Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PEREMPUAN itu pucat pasi. Tangannya gemetar, peluh menghablur di wajahnya yang putih. Ketika dia mencoba menunduk dan melihat ke bawah, di antara kedua kakinya pepohonan terlihat kerdil. Tubuhnya bergoyang diterpa angin.
Kamera dengan tekun mengabadikan adegan bergantung di seutas tali yang dikaitkan pada dinding gua, puluhan meter di atas permukaan tanah itu. Dengan descender—alat bantu menuruni tempat tinggi—yang melekat pada simpul tali di dada (chest harness), dibutuhkan 30 menit sebelum ia berhasil menjejakkan kaki di dasar gua.
Tika Sakia, yang baru saja melakukan adegan berbahaya itu, bukanlah pencinta alam atau orang yang sedang berniat menaklukkan tantangan ekstrem. Perempuan bertampang oriental itu ”hanyalah” pemandu Gapura, sebuah acara petualangan di stasiun televisi RCTI.
Suaranya terdengar kelu bergetar ketika ia menuturkan pengalamannya menuruni Luweng Jomblang di pedalaman kawasan karst (gunung karang) Gunung Sewu, Kabupaten Gunungkidul, Yogyakarta. Luweng ini merupakan gua vertikal dengan kedalaman lebih dari 60 meter.
Gapura, yang tayang sejak awal 2003, mulanya bukan acara petualangan penuh tantangan, melainkan sekadar melancong-lancong ke berbagai tempat wisata. Tapi, sejak awal 2004, tema dokumenter traveling pada Gapura perlahan bergeser.
Tema wisata mulai diselingi tayangan petualangan dan penjelajahan yang membutuhkan kemampuan profesional pencinta alam, seperti menuruni Luweng itu. Bahkan dalam waktu dekat Gapura akan total menjadi acara petualangan alam, sekaligus berganti nama menjadi Trekking.
Tentu ini mengikuti fenomena makin maraknya program petualangan alam di televisi. Selain Gapura, ada Jelajah (Trans TV), Teropong dan Horison (Indosiar), serta Jejak Petualang, Petualangan Bahari, dan Petualangan Liar (TV 7).
Metro TV menampilkan Archipelago dan Expedition. Global menyuguhkan Lintas Batas. Meskipun peringkat tayangan itu tidak setinggi reality show macam Akademi Pelawak TPI dan Akademi Fantasi Indosiar, tetap ada penggemar khusus—dan tentu saja pangsa iklan tersendiri.
Di sini Jejak Petualang, yang lahir pada April 2003, bisa disebut pelopor model acara seperti ini. Acara yang dipandu perempuan manis berambut panjang, Riyanni Djangkaru, itu terasa segar dan berbeda dengan tayangan-tayangan lain ”berbau wisata”.
Riyanni tampil kasual—lengkap dengan ransel—tanpa dandanan seperti lazimnya presenter perempuan yang termanja-manja. Kamera bahkan terus merekam tubuhnya yang berpeluh, kulitnya yang terbakar, atau kesantaiannya berkotor-kotor.
Riyanni sendiri tidak punya latar belakang petualang. Ia tampak bergidik ketika pertama kali harus menyantap ulat sagu, yang sebetulnya sedaaap itu. Riyanni juga kelihatan gemetar ketika mencoba memanjat tebing.
Justru keberanian sang presenter mencoba hal baru membuat penonton serasa ikut mengalami. ”Inti tayangan ini bukan hanya mengajak pemirsa menyaksikan petualangan, melainkan sekaligus merasakannya,” kata Dody Johanjaya, produser Jejak Petualang.
Setelah Jejak Petualang makin sohor, TV 7 membuat varian acara lainnya, Petualangan Bahari. Kemudian menyusul Petualangan Liar, dengan menyuguhkan kehidupan reptilia, khususnya ular.
Lalu, lahirlah upaya mendekati penggemar. Jejak Petualang, misalnya, menyelenggarakan jambore ke tempat tertentu, melibatkan publik yang ingin ikut bertualang-tualang. Jumlahnya tentu dibatasi.
Ketika program macam ini mulai ramai bermunculan, biasa, kompetisi pun jadi tajam. Jejak Petualang mulai berani memproduksi episode ekstrem, seperti menembus salju abadi di ketinggian 4.000 meter Jayawijaya, Papua. Tim Jelajah mendaki Gunung Himalaya—tak sampai puncak—yang ditayangkan pada episode ulang tahun Trans TV.
Pendatang baru, Lintas Batas, yang diluncurkan November lalu, bahkan langsung ke jalur ekstrem. ”Kami mengkhususkan pada olahraga alam bebas,” kata Meibi Prabowo, produser Lintas Batas.
Tayangan ini mengupas lengkap proses bergiat di alam bebas, mulai dari persiapan, peralatan, hingga aspek teknis. Kegiatannya pun beragam, dari penelusuran gua, panjat tebing, arung jeram, hingga menyelam.
RCTI akhirnya mengubah Gapura menjadi Trekking, yang sepenuhnya acara petualangan. Logonya pun diganti. Acara ini akan disampaikan secara menghibur, berusaha ”membawa” penonton ke tengah aksi petualangan.
Sebetulnya, menyuguhkan acara petualangan di layar kaca, apalagi dengan durasi setengah jam, bukanlah pekerjaan mudah. Persiapan peliputan membutuhkan satu sampai satu setengah bulan. Agar lebih efisien, tim akan mencari tema lain sehingga dalam sekali peliputan bisa dihasilkan tujuh hingga 12 episode yang masing-masing menelan biaya sekitar Rp 17 juta.
Menurut pengamat televisi, Veven S.P. Wardhana, acara petualangan pada awalnya lahir dari perkembangan tayangan dokumenter luar negeri. Pesona gunung dan alam liar menjadi magnet ketika sejumlah stasiun televisi dunia mengangkat tema ini di layar kaca.
National Geographic, Lonely Planet, dan Discovery adalah beberapa contohnya. Setelah acara tersebut populer, sejumlah stasiun lokal langsung melakukan ”pemribumian”. ”Petualangan Liar yang jelas-jelas menjiplak tayangan Killer Instinct dengan pemandu nyentrik Rob Bredl,” kata Veven.
Meskipun tak terlalu orisinal (atau ada yang orisinal?), program petualangan di berbagai stasiun televisi lebih layak tonton ketimbang acara-acara tak jelas, misalnya hantu-hantuan itu, atau sinetron dengan tema itu-itu saja.
Paling tidak, dalam acara bertualang-tualang ini, penonton mendapat informasi menarik tentang berbagai tempat di Tanah Air. Bisa juga dilampiri pesan untuk menjaga kelestarian lingkungan. Apa salahnya? Ketimbang serial hantu itu.
Cahyo Junaedy
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo