Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kayu kecil berjatuhan dari atas. Brakk…, brakk…. Di panggung itu, seseorang terbenam di gunungan sampah. Penonton miris. Bila gundukan itu terkena, pasti tercerai-berai dan melukai tubuhnya. Sudah sejak awal pertunjukan Camille Boitel ini lain daripada yang lain. Semua barang di panggung itu rentan. Seng, tangga kayu, dan meja tersenggol sedikit saja ambruk atau patah. Berkali-kali juga terjadi hujan botol bekas. Bak penampung air menggelundung sendiri. Kita menyaksikan barang-barang rongsokan hidup, bergerak-gerak sendiri, tapi runtuh dan hancur terus-menerus.
Begitu masuk, kita melihat panggung Gedung Kesenian Jakarta disulap menjadi sebuah kawasan permukiman masyarakat kelas bawah yang padat dan kumuh. Ada gerobak pedagang makanan, bangunan berdinding seng, gubuk kecil yang sebagian atapnya terbuka, juga tumpukan kardus.
Yang mengejutkan, itu semua kemudian roboh satu per satu. Seorang lelaki meloncat dari balik timbunan, berusaha menghindari barang-barang yang ambruk Tapi setiap bangunan yang didekatinya runtuh. Bahkan menara air yang dinaikinya pun ikut-ikutan ambruk. Tumpukan dus yang disandarinya malah jatuh menimpanya. Ketika panggung sudah porak-poranda, terdengar bunyi trompet. Belasan orang berlarian ke atas panggung. Menggunakan sapu, mereka membersihkan panggung dari barang yang berserakan. Ruang di antara panggung dan penonton jadi tempat pembuangan.
Pada 2005, di panggung yang sama, Camille Boitel pernah membuat kegaduhan. Waktu itu ia seorang diri menggunakan materi level-level kayu yang ada di gudang Gedung Kesenian Jakarta menyuguhkan tontonan berjudul L’Homme d’Hus. Pertunjukan ini bertolak dari renungannya atas kitab Ayub dalam Alkitab. Ayub, lelaki dari Uzia itu, adalah seorang saleh tapi dijatuhi cobaan terus-menerus. Ia kehilangan segala-galanya: harta, istri, dan anak serta dijauhi sahabatnya. Ayub memberontak terhadap Tuhan. Ia mempertanyakan keadilan Ilahi.
Boitel saat itu melemparkan satu per satu kayu sampai menjulang, menjadi seperti piramida rongsokan atau timbunan puing. Pertunjukan sangat gaduh. Tapi yang mengejutkan, sepanjang lebih dari satu jam, kayu-kayu itu di tangannya berubah terus menjadi seolah-olah pohon cemara, kursi lipat, egrang, kaki seribu, roda pedati, jembatan, atau lajur rel kereta. Kemampuan Camille Boitel menciptakan imaji dari materi benda yang sama memang mengesankan. Ia sendiri tak ambil pusing apakah ia berpantomim, akrobat, atau monolog. "Mereka menyebut tontonan saya sirkus modern," ujarnya saat itu. Ia memang lulusan sekolah sirkus di Paris.
Kini, untuk rangkaian acara Le Printemps Francais, Boitel datang kembali menyuguhkan L’Immediat (Segera). Untuk pentasnya ini, ia menginginkan sebuah kolaborasi dengan aktor-aktor kita. Dan ia cocok memilih Teater Payung Hitam, Bandung, pimpinan Rahman STSI, sebagai kolaborator. Teater Payung Hitam terkenal sebagai teater yang menggeluti physical theater. Pertunjukan mereka, seperti Kaspar atau Merah Bolong Putih Doblong Hitam, sangat mengandalkan kekuatan dan kesigapan fisik tubuh menghadapi teror barang. Mereka adalah kelompok teater nonverbal. Ide-ide Boitel bukan hal yang aneh bagi mereka.
Selama satu setengah bulan, bersama enam pemain asal Prancis, yakni Marine Broise, Aldo Thomas, Pascal Le Corre, Thomas De Broissia, Jacques-Benoit Dardant, dan Marion Lefevre, Boitel menetap di Bandung. Setiap hari mereka berlatih bersama Rusli Keleeng, Gaus F.M., Ivan Go’ir, Yono Ooy, Fajar Okto, Ria Nilam, Ayu Rahayu Putri, dan Saras Wati dari Teater Payung Hitam. Mereka bereksplorasi mencari bentuk gerakan, menciptakan setting panggung, dan mencari barang bekas untuk keperluan properti panggung, termasuk teknis agar tubuh tak terluka terkena barang. Bahasa yang berbeda awalnya menjadi penghambat meski perlahan bisa diatasi. "Kami lebih sering memakai bahasa Tarzan," tutur Keleeng, aktor senior Teater Payung Hitam.
L’Immediat diciptakan Boitel sekitar lima tahun lalu. Di negeri asalnya, pertunjukan yang memadukan seni teater dan sirkus kontemporer itu sudah 140 kali naik panggung. "Untuk pertunjukan di sini ada banyak perbedaan, baik dari segi bentuk maupun spirit. Hanya gagasannya yang sama," ujar Boitel.
Sesuai dengan judulnya, pertunjukan ini mengusung sebuah pertanyaan tentang bagaimana menjalani hidup yang penuh hiruk-pikuk, kehancuran, dan keterpurukan. Boitel ingin bercerita tentang sesuatu yang tidak berkesinambungan dan kondisi yang tak harmonis. Ceritanya tak bergulir secara linear, melainkan berupa potongan cerita yang muncul bergantian secara berselang-seling antara satu karakter dan karakter lain.
Setiap pergantian adegan, misalnya, muncul dinding penyekat berbahan plastik atau tripleks yang sudah lusuh yang oleh aktor di belakangnya digeser ke kanan dan kiri. Setiap kali sekat bergeser, penonton disuguhi pemandangan yang berbeda. Tapi yang membuat tawa penonton pecah, ketika sekat digeser, selalu terlihat seorang lelaki yang berkali-kali tidurnya terganggu gara-gara penyekat yang jadi tempat persembunyiannya itu bergeser. Berkali-kali pula terpaksa dia berlari tergopoh-gopoh mencari tempat baru.
Penyekat-penyekat itu juga berfungsi sebagai latar belakang panggung. Dalam satu adegan, terjadi suguhan luar biasa, penyekat-penyekat itu berdiri miring ke kanan. Seperti sebuah kerangka foto yang dipajang miring, semua yang ada di panggung ikut-ikutan berposisi miring, termasuk sang tukang sampah, istri, dan gerobaknya.
Seperti mimpi buruk, karakter yang ada dalam pertunjukan ini terus-menerus dikejar berbagai gangguan yang datang secara brutal, tanpa henti, dan tidak terkendali. Sebuah kecelakaan abadi. Di atas panggung, tiba-tiba ada lelaki yang kehilangan gaya gravitasi sehingga tubuhnya tidak bisa menjejak tanah; ada lelaki yang tubuhnya selalu tertimpa barang, entah potongan kayu atau botol plastik; serta ada orang-orang yang selalu ditangkapi dengan kurungan ayam.
Di atas panggung, tiba-tiba juga ada seorang aktor perempuan berubah garang. Dengan balok kayu, dia menghantam dua perempuan yang berdiri mengapitnya hingga terkapar. Ia menendang orang-orang yang ada di dekatnya. Ia kemudian turun dari panggung dan berjalan ke tengah-tengah penonton. Dua penonton sempat ia tarik dengan kasar hingga terhuyung (entah itu penonton betulan atau aktor Payung Hitam). Beruntung, beberapa aktor berhasil menggiringnya kembali ke atas panggung, meski kemudian mereka juga jadi korban.
Anehnya, meskipun terkesan sadistis dan chaos, pentas yang berlangsung pada Rabu dan Kamis malam pekan lalu itu tak lantas sepenuhnya menegangkan. Justru banyak adegan yang membuat penonton terbahak-bahak. "Ini adalah ciri khas yang dimiliki Boitel dalam teater. Ia mengajak penonton tertawa tanpa perlu menyuguhkan lawakan," tutur Rachman Sabur, pemimpin Teater Payung Hitam, Sekolah Tinggi Seni Indonesia, Bandung.
Pada akhir pertunjukan berdurasi satu jam itu, kita menyaksikan adegan sekelompok orang beramai-ramai membantu seorang lelaki yang kewalahan menjaga tubuhnya agar tak melayang. Sebongkah batu besar yang dibebankan ke tubuhnya tak cukup kuat menahan. Akhirnya, ia ditumpuk berbagai jenis barang. Semua barang yang pada awal adegan disingkirkan dari panggung digunakan kembali untuk menimbun si lelaki. Tubuhnya terbenam di balik gunungan barang rongsokan. Panggung menjadi seperti semula.
Nunuy Nurhayati, Seno Joko Suyono
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo