. Namun, daripada berdebat tentang asal-muasal penyakit, dia mengatakan, lebih baik berfokus pada upaya pencegahan kematian.

Menurut Bahrawi, pemerintah sebetulnya sudah memiliki program penyuluhan garam diare (oralit) untuk mencegah kematian akibat muntah-berak. Namun, di Pasar Minggu, program ini tak berjalan. Padahal garam ini merupakan pertolongan pertama untuk mencegah dehidrasi. “Apa yang bisa saya lakukan kalau orang tak menghayati tugasnya,” ujar Bahrawi. Sementara itu, Herman berfokus memberikan penyuluhan tidak menggunakan sampah sebagai pupuk tanaman buah kepada para petani di Pasar Minggu.


https://majalah.tempo.co/edisi/2049/1977-08-20

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus