TIDAK semua orang yang dihukum kehilangan hak pilihnya. Kecuali
bila hal itu tercantum dalam vonis hakim maka menurut
Undang-Undang Pemilu 1969 yang dirobah dengan UU 1975 seorang
akan kehilangan hak pilih bila dia sedang menjalani hukuman yang
suddah mempunyai kejshatan pasti. Artinya dia tidak minta
banding ataupun kasasi-ke pengadilan yang lebih atas. Kemudian
yang bersangkutan harus menjalani hukuman yang diancam minimum 5
tahun. Ancaman hukuman tidak harus sama dengan hukuman dalam
vonis hakim.
Dengan demikian seorang yang sedang menjalani hukuman 2 tahun
bisa kehilangan hak pilih bila perbuatannya diancam oleh hukuman
5 tahun atau lebih. Sebaliknya seorang yang sedang menjalani
pidana penjara 4 tahun masih punya hak pilih bila ancaman
hukuman yang dituduhkan kepadanya tidak sampai 5 tahun.
Slamet Djabarudi dari TEMPO sengaja melihat sendiri pelaksanaan
pemungutan suara di beberapa Lembaga Pemasyatakatan alau penjara
yang ada di Jakarta. Berikut ini laporannya.
APAKAH Abu Kiswo ikut memilih pada pemilu yang baru lalu?
Ternyata tidak, seperti yang dijelaskan drs. Soegiantoro, Kepala
Lembaga Pemasyarakatan Khusus Cipinang. Dan memang tak terlihat
Abu di antara para pemilih. Menurut Soegiantoro hari itu Abu
berada di kamarnya.
Abu kini menunggu putusan kasasi atas kejahatan ekonomi
sehubungan pemasukan mobil-mobil mewah. Pada tingkat banding di
Pengadilan Tinggi Jakarta. Abu diganjar 5 tahun plus denda Rp 10
juta. Jaksa juga tak puas atas putusan ini. Selain delik ekonomi
Abu oleh pengadilan banding tersebut dihukum 2 tahun 6 bulan
untuk delik korupsi. Abu - yang sudah ditahan sejak 1972 itu -
demikian juga penuntut umum, menerima putusan terakhir ini.
Dengan demikian hukuman untuk tindak pidana korupsi itu sudah
mempunyai kekuatan pasti.
Mengurus Tamu
Soal tiadanya hak pilih bagi Abu dkk menarik lantaran
Undang-Undang Pemilu hanya meniadakan hak pilih bagi mereka yang
"sedang menjalani pidana penjara. . . yang tidak dapat diubah
lagi, karena tindak pidana yang dikenakan ancaman pidana
sekurang-kurangnya lima tahun". Sebenarnya orang-orang yang lagi
menunggu keputusan kasasi, seperti Abu, atau keputusan banding
biarpun pengadilan sebelumnya sudah memvonis dengan ancaman
hukuman maksimal 5 tahun tidak kehilangan hak pilihnya.
Kebijaksanaan ini juga dianut Kejaksaan Agung seperti dikatakan
Tomasouw SH kepada TEMPO pekan lalu.
Di Cipinang hanya 70 narapidana yang menggunakan hak pilihnya.
Ditambah para tahanan (yang perkaranya belum diajukan ke
pengadilan) dan pegawai LPK jumlah ini menjadi 209 orang. Untuk
mereka dibuatkan satu TPS di dalam kompleks. Yang mula-mula
menusuk adalah para pegawai, disusul narapidana dan baru
kemudian para tahanan. Agak siang datang lagi 23 tahanan dari
Komwil 75 Jakarta Timur. Yang belakangan ini rupanya numpang
menusuk di situ.
Karena pemilu suasana di Cipinang tampak lengang. Tak seperti
hari-hari biasa. Para penghuni yang biasa mengurus teman, tapi
tak punya hak pilih, kelihatan menonton. Setelah lelah mereka
tidur di satu ruangan tak jauh dari TPS. Sedangkan puluhan
narapidana yang biasanya mengurus pekarangan di depan LPK pun
boleh istirahat.
Rahasia Kok
Seorang pedagang yang dituduh terlibat perkara penggelapan masuk
Cipinang sebulan yang lalu. Ia termasuk kelompok yang boleh
memilih. Kata pedagang itu di dalam kompleks tak ada kampanye.
Yang ada hanya pemberitahuan mengenai seluk beluk pemilu. Lalu,
bagaimana mengenal kntestan sehingga bisa menentukan pilihan'?
Sang pedagang mengatakan bahwa rata-rata mereka membawa
pengetahuan dari luar. Dan mereka yang sudah ada di dalam bisa
mengetahui situasi luar dengan membaca koran dan mendengar
radio.
"Tak ada kampanye. Yang ada hanya pengarahan dalam bentuk
santiaji", komentar Hasan Utoyo SH, Kepala Wilayah IV Ditjen
Bina Tuna Warga sewaktu menyaksikan jalannya pemilihan kepada
TEMPO. Kepada para narapidana dan tahanan di berbagai LPK hanya
diberikan penerangan mengenai apa dan bagaimana pemilu.
Tapi Ny. S, seorang narapidana wanita dari LPK Bukit Duri
melihat lain. Kampanye sebetulnya ada. "Dari Golkar, Dharma
Pertiwi", katanya. Menurut nyonya, yang isteri kapten TNI AD
itu, selain penerangan mengenai pemilu, mereka juga dianjurkan
untuk memilih Golkar. "Tapi, ya, mungkin saja ada yang milih
lain. Habis bebas dan rahasia kok", ujarnya. Ia sendiri memilih
apa? "Golkar dong. Saya isteri tentara sih", ucapnya tangkas.
Yang diharapkannya dari Golkar adalah perbaikan nasib. "Supaya
anak-anak bisa belajar dengan baik", kata wanita yang punya 9
anak itu.
Perempuan ini diganjar 1« tanun karena penggelapan dalam
transaksi jual beli emas berlian. Hasil jual beli tersebut
dimaksudkan untuk membantu suaninya. Tapi sial, kawan S kabur
sehingga dialah yang harus mempertanggungjawabkan semuanya. Ny.
S rupanya orang yang suka bicara. "Korupsi sudah jadi darah
daging kita", katanya tentang situasi sekarang. Biar dia tusuk
beringin dia juga mengkritik bahwa pada pemerintahan hasil
kemenangan Golkar 1971 banyak korupsi. Dari pengalaman di
penjara ia juga banyak melihat ketidakberesan. Misalnya
tersangka yang sebetulnya sudah bisa ditangkap, tapi polisi
kemudian mengatakan belum bisa hanya karena alat negara ini
sudah dapat apa-apa dari tersangka. Ia juga mengkritik hukuman
yang rendah: misalnya 2 tahun untuk pembunuhan.
Di Bukitduri ada 44 pemilih: 34 tahanan dan 10 narapidana.
Duapuluh sembilan narapidana tak punya hak pilih. Di LPK Pondok
Bambu, yang khusus menampung para gelandangan, tidak diadakan
TPS tersendiri. Penghuni yang punya hak pilih cuma 20 orang.
Mereka menusuk di Panti Sosial 111, sekitar 300 meter sebelah
kanan gedung LPK.
Sementara itu menurut pihak Direktorat Jenderal Bina Tuna Warga
dari 20.230 narapidana di seluruh Indonesia ada 8.087 yang punya
hak pilih.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini