Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KEPUTUSAN Majelis Ulama Indonesia yang menyatakan vaksin AstraZeneca haram--meski masih bisa digunakan dalam keadaan darurat--patut dikecam beramai-ramai. Jika kelak terbukti fatwa ini membuat banyak orang menolak divaksin Covid-19 dan Indonesia gagal mencapai kekebalan bersama (herd immunity), yang sangat dibutuhkan dalam pengendalian pandemi virus corona, MUI tak boleh cuci tangan. Mereka harus ikut bertanggung jawab.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kontroversi fatwa MUI yang diumumkan Jumat, 19 Maret lalu, tak bisa dianggap enteng. Bisa jadi Indonesia adalah negara pertama yang majelis ulamanya menyatakan sebuah vaksin yang bisa mengurangi risiko orang menjadi korban pandemi justru haram. Apalagi vaksin buatan peneliti Oxford University, Inggris, yang bekerja sama dengan pabrik farmasi AstraZeneca itu sudah diterima dan digunakan di lebih dari 70 negara di seluruh dunia. Sejumlah negara dengan penduduk mayoritas muslim, seperti Arab Saudi, Uni Emirat Arab, Mesir, dan Malaysia, menggunakan vaksin ini tanpa ribut-ribut soal halal atau haram.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bukan hanya itu. Banyak dokter dan ahli vaksin, termasuk para peneliti di Badan Pengawas Obat dan Makanan, sudah memastikan tak ada babi dalam vaksin AstraZeneca. Proses produksinya memang menggunakan enzim tripsin dari babi, tapi itu jauh di hulu dan tak tercampur dengan produk akhir vaksin tersebut. Enzim tripsin lazim dipakai sebagai katalisator dalam proses biokimia di laboratorium. Gunanya sebagai aplikasi untuk melepas sel virus yang kemudian dikembangkan menjadi vaksin. Dengan kata lain, vaksinnya sendiri jelas tak mengandung babi.
Sesat logika dalam fatwa MUI makin nyata karena belakangan Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama Jawa Timur menerbitkan fatwa yang bertolak belakang. Para kiai di sana menegaskan bahwa vaksin AstraZeneca memang suci dan halal. Argumentasinya lebih logis karena mempertimbangkan fakta medis dan berdasarkan sains. Karena itu, wajar jika muncul pertanyaan: ada apa dengan MUI? Mengapa lembaga yang seharusnya diisi para pemuka agama yang bijak dan terpandang itu malah menerbitkan fatwa yang begitu kontroversial?
Penelusuran Tempo menemukan sejumlah temuan menarik. Beberapa sumber yang terlibat dalam proses penerbitan fatwa MUI menyebutkan dugaan adanya oknum yang mencoba menegosiasikan fatwa untuk imbal jasa tertentu. Jika tudingan ini benar, kesahihan fatwa MUI sendiri patut dipertanyakan. Wakil Presiden Ma’ruf Amin sebagai Ketua Dewan Pertimbangan MUI wajib menelusuri apa yang sebenarnya terjadi.
Apa pun temuannya kelak, kini nasi sudah menjadi bubur. Fatwa haram vaksin AstraZeneca sudah diumumkan kepada publik. Ada yang khawatir nasib vaksinasi Covid-19 bisa tersuruk seperti vaksinasi measles rubella (MR) tiga tahun lalu. Ketika itu, gara-gara pengumuman fatwa MUI yang menyatakan vaksin MR haram, jumlah mereka yang menolak vaksin campak melonjak. Akibatnya, jumlah anak yang bisa divaksin MR di luar Jawa melorot kurang dari 50 persen. Padahal efektivitas vaksinasi baru tercapai jika 84 persen dari populasi anak di sana divaksin.
Risiko semacam itu sudah terbayang karena jumlah vaksin AstraZeneca yang didatangkan pemerintah cukup besar. Sampai akhir tahun ini, Kementerian Kesehatan dijadwalkan menerima sampai 150 juta dosis vaksin AstraZeneca . Jika penyuntikan dilakukan dua kali, vaksin sebanyak itu bisa dipakai oleh sedikitnya 75 juta orang. Bayangkan dampak buruk yang terjadi jika orang berbondong-bondong menolak menggunakan vaksin AstraZeneca.
Karena itu, pemerintah harus bergerak cepat. Kebingungan publik akibat simpang-siur halal dan haram vaksin AstraZeneca harus diakhiri. Caranya sederhana: utamakan argumentasi rasional dan saintifik. Jika sebuah obat atau vaksin sudah dinyatakan layak oleh otoritas medis, pertimbangan agama seharusnya tak lagi relevan. Sepanjang sebuah vaksin terbukti secara ilmiah memberikan manfaat untuk kesehatan, tak perlu lagi ada fatwa.
Pemerintah harus menggunakan kontroversi fatwa haram vaksin Covid-19 ini sebagai momentum untuk meluruskan duduk perkara isu kesehatan dan agama. Amat berbahaya jika dalil agama apa pun dikaitkan dengan isu medis yang menyangkut kemaslahatan orang banyak. Petuah berbasis agama seharusnya hanya mengatur urusan religi, bukan isu-isu lain. Persoalan kesehatan harus diselesaikan otoritas kesehatan. Penegasan semacam ini amat penting di tengah situasi genting dan darurat pandemi seperti sekarang.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo