Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

teroka

Einstein on the Beach, Repetisi yang Menembus Waktu

Karya legendaris Philip Glass dan Robert Wilson pada 1970-an ini terasa tetap aktual. Dua ribu lebih penonton menyaksikannya di Toronto, Kanada.

18 Juni 2012 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sejak puluhan tahun lalu, saya mendengar tentang Einstein on the Beach karya Philip Glass dan Robert Wilson dengan koreografi tari oleh Lucinda Childs. Einstein on the Beach, yang pertama tampil di Festival Avignon, Prancis, pada 25 Juli 1976, merupakan karya opera empat babak yang dirancang melalui lima komposisi "knee plays" dan beberapa intermezo oleh Philip Glass. Pertunjukan ini disutradarai Robert Wilson dan melibatkan koreografer andal Lucinda Childs untuk komposisi tarinya. Pertunjukan yang berlangsung selama hampir lima jam tanpa jeda ini melibatkan tulisan dari Christopher Knowles dan Samuel M. Johnson.

Ketika pada Minggu, 10 Juni lalu, saya menyaksikan Luminato Festival, memasuki Sony Center for Performing Arts, Toronto, Kanada, tempat itu telah ­dipenuhi 2.000 penonton dan musik sudah dimulai. Para penyanyi dengan make-up putih samar itu berdiri diam di bagian depan panggung utama tersorot sinar putih bersih, berekspresi beku, tapi menampakkan keceriaan. Sedangkan dua pemain duduk di atas panggung sebelah kanan dan mengucapkan teks yang diulang-ulang berdasarkan komposisi musik dan melakukan gerakan-gerakan yang tampak mekanis, yang berlangsung sekitar 20 menit.

Sejenak saya terbawa dalam suasana yang terfokus pada elemen pengulangan nada dan kata-kata, seperti diantar oleh sebuah mantra untuk memasuki sebuah ruangan misterius dan penuh pertanyaan. Saya jadi teringat pengalaman belajar berzikir atau melakukan doa rosario yang berulang-ulang. Pada suatu saat tertentu, kesadaran terbawa pada tingkat yang merata, datar, dan mungkin kosong. Sedangkan pengulangan pada komposisi Glass ini sangat beragam dan memberi kesan riuh. Namun dalam keriuhan itu terdengar detail-detail yang sangat terperinci dan penuh perhitungan. Dua puluh menit cukup membawa napas terenyak, dan rasanya tubuh penonton memasuki ruang visual panggung yang sangat minimalis tapi penuh dengan suasana yang menyatu bersama cahaya yang menghipnotis dan menguji kesadaran mata penonton terhadap kemampuan organ penglihatannya.

Komposisi musik Glass yang berdasarkan prinsip pengulangan ini pun beragam warnanya. Kadang terasa seolah-olah kita diajaknya berjalan di atas lumpur, kadang terasa disadarkan pada napas kita, kadang seperti membuai, mengentak-entak, tapi ada warna-warna kedataran dalam nuansanya. Saya tidak merasa seperti terjebak dalam sebuah rancangan bunyi yang dipaksakan untuk didengar, tapi justru pendengaran saya seolah-olah diaktifkan untuk mencari. Tubuh, mata, pendengaran menjadi suatu kewajaran. Saya pikir inilah yang membuat penonton dalam ketahanan masing-masing berada bersama pertunjukan yang berjam-jam lamanya tanpa ada keinginan meninggalkannya.

Tubuh penonton menjadi aktif secara organik, karena waktu yang dibawakan dari satu adegan ke adegan lain mengena pada batas-batas yang tepat. Setiap pengulangan bukanlah pengulangan yang sama, tapi disusun dengan kecermatan yang sangat jitu dengan menyelipkan elemen tambahan pada setiap perubahannya, yang mengantarkan rasa keingintahuan kita menjadi semakin terpancing tanpa ada ruang yang bisa ditebak.

Perubahan adegan dan penataan panggungnya pun diperhitungkan dengan cermat, misalnya bagaimana para teknisi panggung dilatih untuk berjalan seiring dengan ritme musik dan melakukan gerakan yang terkoreografi, serta tetap memperhitungkan waktu ketika mereka menyusun dan memindahkan properti di panggung saat mengubah setting. Keseluruhan elemen menjadi bagian yang aktif, tapi tetap dalam batas-batas organik yang terbagi sesuai dengan proporsi masing-masing.

Secara keseluruhan, komposisi musik dirancang berdasarkan proses sirkuler yang menciptakan putaran pengulangan yang terus-menerus dan menunda titik akhirnya, seperti dalam pengulangan adegan… one two three four five one two three four five six one two three four five… dan bersambung pada pengulangan adegan lainnya… sol la si so la si sol la si… dengan berbagai variasi bersama musik dan acappella. Proses ini menggunakan rumus penambahan, pemecahan, dan pembagian, mewakili matematika dan ilmu pengetahuan seperti dalam dunia Einstein.

Perhitungan matematis dalam komposisi ini tampaknya disengaja oleh Glass untuk memberi ruang kepada pendengarnya buat memasuki ruang interpretasi masing-masing tentang karakter Einstein. Tiga bagian opera ini, Train, Trial, dan Field/Spaceship, menggambarkan hipotesis Einstein tentang teori relativity dan unified field-nya, yang terdiri atas sembilan kali dua puluh menit unit yang disambungkan oleh "knee plays". "Knee plays" ini dirancang berdasarkan prinsip anatomi tubuh manusia: lutut berfungsi sebagai sendi yang menopang kerangka tubuh. "Knee plays" ini juga dimaksudkan untuk menyediakan waktu buat pergantian tujuh tatanan panggung Wilson.

Seketika tubuh saya seperti mengembang ketika mengamati gerakan penari-penari yang membawakan koreografi Childs. Pengulangan yang sangat teliti digabung dengan susunan kanon dan dibulatkan menjadi sebuah kesatuan dengan hanya empat gerakan mendasar: meloncat, berputar, berlari, dan berputar-loncat dalam proses pengisian ruang secara bergantian dan terus-menerus, berpisah, kemudian bersama lagi, mengulang lagi, lalu memecah lagi; begitu seterusnya sehingga memberi nuansa pusaran dan energi yang menyatu.

Latar belakang cahaya putih dan kebiruan di atas lantai panggung putih serta kostum celana baggy berwarna krem dan kemeja putih tampak sangat bersih. Yang menarik pada koreografi ini, tubuh penari yang melakukan pengulangan gerakan itu tidak tampak lelah dan selalu berada pada ketepatannya, tapi tidak menjadi seperti boneka atau mesin. Justru karakter tubuh penari menjadi menonjol keindividuannya, tanpa mengurangi warna kebersamaan mereka. Dalam gerakan-gerakannya, tidak ada perlawanan ataupun interaksi terhadap komposisi musik, tapi justru berada bersama dan mengalir bersamanya.

Visualisasi panggung rancangan Wilson sangat bersih dan cermat. Seluruh material dan desain setting dipertimbangkan bersama pencahayaannya. Cahaya bukan sebagai penyinaran, melainkan elemen yang menyatu ke dalam bentuk visual yang utuh. Terkadang tampak seperti gambar tiga dimensi, kadang seperti lukisan komik. Gambar-gambar yang muncul tidak merebut perhatian kita dari musik, tapi tetap mewakili narasi pada setiap adegannya. Keterlibatan para penari, penyanyi, aktor, dan pemusik sebagai elemen aktif di keseluruhan ruang diatur sedemikian rupa sehingga kita tidak lagi bisa membedakan apakah penari dilatih untuk menyanyi atau pemusik dilatih untuk menari. Kehadiran tubuh keseluruhan pemain begitu diolah untuk memiliki kualitas yang seimbang.

Figur Einstein muncul dalam tubuh pemain biola yang duduk di bagian depan panggung, sedikit di atas ruang ensambel musik, memberi sedikit tuntunan untuk menetralkan imaji kita tentang Einstein. Sedangkan kehadiran sosok penyanyi yang membawakan aria pada adegan keempat ini menurut saya adalah bagian yang sangat transendental. Suara mezzo-soprano hadir bersama desain cahaya yang berbentuk balok putih panjang dan bergerak dari posisi datar menuju tegak, lalu perlahan balok sinar putih itu naik dan lenyap bersama berhentinya musik dan suara.

Karya Einstein on the Beach yang diciptakan pada 1970-an ini terasa tetap aktual pada masa kini, terutama karena kekuatan musik dan visual yang sangat memegang prinsip organik dan menyentuh tubuh segala zaman. Ia mampu menembus waktu seperti teori Einstein, yang tidak akan pernah lenyap dari ranah ilmu pengetahuan dan sejarah kemanusiaan.

Bukankah pada dasarnya kita juga berada dalam perputaran dan pengulangan yang terus-menerus dalam sejarah kemanusiaan kita? Apakah kita juga tak akan pernah menemukan titik akhir dari putaran-putaran itu?

Melati Suryodarmo,performance artist (Toronto)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus