Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Menusuk Di Penjara

Wartawan TEMPO mengamati pelaksanaan pemungutan suara di beberapa LP di Jakarta. Tak semua tahanan kehilangan hak pilih dan itu mereka manfaatkan sebaik-baiknya.

14 Mei 1977 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TIDAK semua orang yang dihukum kehilangan hak pilihnya. Kecuali bila hal itu tercantum dalam vonis hakim maka menurut Undang-Undang Pemilu 1969 yang dirobah dengan UU 1975 seorang akan kehilangan hak pilih bila dia sedang menjalani hukuman yang suddah mempunyai kejshatan pasti. Artinya dia tidak minta banding ataupun kasasi-ke pengadilan yang lebih atas. Kemudian yang bersangkutan harus menjalani hukuman yang diancam minimum 5 tahun. Ancaman hukuman tidak harus sama dengan hukuman dalam vonis hakim. Dengan demikian seorang yang sedang menjalani hukuman 2 tahun bisa kehilangan hak pilih bila perbuatannya diancam oleh hukuman 5 tahun atau lebih. Sebaliknya seorang yang sedang menjalani pidana penjara 4 tahun masih punya hak pilih bila ancaman hukuman yang dituduhkan kepadanya tidak sampai 5 tahun. Slamet Djabarudi dari TEMPO sengaja melihat sendiri pelaksanaan pemungutan suara di beberapa Lembaga Pemasyatakatan alau penjara yang ada di Jakarta. Berikut ini laporannya. APAKAH Abu Kiswo ikut memilih pada pemilu yang baru lalu? Ternyata tidak, seperti yang dijelaskan drs. Soegiantoro, Kepala Lembaga Pemasyarakatan Khusus Cipinang. Dan memang tak terlihat Abu di antara para pemilih. Menurut Soegiantoro hari itu Abu berada di kamarnya. Abu kini menunggu putusan kasasi atas kejahatan ekonomi sehubungan pemasukan mobil-mobil mewah. Pada tingkat banding di Pengadilan Tinggi Jakarta. Abu diganjar 5 tahun plus denda Rp 10 juta. Jaksa juga tak puas atas putusan ini. Selain delik ekonomi Abu oleh pengadilan banding tersebut dihukum 2 tahun 6 bulan untuk delik korupsi. Abu - yang sudah ditahan sejak 1972 itu - demikian juga penuntut umum, menerima putusan terakhir ini. Dengan demikian hukuman untuk tindak pidana korupsi itu sudah mempunyai kekuatan pasti. Mengurus Tamu Soal tiadanya hak pilih bagi Abu dkk menarik lantaran Undang-Undang Pemilu hanya meniadakan hak pilih bagi mereka yang "sedang menjalani pidana penjara. . . yang tidak dapat diubah lagi, karena tindak pidana yang dikenakan ancaman pidana sekurang-kurangnya lima tahun". Sebenarnya orang-orang yang lagi menunggu keputusan kasasi, seperti Abu, atau keputusan banding biarpun pengadilan sebelumnya sudah memvonis dengan ancaman hukuman maksimal 5 tahun tidak kehilangan hak pilihnya. Kebijaksanaan ini juga dianut Kejaksaan Agung seperti dikatakan Tomasouw SH kepada TEMPO pekan lalu. Di Cipinang hanya 70 narapidana yang menggunakan hak pilihnya. Ditambah para tahanan (yang perkaranya belum diajukan ke pengadilan) dan pegawai LPK jumlah ini menjadi 209 orang. Untuk mereka dibuatkan satu TPS di dalam kompleks. Yang mula-mula menusuk adalah para pegawai, disusul narapidana dan baru kemudian para tahanan. Agak siang datang lagi 23 tahanan dari Komwil 75 Jakarta Timur. Yang belakangan ini rupanya numpang menusuk di situ. Karena pemilu suasana di Cipinang tampak lengang. Tak seperti hari-hari biasa. Para penghuni yang biasa mengurus teman, tapi tak punya hak pilih, kelihatan menonton. Setelah lelah mereka tidur di satu ruangan tak jauh dari TPS. Sedangkan puluhan narapidana yang biasanya mengurus pekarangan di depan LPK pun boleh istirahat. Rahasia Kok Seorang pedagang yang dituduh terlibat perkara penggelapan masuk Cipinang sebulan yang lalu. Ia termasuk kelompok yang boleh memilih. Kata pedagang itu di dalam kompleks tak ada kampanye. Yang ada hanya pemberitahuan mengenai seluk beluk pemilu. Lalu, bagaimana mengenal kntestan sehingga bisa menentukan pilihan'? Sang pedagang mengatakan bahwa rata-rata mereka membawa pengetahuan dari luar. Dan mereka yang sudah ada di dalam bisa mengetahui situasi luar dengan membaca koran dan mendengar radio. "Tak ada kampanye. Yang ada hanya pengarahan dalam bentuk santiaji", komentar Hasan Utoyo SH, Kepala Wilayah IV Ditjen Bina Tuna Warga sewaktu menyaksikan jalannya pemilihan kepada TEMPO. Kepada para narapidana dan tahanan di berbagai LPK hanya diberikan penerangan mengenai apa dan bagaimana pemilu. Tapi Ny. S, seorang narapidana wanita dari LPK Bukit Duri melihat lain. Kampanye sebetulnya ada. "Dari Golkar, Dharma Pertiwi", katanya. Menurut nyonya, yang isteri kapten TNI AD itu, selain penerangan mengenai pemilu, mereka juga dianjurkan untuk memilih Golkar. "Tapi, ya, mungkin saja ada yang milih lain. Habis bebas dan rahasia kok", ujarnya. Ia sendiri memilih apa? "Golkar dong. Saya isteri tentara sih", ucapnya tangkas. Yang diharapkannya dari Golkar adalah perbaikan nasib. "Supaya anak-anak bisa belajar dengan baik", kata wanita yang punya 9 anak itu. Perempuan ini diganjar 1« tanun karena penggelapan dalam transaksi jual beli emas berlian. Hasil jual beli tersebut dimaksudkan untuk membantu suaninya. Tapi sial, kawan S kabur sehingga dialah yang harus mempertanggungjawabkan semuanya. Ny. S rupanya orang yang suka bicara. "Korupsi sudah jadi darah daging kita", katanya tentang situasi sekarang. Biar dia tusuk beringin dia juga mengkritik bahwa pada pemerintahan hasil kemenangan Golkar 1971 banyak korupsi. Dari pengalaman di penjara ia juga banyak melihat ketidakberesan. Misalnya tersangka yang sebetulnya sudah bisa ditangkap, tapi polisi kemudian mengatakan belum bisa hanya karena alat negara ini sudah dapat apa-apa dari tersangka. Ia juga mengkritik hukuman yang rendah: misalnya 2 tahun untuk pembunuhan. Di Bukitduri ada 44 pemilih: 34 tahanan dan 10 narapidana. Duapuluh sembilan narapidana tak punya hak pilih. Di LPK Pondok Bambu, yang khusus menampung para gelandangan, tidak diadakan TPS tersendiri. Penghuni yang punya hak pilih cuma 20 orang. Mereka menusuk di Panti Sosial 111, sekitar 300 meter sebelah kanan gedung LPK. Sementara itu menurut pihak Direktorat Jenderal Bina Tuna Warga dari 20.230 narapidana di seluruh Indonesia ada 8.087 yang punya hak pilih.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus