Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tanggapan atas Respons BTN
Majalah Tempo edisi 10 Juni 2012 memuat surat pembaca dari Rakhmat Nugroho, Corporate Secretary PT Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk. Surat itu menanggapi berita berjudul ”Berebut Rumah Pendiri BTN” yang dimuat majalah Tempo edisi 27 Mei 2012. Atas respons itu, atas nama klien kami, Nyonya D.S. Nada Iman Moelyadi dan Iman Prasetyo Moelyadi, kami ingin menyampaikan tanggapan sebagai berikut:
Demikian tanggapan kami. Terima kasih.
Prof Dr O.C. Kaligis
Jakarta
Lagi, Koreksi ‘Lewat Djam Malam’
Terima kasih atas penerbitan berita tentang restorasi dan pemutaran film Lewat Djam Malam (karya sutradara Usmar Ismail pada 1954) di majalah Tempo edisi 28 Mei-3 Juni 2012. Tapi ada kekeliruan yang mengganggu pada berita berjudul ”Dari Natrabu ke Martin Scorsese” itu.
Artikel ini diawali deskripsi pertemuan yang menjadi bagian dari langkah awal proses restorasi. Sayangnya, Tempo hanya menyebutkan ada empat orang yang hadir dalam pertemuan itu. Yang benar ada lima orang. Orang kelima yang tidak ditulis Tempo adalah wartawan pemerhati film, Arya Gunawan Usis, yang selama 20 tahun terakhir rutin meliput Festival Film Cannes.
Peran Arya Gunawan penting karena sebetulnya dialah, bersama Philip Cheah, yang mengumpulkan kami semua pada hari itu. Tanpa menyebutkan kehadiran Bung Arya, deskripsi Tempo menjadi tidak akurat. Terima kasih.
Lisabona Rahman
Mantan Manajer Program Kineforum
Dewan Kesenian Jakarta
Terima kasih atas informasi Anda. Pemuatan surat ini sekaligus untuk melengkapi laporan tersebut.
Pendidikan Politik untuk Rakyat
Pemilihan umum tinggal dua tahun lagi. Saya khawatir rakyat tidak sepenuhnya memahami politik dan dampak jangka panjang dari pilihan politik mereka pada pemilihan umum. Melihat kualitas pemimpin dan wakil rakyat kita sekarang, tampaknya publik tidak tahu bagaimana cara memilih yang benar dan apa kriteria calon pemimpin yang berkualitas.
Lihat saja bagaimana para wakil rakyat kita sekarang banyak terjerat kasus korupsi. Kebijakan pemimpin kita tidak prorakyat. Tidak terhitung banyaknya janji kampanye yang tak terpenuhi.
Karena itu, saya menilai perlu adanya program pendidikan politik untuk rakyat. Pemerintah, perguruan tinggi, dan lembaga swadaya masyarakat perlu mendidik rakyat untuk memahami hak politiknya, kriteria calon pemimpin dan wakil rakyat yang berkualitas, tahu apa yang boleh dan apa yang tidak boleh, mengerti cara memilih yang benar dan yang salah, dan seterusnya.
Dengan begitu, semoga pemilu kita makin berkualitas dan rakyat tidak dijadikan obyek politik seperti selama ini. Terima kasih.
Hariyanto Imadha
BSD Nusaloka Sektor XIV-5
Jalan Bintan 2 Blok S1/11, Tangerang 15318
Perspektif Baru untuk Papua
Akar masalah separatisme adalah distribusi hak politik, hak ekonomi, dan keadilan yang tidak merata. Ketimpangan itu menyebabkan ada kelompok yang merasa tidak nyaman berada di bawah naungan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Melihat teror dan kekerasan yang terus berulang di Papua, tampaknya dibutuhkan penelitian dan analisis yang mendalam untuk menemukan akar dari kondisi tersebut. Saya curiga situasi penuh kekerasan sepekan terakhir ini hanyalah puncak dari gunung es. Akar masalahnya jauh lebih kompleks dan besar, tapi terpendam di bawah permukaan.
Untuk itu, dibutuhkan sebuah dialog antara Papua dan Jakarta sebagai langkah awal memecahkan kompleksitas masalah ini. Tentu, sebelumnya, format dialog harus disepakati. Pihak yang dinilai bisa mewakili aspirasi masyarakat Papua pun harus dicari dan disetujui bersama.
Menyelesaikan masalah Papua akan menyumbang besar pada makin kukuhnya pertahanan negara kita. Penting diingat bahwa penyelesaian masalah ini tidak boleh mengorbankan kepentingan masyarakat sipil. Semua elemen bangsa harus bahu-membahu memberi solusi positif sehingga konflik di Papua tidak berkepanjangan.
Deden Doris
Jakamulya, Bekasi Selatan, Jawa Barat
Konflik Tanah di Makassar
Saya adalah pemilik tanah seluas 7.975 meter persegi di Gowa, Sulawesi Selatan. Pada 23 Desember 2011, Badan Pertanahan Nasional Kabupaten Gowa melakukan pengukuran ulang atas bidang tanah saya dan menemukan ada sebagian tanah saya—seluas 502 meter persegi—yang masuk ke wilayah Universitas Islam Negeri Alauddin, Makassar.
Kami mengajukan keberatan atas kekurangan luas lahan kami ke BPN Gowa pada 5 Maret 2012. Dua bulan kemudian, BPN mempertemukan kami dengan pihak pengelola kampus UIN Alauddin. Pada pertemuan itu, pihak kampus yang diwakili Saudara Ikshan berjanji akan mengundang kami ke UIN untuk menyelesaikan masalah ini. Sampai sekarang, sebulan setelah pertemuan itu, undangan tak pernah kami terima.
Untuk itu, kami mohon Rektor UIN Alauddin segera menyelesaikan masalah sengketa tanah ini dan mengembalikan hak kami secara utuh. Terima kasih.
Nyonya Hajrah Aslam
Pattunuang, Wajo
Makassar
Kisah Saya Bersama Romo Soegija
Saya girang sekali membaca laporan majalah Tempo mengenai film Soegija karya sutradara Garin Nugroho. Saya jadi teringat kembali pada satu sosok manusia dengan jiwa besar dan terhormat bernama Monseigneur Abertus Soegijapranata SJ itu.
Pada 1940-an, saya hidup di Semarang dan punya banyak pengalaman dengan beliau. Sekarang umur saya sudah 90 tahun. Tapi saya masih ingat betul, pada suatu hari yang cerah di awal 1940, kami murid sekolah Francisconessen di Gedangan, yang letaknya di depan Gereja St Yoseph, menyambut kedatangan Romo. Kami berdiri berderet di trotoar, melambaikan tangan, mengucapkan selamat datang kepada Romo. Saya ingat mobil Romo melintas di depan kami. Dia tampak tertawa gembira, melambaikan tangannya juga.
Pada 1941, pecah perang dengan Jepang. Konflik ketika itu kelihatannya cukup menyita pikiran para pastor. Mereka melakukan banyak kegiatan untuk melindungi warganya di Semarang. Kami sering diajak berlatih mempersiapkan diri menghadapi serangan udara Jepang. Kalau malam, Semarang gelap karena tidak ada penerangan.
Pada 1942, banyak warga sudah mengungsi meninggalkan Semarang. Mereka pindah ke pedalaman di selatan kota. Semarang jadi sepi. Saya pun pergi ketika beberapa bagian kota terbakar. Ketika tentara Jepang masuk, para romo dan suster semua diangkut ke kamp interniran. Hanya Romo yang tersisa di Gedangan.
Pada masa genting itu, Romo masih menerima tamu secara klandestin. Dia rajin berhubungan dengan para pejuang. Warga pun masih bergiliran menyediakan makan untuk Romo. Saya juga punya banyak kenangan pribadi dengan Romo. Demikian sekelumit kisah saya bersama Gembala pertama dari Semarang, Romo Albertus Soegijapranata SJ.
Sofinas Budiman
Jalan Mendawai IV Nomor 12, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo