Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sebuah tongkat. Sepasang mata yang terlindung kaca. Dan seonggok semangat tak berkesudahan. Erwin Gutawa mengisi Indonesia dengan musik dari ujung jarinya. Dan untuk kali pertama, tak kurang dari Royal Albert Hall di London prestisius bagi para pemusik kelas dunia pun membuka pintu menyambut hangat kedatangannya di awal April lalu.
Di sana, Erwin dengan tongkat konduktor memimpin 34 anggota The London Symphony Orchestrasalah satu orkestra ternama dan berwibawa di dunia. Sejarah baru tertoreh sudah. Erwin adalah konduktor Indonesia pertama yang berhasil menerobos Royal Albert Hall.
Selama dua jam ia memimpin orkestra kelas dunia itu mengiringi Siti Nurhaliza, penyanyi jelita bersuara bening asal Malaysia, tampil memukau penonton. Erwin mengaku pengalamannya bertambah, terutama soal profesionalisme.
Mahalnya sewa ruangan membuat latihan hanya bisa dilakukan sekali. Maka, persiapan harus dilakukan dalam waktu yang mepet. Ia membagikan partitur, para anggota orkestra membaca sebentar, lalu satu demi satu lagu dimainkan. Esoknya mereka langsung pentas. Toh, hasilnya tanpa cela. "Mereka betul-betul orang-orang profesional," Erwin tak habis memuji.
Berkesenian sejak usia amat belia, pemirsa Indonesia sudah melihat Erwin kecil tampil di layar kaca dalam acara Bina Vokalia di awal 1970-an melalui sebuah drama musikal Si Pincang. Mula-mula ia menyanyi dan sempat beberapa kali main film dengan bintang-bintang cilik lain di masa itu seperti Nanien Sudiar dan Ria Irawan.
Erwin mengaku merasa dibesarkan Pranadjaya, pendiri Bina Vokalia. "Pak Prana yang membuat batin saya terbuka pada musik," katanya suatu ketika kepada Tempo. "Bukan proses instan, tapi melalui jalan panjang, lewat disiplin latihan, belajar dan bergaul dengan teman sebaya di sanggar."
Kemudian Erwin bergabung dengan Bina Musika karena ia juga memiliki bakat musik dan pandai membaca not balok. Mula-mula ia memegang vibraphone dan akordeon, sampai suatu ketika dalam pertunjukan di Palembang, pemain bas kelompok bandnya berhalangan hadir. Tanpa rencana, pelatih bandnya menunjuk dia untuk menggantikan.
Sejak itu, Erwin terus-menerus menjadi bassist sekaligus vokalis band bocah itu. Mereka kerap tampil mengiringi aneka tarian mulai dari Mak Engket, Tari Piring, Tari Payung, sampai dangdut di televisi. Bayarannya Rp 2.500 sekali tampil. "Waktu itu saya masih duduk di Sekolah Dasar," kata Erwin yang kini telah menapaki usia 43 tahun.
Sebagai pemain bas, Erwin belasan tahun malang melintang mematangkan diri dalam kancah musik Indonesia. Mulai dari tampil bersama Orkes Telerama pimpinan Isbandi, kelompok musik Transs sampai Karimata. Ia main di segala tempat. Mulai acara ulang tahun teman sampai North Sea Jazz Festival di Den Haag, Belanda. Dan, tentu saja, membuat album rekaman.
Ketika bermain untuk Orkes Telerama yang kerap tampil di TVRI itu pula Erwin untuk pertama kalinya belajar membuat aransemen orkestra. Isbandi yang memintanya membuat aransemen lagu Tudung Periuk dalam medley lagu daerah. Erwin yang ketika itu masih bau kencur tentu gelagapan.
Begitu groginya sampai-sampai kertas score untuk menulis partitur lagu nyaris robek. "Saya tulis, hapus, tulis lagi, hapus lagi," katanya seraya tertawa terbahak mengenang kesulitan di masa-masa awal kariernya itu. Beruntung Isbandi bukan orang yang keras. Justru sebaliknya. "Dia percaya saya mampu dan sabar memberi arahan," ujarnya. Setelah mendapat sentuhan akhir dari Isbandi, akhirnya aransemen itu direkam.
Selanjutnya adalah sejarah gemilang. Erwin terus menancapkan kuku di blantika musik Indonesia. Ia tak pernah terkungkung dalam satu jenis musik. Semasa di Karimata ia bermain fusion jazz. Tapi ia juga mendalami musik tradisi dan tak menabukan jenis musik modern yang lain.
Semua pengetahuan bermusik itu tak pernah ia timba dari sekolah musik formal. Ia mengembangkan sendiri kemampuan bermusik dengan rajin membaca berbagai buku. Di rumahnya yang asri di kawasan Pondok Indah, Jakarta Selatan, ia menyimpan koleksi kaset, cakram digital (CD) dan cakram video digital (DVD) yang cukup komplet dari segala jenis musik.
Kendati tetap memperhatikan selera pasar, Erwin juga tergolong musisi idealis. Ia selalu membuat dan memainkan musik yang ia suka dan tak mau terlalu didikte pasar. Di awal 1980-an, ketika ranah industri rekaman Tanah Air sedang didominasi lagu-lagu berirama pop dengan pengarang seperti Rinto Harahap dan penyanyi seperti Iis Sugianto, Erwin justru mengeluarkan album berirama jazz. Lagu andalan dalam album itu adalah Melayang dengan penyanyi January Christy.
Dalam album itu, Erwin mendemonstrasikan betapa primanya dia bermain-main dengan kord polos maupun kord miring yang serba menabrak alias dissonance. Album itu ternyata mendapat sambutan istimewa dari masyarakat.
Lagu-lagu ciptaannya yang terkenal memang tak banyak, tapi berkualitas. Salah satunya adalah Tak Kuduga yang dinyanyikan Ruth Sahanaya. Eksperimennya yang lain terlihat ketika mengorbitkan penyanyi Edo Kondologit. Dulu Edo selalu membawakan lagu-lagu kaum Afro-Amerika. Erwin mengarahkannya untuk menyanyikan lagu-lagu dengan nuansa etnik Papua. "Kamu tak akan bisa bersaing dengan meniru-niru gaya orang lain," begitu petuahnya kepada Edo.
Sayang, album Edo yang berbicara soal lingkungan tak begitu sukses dari segi penjualan. Tapi kegagalan itu tertebus dengan keberhasilan Edo meroket sebagai penyanyi yang punya gaya tersendiri. Bahkan Edo sempat mendapat kesempatan rekaman di Jepang dan hasilnya diedarkan untuk pasar Negeri Sakura.
Dalam soal menjunjung orisinalitas, Erwin tak cuma berkhotbah. Kematangan dan kejeniusannya tecermin dari sikapnya yang tak pernah meniru-niru, bahkan tak pernah menyanyikan lagu-lagu milik orang lain. "Paling-paling saya membawakan lagu orang lain dalam acara pribadi, seperti ulang tahun teman," katanya.
Penjelajahan Erwin sebagai arranger tak sia-sia. Berulang kali ia mendapat ganjaran yang membanggakan. Pada 1989, ia menyabet penghargaan penata musik terbaik versi BASF. Tiga tahun kemudian ia menggondol penghargaan penata musik terbaik di Midnite Sun Song Festival, Finlandia. Setelah itu, secara berturut-turut ia meraih penghargaan sebagai penata musik terbaik versi Anugerah Musik Indonesia (AMI) dari 1997-2001.
Setelah sukses sebagai pemain musik, penulis aransemen dan produser album, Erwin rupanya merasa sudah saatnya menapak jenjang lebih tinggi. Apalagi sebagai arranger, ia sudah duduk di tingkat teratas penata musik Indonesia. "Saat melihat orang ngondak (menjadi konduktor) orkes, saya tertarik dan ingin merasakan juga menjadi konduktor sebuah orkes," kata pengagum Quincy Jones itu.
Erwin memang selalu menyukai orkestra dan tak pernah melupakannya. "Secara pribadi, saya amat tertarik pada suasana akustiknya," ujarnya. Bila menulis aransemen dirasakannya seperti melukis. Memimpin orkestra diibaratkannya bagai membuat tulisan tangan.
Uniknya, orkes yang ia komandani tak pernah membawakan lagu-lagu klasik. Erwin memimpin orkestra yang lebih sering mengiringi lagu-lagu pop, bahkan rock. Ia, misalnya, mengiringi penyanyi Chrisye dan Krisdayanti. Pada kesempatan lain ia bekerja sama dengan grup rock seperti Slank dan Gigi.
Pendeknya, Erwin menampilkan orkestra yang renyah, jauh dari kesan serius. Ia seakan menurunkan orkestra dari menara gading. Memberanikan penonton melepas tuksedo dan mengganti dengan jins dan T-shirt. Tak salah bila Erwin menyebut orkesnya "orkes kasual".
Salah satu karya orkestra yang menjadi salah satu tonggak perjalanan karier Erwin sebagai musisi kiranya adalah album Salute to Koes Bersaudara-Koes Plus. Dalam album ini ia seakan meniupkan roh baru bagi lagu-lagu Koes Plus/Koes Bersaudara. Yang istimewa, Overture Koes Potpourri, nomor instrumentalia yang terdiri atas tujuh lagu, hanya disiapkannya dalam tempo dua hari.
Biarpun begitu, nomor itu tetap terdengar elegan dengan iringan The Victorian Philharmonic Orchestra, Australia. "Berkat belajar arsitek semasa kuliah, saya terbiasa mengerjakan tugas dalam waktu sempit," ujar musisi yang sudah 25 tahun berkarier itu. Pantas bila album itu terjual lebih dari 200 ribu kopi di pasaran dan Erwin mendapat penghargaan platinum.
Sukses dan kemasyhuran tak membuat Erwin lupa diri. Ia tetap bersahaja dan rendah hati. Hubungannya dengan sesama musisi, baik yang lebih junior maupun senior, selalu terjaga baik. Sebagai komentator Akademi Fantasi Indosiar (AFI), ia juga dikenal dengan komentar-komentar yang santun, jujur dan tak pelit dengan pujian.
Waktu senggang di rumah dilakoni secara sederhana bersama istri dan anak tercinta: Lufti Andriani yang biasa dipanggil Lulu dan Aluna Sagita yang akrab disapa Gita. Di akhir pekan mereka sekeluarga biasanya menonton film di bioskop Pondok Indah yang tak jauh dari rumah.
Kerap dianggap eksentrik karena tak mau menggunakan ponsel, tapi faktanya Erwin punya alasan yang sederhana, bahkan menggelikan. Ia pelupa dan sudah tiga kali kehilangan ponsel, walkman, dan discman. "Saya tak biasa membawa barang carry handed, malah jadi stres," ujar Erwin. Satu lagi. Musisi terlalu sering punya "dalih" bahwa narkoba berguna untuk "penunjang ilham". Erwin sungguh cerdas untuk berpendapat sebaliknya. Dia sama sekali tak bersentuhan dengan rokok, alkohol, narkoba. Dan dia menunjukkan, tanpa menyentuh benda-benda itu, dia bisa berprestasi. Bravo!
Jadwal hariannya sederhana. Kegiatan Erwin biasanya cuma berkisar di rumah, kantor di bilangan Kemang, atau studio Aquarius di kawasan Pondok Indah. "Karena tak punya handphone, memang agak kacau kalau ada meeting di luar dan kemudian mendadak berubah," katanya.
Salah satu obsesi yang masih ingin digapainya kini adalah membuat musik operapentas yang sering dianggap mahkota seorang musisi. Ini semua dilakukan sembari ikut membesarkan Gita. Putrinya yang sudah berusia 11 tahun itu memang suka menyanyi, bahkan pernah rekaman bersama Ada Band. Maka, dengan begitu, sembari membesarkan anaknya dengan musik, Erwin mengisi Indonesia dengan musik.
Nugroho Dewanto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo