Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Torso itu bebas dibaca. Darinya tampak buah dada perempuan yang mencuat sempurna tapi terbungkus lipatan-lipatan kain yang bersengkarut. Tubuhnya tegak menengadah, dengan kedua tangan berpaut di belakang kepala. Wajahnya didongakkan ke belakang, seakan berteriak, ”aaahh….”
Sebuah ekspresi yang bisa terlihat orgasmik, tapi juga bisa tampak tercekik kehabisan napas. Atau bisa kedua-duanya, tak mengapa. Demikian pula dengan bagian bawahnya yang kontras berbeda bentuk dengan torso itu sendiri. Yang bawah ini bisa diartikan sebagai ice cream cone, atau sepasang kaki terbalut kain ketat yang menjepit tubuh—seperti paha dan tungkai perempuan berkebaya.
Patung berjudul Rites of the Nite itu adalah satu dari 42 patung karya perupa Dolorosa Sinaga yang dipamerkan di Galeri Nasional mulai Rabu pekan ini. Inilah pameran pertama Dolo, begitu perupa ini biasa dipanggil, setelah hampir tujuh tahun tak menggelar pameran tunggal.
Pameran ini tak punya tema spesifik, kecuali sebuah judul yang dicetak di muka katalog: Have you seen a sculpture from the body? Dolorosa Sinaga: Sculpture Exhibition. Judul yang sama digunakan Dolo dalam pamerannya di tempat yang sama pada 2001. ”Selama saya masih bekerja dengan tubuh, saya tak perlu mencari-cari,” katanya.
Dolo, peraih British Chevening Award yang menempuh studi di St. Martin’s School of Art in London—sekarang bernama Central College of Art and Design—akhir bulan ini akan mencapai usia 56 tahun. Sepanjang hampir tiga dekade, patungnya mengeksplorasi tubuh manusia dalam gerak dan gestur manusiawi. Para perempuan Dolo—ia selalu mencipta tubuh perempuan—bisa menggapai, menepis, menghindar, memeluk, menyangkal, atau merengkuh dalam relasinya dengan lingkungan sekitar. Kental dengan napas kristiani, publik seni rupa mengenal signature Dolo dalam bentuk patung Pieta—sosok Bunda Maria yang memangku Yesus—dalam berbagai ekspresinya.
Namun simaklah begitu banyak kejutan dalam karyanya kali ini. Sebagian besar dari 42 karya yang ia pamerkan dihasilkan dari keahlian barunya mengeksplorasi medium baru: plastik. Mengaku bosan bolak-balik mengolah tanah lempung dan lilin, inspirasinya kini justru didapat dari lembaran-lembaran kantong plastik sampah—thrash bag—yang biasa ia gunakan sebagai sekadar alat bantu.
Plastik sebelumnya ia gunakan untuk membungkus karyanya agar tetap lembap. Dengan tanah lempung sebagai penyangga, Dolo lantas membentuk plastik itu sesuai dengan keinginan—ia menarik, mengencangkan, melonggarkan, dan meremas-remas. Dengan bantuan, antara lain, resin dan silicon rubber, dan berakhir dengan proses cor di bengkel kerjanya di Trowulan, Jawa Timur, Dolo lantas meniupkan ”roh” pada patung-patung dari fiberglass dan perunggu itu hingga tampak begitu hidup—persis seperti laku Gepetto ”melahirkan” Pinocchio dalam dongeng Disney yang termasyhur itu.
Dan hasilnya adalah kesempurnaan. Berangkat dari plastik—yang tak jarang dicap produk massa, murahan, dan kini perusak lingkungan—patung-patung Dolo tampak elegan dan bernapas, suatu ekspertis seorang perupa yang matang dalam berproses. Nilainya Rp 50-200 juta. Lihatlah yang sempurna itu dalam banyak wujud, antara lain Life is a Long Song (After Jethro Tull) (Bronze, 2008). Terinspirasi dari lagu tahun 1971 itu, kita seolah bisa melihat dua orang bertaut dalam balutan kain; bila yang satu bergerak, yang lain akan ikut terbelit.
Betulkah setiap patungnya punya nyawa? Menurut Dolo, tentu saja. Dalam proses pembuatannya, setiap patung berbicara kepada perupa yang melahirkannya. Begitu pula Dolo. ”Ketika saya bisa berbicara dengan mereka, saya puas. Happy. Kalau tidak, tentu sudah saya bakar lagi,” kata dia ringan.
Di samping karya klasik khas Dolo berupa belasan sosok perempuan: yang menyerupai Madonna, perempuan dengan anak, perempuan yang dikontraskan dengan lelaki militer dan penguasa, serta perempuan penari, Dolo memberikan kejutan lain.
”Ada laki-laki sekarang dalam karya saya,” ia tertawa sambil menyeruput kopi pahit di studionya, tempat nongkrong para seniman, aktivis, atau kalangan bohemian Ibu Kota yang mencari rihat di tanah seluas hampir dua hektare warisan ayahnya di dekat Taman Mini Indonesia Indah, Jakarta Timur.
Dolo, yang sebelumnya hanya pernah membuat sosok laki-laki dalam karakter Wiji Thukul—seniman Yogya yang hilang diculik di era reformasi 1998—dan Dalai Lama, pemimpin spiritual Tibet, kini membuat sosok laki-laki. Toh, tak ada yang berdiri sendiri. Ia hadir dalam relasinya dengan perempuan. Ia hadir untuk dipeluk, dicumbu, dimarahi, dijadikan obyek kesia-siaan dan sakit hati, tapi sekaligus juga teman menjemput ajal di hari tua. Dolo mengatakan, inilah fragmen kehidupan perempuan dengan lawan jenisnya. Di antara yang menarik, ada yang berangkat dari puisi Chairil Anwar, Sia-Sia (Bronze, 2006), dan pengantin Batak, Sampai Tua Bersama (Fiberglass, 2008).
Lihatlah adegan laki-laki dan perempuan yang bersitegang dalam You Tell Me (Bronze, 2008). Si perempuan berkacak pinggang, tapi si lelaki separuh menyender, menumpangkan kaki. Sikap duduk yang sungguh slengekan— dalam bahasa Jakarta. Sang perempuan menuntut, sang lelaki menyepelekan. Si perempuan bertanya, sang lelaki hanya mengangkat bahu seolah berkata, ”Wis toh Mbakyu, kok marah terus?”
Menurut Dolo, inilah wujud ”kesetaraan” dalam arti yang sebenarnya. Sungguhpun si perempuan marah, sang lelaki tak merasa perlu minta maaf dengan sikap tubuh serius. Bila situasinya dibalik, misalnya sang lelaki marah dan si perempuan menghadapinya, kecil kemungkinan kaum Hawa bisa menghadapi dengan sikap duduk bertelekan kursi seperti itu. ”Itu power, kan,” kata Dolo.
Kritikus seni Melani Budianta, teman dekat Dolo, menyebutnya sebagai ”kemampuannya mengungkap karakter, lalu mengkristalkannya menjadi sebuah bentuk yang memancarkan emosi, dan di dalam patung-patung terbaiknya, bahkan melampaui emosi, masuk ke jiwa penciptaannya.”
Tapi Dolo tetap seorang perupa yang terkenal dengan kegiatan sosialnya. Dolo, yang feminis, terkenal dengan jaringan sukarelawan dan aktivis perempuan, tak bisa meninggalkan unsur kritik sosial dalam karyanya. Maraknya aksi penggusuran di masa Gubernur DKI Jakarta Sutiyoso, misalnya, diabadikan dalam We Will Fight (Bronze, 2003); inilah lima perempuan yang menjerit, memprotes, tapi tak ayal membawa serta wajan dan buntelan, serta menggendong bayi, dalam ketidakmampuan mereka melawan aparat.
Ada tiga patung yang mewakili bencana tsunami Aceh. Dalam Silent Scream (Fiberglass, 2008), warnanya yang agak kebiruan seolah melukiskan dahsyatnya kekuatan air menyeret hampir 200 ribu nyawa dalam sekejap. Dan bagi Dolo, penderitaan itu menjadi relasi antara ketiga perempuan dan Tuhannya. Mulut mereka yang berbentuk O seolah menyerukan pertanyaan sebelum air bah itu merenggut nyawa: apa yang Tuhan maksudkan dengan semuanya?
Dan yang paling menarik adalah dua sosok kurus yang sungguh buruk rupa dengan rambut, wajah, dan seluruh kepala seolah luruh oleh lumpur. Judulnya menyuarakan korban lumpur Lapindo di Sidoarjo, Jawa Timur: Semburan Lumpur Itu Tidak Akan Berhenti...” (Fiberglass, 2008). Untuk yang terakhir ini, Dolo bahkan berkelakar. Sambil mengelus-elusnya, Dolo berkata, ”Kasihan, kamu kok bisa morat-marit begini, sih? Padahal gue yang bikin,” kata Dolo seraya tertawa.
Sebuah percakapan liris, tapi jenaka, seperti Gepetto yang menangisi takdir ciptaannya.
Kurie Suditomo
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo