Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Surat Pembaca

Surat Pembaca

19 Desember 2005 | 00.00 WIB

Surat Pembaca
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Pelurusan Informasi Ukrida

SAYA ingin meluruskan informasi berita tentang Ukrida (Universitas Kristen Krida Wacana) yang dimuat di Sinar Harapan, 2 Februari 2005, dan majalah Tempo, 6 Maret 2005.

Dalam pemberitaan disebutkan bahwa telah ada perdamaian antara Dekan Fakultas Kedokteran Ukrida, DR Dr Frits A. Kakialatu, Sp.B, Sp.BU, FICS, dan Rektor Universitas Kristen Krida Wacana, Jakarta. Berita tersebut adalah tidak benar dan tidak ada.

Yang benar adalah, pihak Ukrida menggunakan sebagai dasar yaitu surat kesepakatan bersama tanggal 18 Januari 2005, yang ditandatangani oleh kuasa hukum kami, Ir Gerson P. Nggadas, SH, dengan kuasa hukum Ukrida, yakni Doni Antares Irawan, SH, dan Petrus Selestinus, SH.

Namun sayang, kuasa hukum kami hingga kini belum pernah membantah kesepakatan itu seperti yang saya minta, sehingga kesepakatan bersama itu merugikan saya. Saya pun sudah pernah membantah kesepakatan bersama itu seperti dimuat di Tempo edisi 3 April 2005. Semoga pelurusan informasi ini dapat diketahui masyarakat luas, khususnya mahasiswa Ukrida

DR DR FRITS A. KAKIALATU, SP.B, SP.BU, FICS Bintaro Jaya, Jakarta Selatan

Surat Terbuka Ketua PBNU

KEPADA Al-Mukarram: 1. KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur), 2. Para kiai sepuh (KH Abdullah Faqih, KH Idris Marzuki, KH Zainudin Jazuli, KH Muhaiminan Gunardo, KH Abdurrahman Khudlori, KH Warsoen Munawir, KH Ahmad Subadar).

Berkenaan dengan konflik di Partai Kebangkitan Bangsa yang melibatkan jajaran panutan nahdliyin, selaku santri dan generasi penerus, dengan kerendahan hati, kami mengajukan imbauan sebagai berikut.

  1. Kiranya Gus Dur dan para kiai sepuh yang mulia berkenan segera mendekat satu sama lain, berjabat tangan erat penuh kasih sayang dan ketulusan, untuk menyambung tali silaturahmi di antara beliau-beliau yang belakangan sempat merenggang.

  2. Kami segenap nahdliyin generasi penerus akan bersujud syukur apabila perselisihan yang telah menjadi terbuka untuk semua mata dan telinga bahkan menjadi bahan olok-olok di kalangan masyarakat ramai bisa berakhir secepatnya.

  3. Kami melihat bahwa yang beliau-beliau perselisihkan sebenarnya hanyalah masalah ”siyasah” berkisar pada penilaian subyektif antara ”yang baik” dan ”yang lebih baik” yang bisa dinegosiasikan; bukan antara yang baik dan yang buruk, apalagi antara yang hak dan yang batil, yang menurut agama memang tidak dapat dikompromikan.

  4. Kami yakin, sekiranya kedua belah pihak berkenan kembali pada kebeningan hati dan kearifannya yang unggul seperti ditunjukkan selama ini sebagai panutan dan pengemban cita-cita Mbah Hasyim, niscaya perselisihan dengan mudah dapat diakhiri. Dan kami pun yakin bahwa tiap-tiap pihak, tanpa kalkulasi kepentingan pribadi, akan bersedia dengan ikhlas saling membuka diri dan saling memberi atau berkompromi.

  5. Kami yakin dengan tercapainya islah antara beliau-beliau tidak akan ada yang hilang kecuali kebingungan umat, khususnya nahdliyin, dan keterpurukannya. Sungguh konflik yang terjadi di kalangan nahdliyin, apalagi yang melibatkan sesepuh panutan, sangat besar dampaknya pada keutuhan umat dan bangsa.

Demikianlah, kami dan segenap nahdliyin tetap percaya akan kebesaran hati semua, dan akan terus menapaki jejak keteladanan panjenengan semua. Mohon maaf sebesar-besarnya jika dianggap kurang sopan, su-ul adab.

MASDAR F. MAS’UDI Ketua Pengurus Besar NU

Kelaparan di Yahukimo

BENCANA kelaparan yang dialami masyarakat di Kabupaten Yahukimo, Provinsi Papua, yang terungkap beberapa waktu, merupakan tragedi kemanusiaan di Indonesia yang sama sekali tidak dapat dimaafkan. Bukan hanya karena Indonesia merupakan negeri yang kaya raya dengan sumber daya alam dan karena itu mengandalkan pembangunannya pada pertanian dan perkebunan, tetapi juga karena dewasa ini kita telah mengenyam berbagai kemajuan teknologi pangan. Bencana kelaparan itu jelas merupakan cermin dari kegagalan Indonesia mengelola sumber daya alamnya, khususnya usaha-usaha pertanian dan perkebunan, dan ketidakmampuan Indonesia memanfaatkan sebaik mungkin kemajuan-kemajuan teknologi pangan.

Secara lebih khusus, bencana kelaparan yang terjadi di salah satu wilayah di Provinsi Papua itu terlihat merupakan penegasan saja dari berbagai ketidakpedulian dan atau pengabaian dari keseluruhan jajaran pemerintahan dari pusat hingga daerah terhadap aspek keamanan manusia (human security) dari masyarakat Papua. Dalam banyak urusan yang terkait dengan Papua selama ini, jajaran pemerintahan terlihat terlalu menyibukkan diri dengan masalah-masalah politik dan politik-ekonomi semata-mata, yang menghasilkan hanya kelalaian menyelenggarakan pelayanan publik yang di antara yang utama adalah memastikan terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan primer masyarakat Papua. Memastikan penyelenggaraan pelayanan publik merupakan kewajiban dan tanggung jawab yang tidak dapat diabaikan sama sekali bagi suatu pemerintahan dalam sebuah negara republik seperti Republik Indonesia.

Dengan pertimbangan-pertimbangan itu, Forum Papua menyerukan kepada jajaran pemerintah pusat hingga pemerintah daerah untuk:

  1. Mengakui bencana kelaparan itu sebagai kegagalan yang amat fatal atas penyelenggaraan pelayanan publik kepada masyarakat Papua.

  2. Segera melakukan langkah-langkah terpadu dan menyeluruh yang dilakukan secara cepat-tepat demi mengatasi dan mencegah kemungkinan meluasnya bencana kelaparan itu atas masyarakat Papua di wilayah-wilayah lain di Provinsi Papua.

  3. Bersama-sama dengan DPR RI, MRP, dan DPRP membuat kebijakan-kebijakan terpadu yang secara khusus ditujukan untuk meningkatkan kualitas kesejahteraan, pendidikan, dan kesehatan umum masyarakat Papua.

Forum Papua ingin kembali menegaskan bahwa penderitaan yang dialami masyarakat Papua merupakan penderitaan masyarakat Indonesia; dan karena itu, ingin mengajak seluruh masyarakat Indonesia memupuk solidaritas dan kepedulian bersama demi mengatasi penderitaan ini.

ALBERT HASIBUAN Koordinator Forum Papua Jakarta

Untuk Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara

BEBERAPA waktu yang lalu, saya mengikuti tayangan interaktif di salah satu stasiun TV dengan Bapak Menteri Penertiban Aparatur Negara. Saya menaruh hormat dan simpati atas langkah-langkah yang telah dan akan ditempuh oleh Pak Menteri sehubungan dengan tugas beliau menertibkan aparatur negara.

Di antara keterangan beliau yang menarik ialah, penerimaan pegawai negeri pada masa-masa yang akan datang akan bebas dari kolusi, sogok, dan semacamnya seperti terjadi pada waktu-waktu yang lampau. Saya menanggapi bahwa beliau mensinyalir penerimaan CPNS tahun lalu masih sarat dengan cara-cara tidak sehat. Padahal, menurut beberapa kalangan, penerimaan CPNS tahun 2004 itu sangat fair dan memuaskan banyak pihak, termasuk mereka yang tidak lolos. Bahkan seorang staf pemda di Sulawesi Selatan menyatakan dengan terus terang bahwa pegawai negeri sipil hasil seleksi tahun 2004 kinerjanya sangat memuaskan, jauh lebih baik dari tenaga honorer yang membantunya selama ini. Ini mungkin karena masuknya mereka tanpa seleksi.

Selain itu, saya menanggapi bahwa Pak Menteri juga akan memprioritaskan penerimaan pegawai negeri kepada lulusan terbaik dari perguruan tinggi. Cara ini tentu adalah hal yang sangat baik karena berarti menjaring tenaga qualified, sekaligus mendorong mahasiswa berpacu mencapai prestasi yang setinggi-tingginya.

AMINUDDIN JAFAR Jalan Ujungpandang Baru, Makassar

Nasib Bekas Milisi Prointegrasi

DIBANDINGKAN dengan gerilyawan Gerakan Aceh Merdeka, nasib milisi prointegrasi Timor Timur di Timor Barat lebih nestapa, seperti ditulis Tempo edisi 5-11 Desember 2005, di bawah judul Barak Kusam di Kolam Susu dan Dua Cerita Pecundang.

Gerilyawan GAM yang memberontak untuk merdeka melepaskan diri dari RI justru mendapat tunjangan Rp 1 juta per bulan. Sementara itu, nasib mereka yang membantu TNI dalam perang integrasi berakhir di barak kusam di beberapa kabupaten di Timor Barat, tanpa tunjangan, tanpa makanan, dan tanpa perhatian.

Apakah bangsa ini kelak dicap oleh generasi mendatang dan dunia sebagai bangsa yang tidak pernah tuntas mengisi cita-cita kemerdekaan? Cita-cita konstitusi akan masyarakat yang melindungi serta masyarakat yang sejahtera, ternyata setelah 60 tahun merdeka menjadi bangsa yang tidak tertib hukum, korupsi, dan miskin.

CORNELIS A. BOEKY, MPA Tanjung Barat, Jakarta 12530

Logo Pertamina

PERTAMINA berganti logo, yang kini mulai disosialisasi. Iklannya menyita satu lembar koran nasional. Biayanya tentu sangat besar, tetapi buat Pertamina itu semua enteng saja. Menurut yang empunya kuasa, logo itu mencerminkan visi, misi, dan fungsi Pertamina. Perancangnya juga bukan perusahaan pencetak logo kelas kacangan. Yang pasti, kini simbol kuda laut sepasang yang sedang merangkul sebuah bintang akan punah. Kalau dalam mitologi bangsa Cina, logo itu mirip-mirip simbol sepasang naga yang sedang menghadapi bola api yang menggambarkan bola dunia.

Direktur Utama Pertamina kini bertindak sangat sembrono dan gegabah. Logo Pertamina sudah lekat di masyarakat Indonesia sendiri dan juga sudah mendunia. Tidak seharusnya ia mengganti logo tersebut dengan yang sekarang, di mana kemiripannya hanya sebagai logo perusahaan biasa, walaupun terlihat jelas merupakan huruf P sebagai simbol Pertamina. Sepasang kuda laut menyemburkan kesan garang dan juga keangkuhan, yang terasa pas dengan core business Pertamina, yakni minyak yang bisa muncul dari lapisan bumi maupun dasar lautan. Tak ada lagi kesan yang dapat dibanggakan buat bangsa dan negara ini.

Lain dengan logo Telkom maupun Garuda, yang mencerminkan misi dan visi keduanya. Logo baru Pertamina membuat perusahaan negara itu bagaikan ditanggalkan gigi dan kukunya. Belum lagi perubahan semua elemen yang terkait dengan penggantian logo tersebut, misalnya penggantian logo di semua lini dan mobil-mobil tangki Pertamina, SPBU, dan seluruh kepala surat yang telah dibuat oleh semua mitra kerja Pertamina, termasuk TAC, PKS, JOR, dan lain sebagainya. Akan banyak biaya yang keluar, dan bakal banyak mereka yang akan kecipratan proyek.

Apakah semua itu perlu, di saat bangsa negara ini sedang mengalami suatu kehidupan yang sulit seperti sekarang ini? Pihak DPR, dan bila perlu presiden, sewajarnya turun tangan untuk tidak menghapus begitu saja sebuah logo yang sudah mendunia

TAUFIK KARMADI Jakarta Barat

Reshuffle, Keputusan yang Sia-sia

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono akhirnya memutuskan me-reshuffle menteri-menteri bidang ekonomi Kabinet Indonesia Bersatu. Dua orang menteri wajah baru, sedangkan yang lain hanya bertukar posisi. Alasannya, Presiden ingin agar kinerja menteri bidang ekonomi lebih baik di masa mendatang.

Sepintas, keputusan tersebut mungkin tepat, tapi sebenarnya sia-sia. Jika yang diganti hanya personelnya, sementara sistem ekonominya masih setia dengan sistem ekonomi kapitalis, rakyat tetap saja sengsara. Jika pemerintah masih manut kepada IMF dengan mencabut subsidi bahan bakar minyak, subsidi pendidikan, dan kebijakan lain yang merugikan rakyat, pengangguran dan kemiskinan masih tetap tinggi.

Jika diibaratkan, negara ini seperti sebuah bangunan yang kayunya sudah keropos lalu dicat berulang kali. Mungkin akan terlihat indah dari luar, tapi suatu saat bangunan itu akan tetap runtuh, hanya tinggal menunggu waktu. Sudah saatnya diterapkan sistem yang menyeluruh dan sempurna yang bisa memecahkan semua permasalahan yang dialami bangsa Indonesia. Sudah saatnya pemerintah secara jujur mengakui kegagalan sistem perekonomian kapitalis yang menyengsarakan rakyat dan menggantinya dengan sistem ekonomi Islam yang telah terbukti membawa kesejahteraan bagi rakyatnya. Wallahualam

IRMA SARI RAHAYU Bekasi, Jawa Barat

Haji dan Kemiskinan

SETIAP bulan Zulhijah, sebagian umat Islam melaksanakan ibadah haji. Ibadah pengorbanan harta dan fisik ini diharapkan dapat mendatangkan nilai haji yang mabrur. Tapi sekarang ada tren di kalangan masyarakat bahwa haji tak lebih hanya sebuah wisata spiritual. Sepulang haji tak ubahnya seperti sebelum berhaji.

Di Indonesia, yang katanya sedang terkena krisis ekonomi, kok orang antre berhaji. Ternyata, dari survei kecil-kecilan yang saya lakukan, ada jemaah haji yangmendapatkan uang bukan dari usaha pekerjaan melainkan dari hasil menjual sawah. Bahkan ada yang nekat menghabiskan uang untuk berhaji, padahal pendapatan untuk keluarga tak ada.

Saya kira ini pemahaman keagamaan yang salah. Saya mengusulkan agar orang yang berhaji disurvei apakah mereka benar-benar mampu dalam hal keuangan. Kalau tidak, tolak saja (bedakan dengan haji hadiah). Bayangkan, ONH Rp 27,5 juta, kalau dipakai buat modal usaha, bisa mengurangi kemiskinan dan pengangguran. Bukankah ajaran Islam untuk kesejahteraan manusia, bukan untuk diri sendiri?

ACHSIN EL-QUDSY Jakarta

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus