Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Kematian dan Awan-awan

Pelukis Ivan Sagito menampilkan pameran bertema "Hidup Bermuatan Mati" di Jakarta. Citra-citra kehidupan yang fana.

4 Juli 2005 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Khazanah Jawa memiliki istilah mati sajroning urip. Sebuah istilah untuk menunjukkan fase seseorang mampu mengendalikan hasrat-hasratnya secara optimal. Ia yang mencapai tahap ini dianggap telah menundukkan babahing hawa sanga—sembilan lubang kehidupan: menjauhi seks, banyak tirakat (cegah dhahar, lawan guling), senantiasa puasa, dan mengurangi tidur.

Hidupnya seperti orang mati, tak memiliki nafsu-nafsu duniawi, kecuali hanya niat menggapai "cahaya"—penyucian hati. Orang demikian dipercaya memiliki keterbukaan untuk menangkap sinyal-sinyal Ilahi.

Judul pameran Ivan Sagito, "Hidup Bermuatan Mati", menyiratkan bahwa ia bakal mengolah tema itu. Tapi pemahamannya atas mati sajroning urip ternyata lain. Ivan selama ini dikenal sebagai pelukis di jalur surealis. Lukisannya kerap menampilkan obyek-obyek perempuan-perempuan dusun Jawa—berselendang, berkebaya tradisional, sapi-sapi di pasar tradisional—tapi digarapnya seperti dalam alam mimpi atau alam bawah sadar. Obyek itu sering ditaruh dengan latar lanskap awan-awan.

Pameran lukisan kali ini berfokus pada penderitaan dan kematian, dan agaknya sangat diinspirasikan oleh karya-karya dan visi tragis Kathe Kollwitz (1867-1945), seniwati Jerman tersohor itu. Bila kita mengunjungi Berlin, di sana terdapat sebuah museum khusus Kathe Kollwitz—terletak di Fasanenstrasse 24. Museum yang mungil ini menyimpan semua karya Kollwitz. Lantai satu dan dua memamerkan karya grafis, etsa, atau charcoal. Lantai tiga dan empat memamerkan karya patungnya.

Memasuki museum ini setiap pengunjung akan diberi semacam walkman berisi kaset dalam bahasa Inggris yang menceritakan pergumulan Kollwitz di balik karya-karyanya. Menurut informasi utama yang disajikan kaset itu, dalam mencipta Kollwitz selalu bertolak dari perenungannya atas duka dan derita ibu-ibu dari kalangan kelas pekerja.

Perempuan-perempuan yang menanggung beban malaise dan kekacauan perang. Banyak gambar menampilkan ibu dan kematian: Woman Welcoming Death, Death with Girl Lap, The Widow, Death upon the Highway. Ekspresi muka selalu menampilkan seolah ajal siap mencabut. Potret-potret diri Kollwitz sendiri terasa menampilkan nyeri yang serupa.

Selama ini juga Ivan Sagito selalu mengolah lukisan bertema ibu-ibu dari kalangan bawah. Mereka bersandal jepit atau telanjang kaki. Buruh ibu-ibu yang membanting tulang seharian, lalu penat tertidur di sembarang los-los pasar. Setagen—lilitan kain di perut—kerap dipakai Ivan sebagai metafora lilitan beban kehidupan. Kini ia kembali menampilkan citra para ibu dengan rambut memutih, tubuh ringkih letih, tangan-tangan keriput. Tapi di balik itu ada sebuah "keremukan" yang lebih dalam.

Makasih Kollwitz (2005). Inilah karya yang paling me-nandakan hal itu—dan yang juga paling mengisyaratkan bahwa Ivan terpesona oleh Kollwitz. Seorang perempuan tua berkain kebaya dengan warna kuning yang pudar dan sarung berwarna hijau daun, berbaring melayang di atas awan-awan. Entah ia menjalani sakaratul maut atau telah meninggal. Tubuhnya terbujur tenang, tapi seperti meredam kesakitan. Ekspresi mukanya menengadah, bintik hitam matanya hilang. Tangannya seolah meregang, tubuhnya memanjang. Seolah dalam kematian pun masih ada kesakitan yang menjalar.

Menyaksikan lukisan ini. Bayangan kita bisa terlempar ke imajinasi seorang buruh perempuan tua di Pasar Beringharjo sana yang terkapar. Yang telah mengalami kematian saat hidup. Bukan karena mengejar spiritualitas, melainkan memang oleh hidup sehari-hari yang keras, yang tak memihak mereka.

Soalnya kemudian adalah dalam pameran tidak ada karya lain yang sekuat ini. Karya-karya lain malah seolah dimaknai oleh karya ini. Juga karya-karya Ivan yang bertema rambut. Pada 1990-an, Ivan banyak menampilkan karya yang menggambarkan rambut sebagai metafora: Kefanaan (1991) atau Moving to Another Dimension (1999). Keduanya menyajikan perempuan dengan rambut panjang terurai ke atas seolah melawan gravitasi atau perempuan dengan rambut bertubuh pelepah pisang melayang-layang di udara.

Pada pameran kali ini, ia menghadirkan serial sketsa-sketsa seperti Mati di Luar Sakit di dalam dan instalasi Air Alir yang kembali mengolah tema rambut. Ada lima sketsa menunjukkan wajah-wajah perempuan melayang dengan posisi terbalik, dengan rambut lurus simetris ke bawah. Juga, instalasi terdiri dari otot-otot kayu—dibentuk seperti helai-helai rambut—yang di setiap permukaannya dibuat seperti ada bintik mata menatap.

Gambar dan instalasi Ivan ini menyajikan perenungan tentang "dunia sana", tapi tak membuat kita menatap lama-lama. Ini berbeda dengan Makasih Kollwitz, makin lama dipandang, makin terasa kita memiliki kedalaman.

Seno Joko Suyono

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus