Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Surat Pembaca

Berita Tempo Plus

Surat Pembaca

15 Maret 2004 | 00.00 WIB

Surat Pembaca
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Lalu Lintas di Jakarta

LALU Lintas di Ibu Kota tiap hari semrawut, macet, dan mengesalkan. Meskipun mendongkolkan, keadaan ini harus diterima oleh para pengguna jalan demi bisa melaksanakan tugas masing-masing. Semua ini disebabkan oleh banyaknya kendaraan yang tiap hari mempergunakan jalan.

Menurut sumber dari Kepolisian RI, pada 1969 saja di Indonesia sudah ada 13.209.000 unit kendaraan dan di Jakarta sendiri ada 3.021.000 kendaraan. Kini jumlahnya pasti sudah berlipat-lipat karena minat membeli kendaraan pribadi besar sekali dan sukar dibatasi. Iklan mengenai mobil-baru memenuhi halaman harian Ibu Kota. Keadaan tidak makin baik dengan adanya peraturan baru dan sukar diduga mengapa pemerintah daerah terus mengeluarkan aturan yang makin mempersulit lalu lintas.

Jalan yang sudah sedikit dan sempit dan tidak dalam keadaan prima sekarang dipersempit karena sebagian diambil khusus untuk busway. Aturan three-in-one yang tadinya hanya pagi sekarang juga berlaku untuk sore. Kenapa busway yang belum jelas menguntungkan diberi prioritas dan mengorbankan pemakai jalan lainnya? Katanya, anggota korps diplomatik juga diharapkan mengikuti aturan three-in-one. Padahal banyak kedutaan yang pegawainya sedikit sekali sehingga sukar untuk selalu bepergian dengan jumlah penumpang tiga orang kalau ada keperluan. Menurut penulis, diplomat perlu memperoleh perlakuan khusus karena status diplomatiknya.

Untuk mengatasi lalu lintas di Jakarta, saya mengusulkan hal-hal sebagai berikut:

  1. Untuk memperlambat pertambahan mobil yang akan menambah kemacetan, mulai sekarang orang yang membeli mobil baru diharuskan minta izin kepada pemerintah dengan membayar pajak tertentu. Dengan hal ini, pertambahan dapat direm dan pemerintah menambah pemasukan uang. Ini tentunya harus berlaku secara nasional. Saya dengar aturan semacam ini berlaku di Singapura.

  2. Pemberlakuan three-in-one bisa diganti dengan penggunaan stiker untuk memasuki kawasan tertentu, umpamanya biru untuk pagi dan merah untuk sore, yang ditempel di kaca depan. Mereka membayar kepada pemerintah daerah untuk tiap stiker, umpamanya Rp 1.000, jadi ia membayar setiap hari Rp 2.000. Ini tidak terlalu berat karena yang melintas itu adalah orang yang mampu. Aturan ini akan sangat mempermudah tugas polisi karena stiker yang ditempel di kaca depan mudah terlihat dan pemerintah memperoleh pendapatan.

  3. Yang paling penting dan pasti memperbaiki keadaan lalu lintas adalah meningkatkan pengawasan disiplin lalu lintas, yang sudah dapat dikatakan rusak sama sekali, terutama terhadap pengendara sepeda motor, bemo, dan kadang-kadang angkutan kota dan bus umum. Banyak sekali yang ”mencuri” start pada waktu menghadapi lalu lintas. Sepeda motor biasanya kalau berhenti pun jauh melewati garis-garis yang telah ditentukan dan maju kapan saja asal ada kesempatan. Kalau ada lampu hijau, setelah menjadi merah, masih saja ada yang nyolong dan tetap melaju.

  4. Saya tidak mengusulkan adanya larangan bagi kendaraan dengan nomor belakang tertentu untuk dipergunakan pada hari tertentu. Umpamanya nomor mobil yang berakhir dengan angka ”2” tidak boleh dipakai untuk sehari penuh pada hari Senin dan yang nomor akhirnya ”3” tidak boleh dipakai pada hari lainnya (24 jam penuh). Begitu pula dengan nomor belakang lainnya. Harus diingat bahwa tidak semua orang memiliki mobil/kendaraan lebih dari satu. Bagaimana kalau ada keadaan darurat, umpamanya orang akan melahirkan atau ada yang sakit serius dan harus segera dibawa ke rumah sakit dan lain-lain yang mendadak?

  5. Lebih baik perhatian juga tercurah pada pengawasan antipolusi seperti asap hitam tebal yang keluar dari knalpot bus, truk, sepeda motor, dan lain-lain. Ini harus dicegah.

Soegiharto
Wisma 77 Lt. 12, Jalan Letjen S. Parman Kav. 77
Slipi, Jakarta Barat


Lontaran Jaya Suprana

Surat pembaca Rosiana Silalahi menanggapi isu amplop Jaya Suprana yang dimuat di Majalah TEMPO beberapa waktu silam menarik untuk ditanggapi. Jaya Suprana dan Rosiana—walau beda usia dan latar belakang—sama-sama punya reputasi. Justru karena itu, menarik untuk tahu latar belakang lontaran Jaya bahwa Presiden Abdurrahman Wahid alias Gus Dur dijatuhkan karena tidak memberikan amplop kepada (pemimpin) redaksi media. Masa sih senekat itu Jaya Suprana, seorang tokoh publik dan bagaimanapun seorang pengusaha yang sepatutnya memperhitungkan untung-rugi bersenggolan dengan wartawan, melontarkan isu bunuh diri semacam itu?

Mungkin Jaya Suprana ingin menyampaikan sesuatu tentang ”sisi lain” dunia pers kita, dalam kaitan dengan pengalaman dan kedekatannya yang berjarak dengan Gus Dur. Wartawan minta amplop, ya, bukan wartawan, titik. Sama saja dengan psikolog, dokter, hakim, anggota Komisi Pemilihan Umum, dan lain-lain yang minta amplop, ya, si kenyul namanya. Tapi wartawan dan media bisa terjebak dalam perangkap halus ”amplop besar”. Paranaoidkah kalau kita saling mengingatkan? Kalau saya bandit kelas menengah negeri ini, terlalu tolol kalau ngasih amplop, karena yang mau menerima pasti media kacangan dengan tingkat kepercayaan rendah di masyarakat.

Cari media yang bereputasi, dong. Umpan mereka dengan berita campuran benar dan palsu, bumbui ”ini eksklusif, off the record, lo, Dik...,” pasti ditelan bulat. Masyarakat jadi bias, frustrasi, kehilangan pegangan! Kasus Pasar Tanah Abang asyik kita pelajari. Lebih murah lagi ”internal conspiracy network”, manfaatkan media grup sendiri, tapi kalau pemimpin redaksinya lebih pintar dari owner, jadi bumerang! Karena itu, memberikan kesempatan bagi Jaya Suprana mengungkap lebih lanjut apa maksud di balik wacana (rada) basi tadi, saya kira, ada gunanya. Simak dengan kepala dingin. Kalau cuma amplop konferensi pers selebriti, ya, biar saja, memang masuk promo expenditure, kok.

Sartono Mukadis
Jalan Pinang Kalijati 16
Pondok Labu, Jakarta 12450


Maraknya Penyelundupan

PADA Sabtu 6 Maret lalu, media nasional menulis besar-besar indikasi adanya penyelundupan beras dari Bangkok hingga 103 ribu ton, namun belum diketahui keberadaan kapal pengangkut beras ilegal tersebut. Bisa jadi masih terapung di perairan Indonesia, atau mungkin barangnya sudah dijual di pasar-pasar di Indonesia.

Sebelumnya, kapal penyelundup kayu ilegal juga digelandang ke Pelabuhan Tanjung Priok oleh jajaran TNI Angkatan Laut. Dalam minggu ini ada dua kasus yang naik ke permukaan dan dapat diketahui oleh media. Sedangkan lalu lintas keluar-masuknya barang di Indonesia, jumlahnya ribuan kali lipat. Masa, sih, cuma dua kasus yang terungkap?

Ada juga kasus percobaan penyelundupan yang berulang kali digagalkan oleh polisi air dan TNI Angkatan Laut. Setahu saya, Bea dan Cukailah yang bertugas mengawasi lalu lintas keluar-masuknya barang di Indonesia. Ada pajak yang dikenakan dari setiap barang yang masuk ataupun keluar. Uangnya masuk kas negara. Bea dan Cukai juga bertugas menangkap penyelundup yang mencoba memasukkan atau mengeluarkan barang dari Indonesia melalui jalur tak resmi. Tapi sejauh ini belum terlihat aksi si penjaga gawang Bea dan Cukai. Saya jadi bertanya-tanya, ke mana para petugas Bea dan Cukai.

Apakah tugas Bea dan Cukai sudah tergantikan oleh aparat lain? Ataukah petugas Bea dan Cukai tidak mampu menjalankan tugasnya sehingga TNI Angkatan Laut dan polisi air harus turun tangan? Benarkah pendapat umum yang menyatakan Indonesia yang kaya sumber daya alam, dan merupakan pasar potensial dunia, adalah surga para penyelundup?

Bea dan Cukai, dalam pengamatan saya, dulu pernah berhasil memberantas penyelundupan. Saat itu dibongkar penyelundupan mobil mewah yang melibatkan pejabat negara, penyelundupan kokain, helikopter, dan barang-barang elektronik. Sekarang? Berita semacam itu tidak muncul lagi. Apakah para penyelundup sekarang sudah jera? Apakah penyelundup sekarang sudah resmi menjadi importir dan eksportir yang dilegalkan? Jika ya, mau dikemanakan dunia usaha Indonesia?

Bambang Kuncoro
Ciracas, Jakarta Timur


Korban Peristiwa 30 September

Pro dan kontra atas putusan Mahkamah Konstitusi tentang tidak berlakunya lagi Pasal 60 huruf g Undang-Undang No. 12/2003 tentang Pemilu masih berlangsung. Alur pikir masyarakat kampus cenderung mempersoalkan korban-korban yang meninggal seputar peristiwa Gerakan 30 September 1965.

Mereka menyebut: ”Sekitar 600 ribu korban—banyak yang tidak bersalah—pada 1965 sampai 1970-an. Ini merupakan kejahatan kemanusiaan yang tidak bisa dimaafkan. Ketika itu ada sekitar lima juta warga masyarakat anggota PKI. Puluhan ribu orang di antara mereka yang dianggap terlibat G30S/PKI tidak dapat dibuktikan secara hukum. Tetapi mereka dihukum sampai tahun 1979. Ini juga kejahatan. Kebenaran tentang tanggung jawab individual, tugas struktural kolektif yang membiarkan pembunuhan tanpa proses hukum terhadap mereka pada November 1965 hingga Maret 1966”.

Penyebutan angka-angka tersebut cenderung bernada emosional yang tak patut melekat pada seseorang yang mengaku ilmuwan, budayawan, sejarawan, apalagi pengamat sosial. Bagi kepentingan pembaca, pemirsa, pendengar, dan bagi keseimbangan informasi, pakar tersebut tak mengangkat angka korban dari pihak golongan religius yang nasionalis atau nasionalis yang religius.

Contohnya berapa sesungguhnya korban kaum religius yang terbantai: buyut, kakek, nenek, bapak, ibu, anak, cucu, kerabat. Apakah hanya 17 orang tambah 8 jiwa tambah 1945 nyawa? Belum lagi hitungan angka korban selama beberapa kali pemberontakan melawan pemerintahan yang sah. Baik kuantitas maupun kualitas, mereka menganggap seolah-olah digolongkan sebagai ”pembantaian atau kejahatan kemanusiaan yang perlu terjadi”, lebih-lebih lagi pembantaian di Lubang Buaya.

Diakui atau tidak, pada 1966, salah satu produk putra-putra terbaik bangsa, mampu melahirkan Ketetapan MPRS XXV/1966. Ketetapan ini tentang ”Pembubaran Partai Komunis Indonesia”. Pernyataan sebagai organisasi terlarang di seluruh wilayah negara Republik Indonesia bagi Partai Komunis Indonesia dan larangan setiap kegiatan untuk menyebarkan atau mengembangkan paham atau ajaran komunisme/Marxisme-Leninisme”.

Bangsa ini, lewat lembaga tertinggi MPR produk Pemilu 2004, seyogianya menyempurnakan dan memperkukuh eksistensi Ketetapan MPRS XXV/1966 demi cita-cita Proklamasi 17 Agustus 1945, Pancasila, dan UUD 1945, persatuan dan kesatuan bangsa, sebagai suatu sistem utuh, bukan sepotong-sepotong. Para anggota dewan yang terhormat, yang operasional, berideologi religius nasionalis sejati atau nasionalis religius nonsemu berada di barisan terdepan guna melahirkan karya penyempurnaan dan atau pemerkukuh hal terkait, tanpa kandungan dendam kesumat dalam makna luas.

Semua itu dipertaruhkan pula pada eksistensi generasi muda dan mahasiswa era reformasi pemilik sah masa depan. Harap mafhum bahwa produk tersebut karya terbaik bangsa Indonesia yang berideologi spiritual yang nasionalis dan nasionalis yang spiritual. Dua kubu ini seyogianya bersatu padu tak terpisahkan. Tetap kukuh meningkatkan kewaspadaan di pelbagai situasi dan kondisi, agar tak kecolongan setiap detik. Sepatutnya konsisten meningkatkan upaya dan kemampuan dalam makna luas: untuk kepentingan rakyat, pembangunan, dan pembaruan di pelbagai segi, antara lain bidang pertahanan dan keamanan, serta menjaga keutuhan wilayah negara kesatuan RI.

Khusus bagi mereka yang menuangkan pendapat atau opini via media massa bagi masyarakat luas, sependek atau sepanjang apa pun, seyogianya berkiblat pula pada karya rata-rata saudara-saudara kita wartawan. Seperti penerapan asas keseimbangan, klarifikasi data yang berwujud angka pada instansi berwenang, bukan pada elemen bangsa yang menganut paham ”sistem praduga bersalah”, menghindari kesan bermotif ”menyesatkan” kalangan masyarakat luas. Paling apes jujur dan adil pada diri sendiri, pada negara kesatuan RI, pada masa lalu dan mendatang sebagai satu sistem utuh. Semoga.

Sungkowo Sukawera
Jalan Ramcamanyar I No. 17
Bandung


Pencegahan Demam Berdarah

Dalam berbagai tulisan dan penyuluhan oleh Departemen Kesehatan, didapat kesan seolah-olah nyamuk genus Aedes (pembawa virus demam berdarah) hanya mau bertelur di air yang bersih. Dari larva nyamuk yang kami dapat di air keruh dan berdasar lumpur, setelah kami pindahkan ke dalam beberapa stoples, ternyata menjadi nyamuk Aedes. Kesimpulan kami, nyamuk genus Aedes itu lebih suka bertelur di air bersih tapi mau juga bertelur di air mana saja. Jadi, yang harus kita waspadai adalah semua genangan air.

Dalam pengamatan kami pada larva di dalam stoples, mereka akan mati apabila air diberi serbuk abate. Tapi larva yang sudah berubah menjadi kepompong atau pupa tidak mati. Pupa itu gerakannya loncat-loncat. Larva dan pupa akan mati bila permukaan air tertutup minyak.

Jadi, pemberian abate harus dibarengi dengan pengasapan untuk membunuh nyamuk yang beterbangan. Pemberian abate pada comberan atau air keruh tidak efektif. Cara paling tepat adalah menyiram dengan minyak tanah sehingga ada lapisan tipis minyak tanah di atas permukaan air sehingga larva dan pupa tidak bisa bernapas. Cara itu memang menimbulkan polusi, tapi untuk kepentingan yang lebih besar kita harus dapat menerima polusi tersebut. Cara itu sudah dilakukan sejak zaman Hindia Belanda untuk memberantas nyamuk malaria.

Di rumah, kami memiliki alat pengasapan kecil yang cukup untuk mengasapi rumah dan halaman, tapi tidak banyak menolong karena nyamuk dari luar akan memasuki halaman kami. Ketua RW kami (RW 04) Kelurahan Gunung sedang berusaha mengasapi serentak seluruh RW 04.

Penggunaan ”obat nyamuk bakar” tidak ada artinya buat pemberantasan demam berdarah karena hanya bisa mengusir nyamuk tanpa bisa membunuhnya.

Drs. Sunarto P., Apt.
Jalan Patiunus 8
Jakarta 12120


Tanggapan PT Nestle

Langkah PT Nestle Indonesia dalam memberlakukan harga susu segar berdasarkan kandungan bakteri serta membatasi penerimaan susu segar semata-mata untuk mempertahankan daya saing produk Nestle demi kelangsungan usaha PT Nestle Indonesia dalam jangka panjang.

Langkah tersebut telah kami komunikasikan dengan sejelas-jelasnya melalui serangkaian diskusi dan sosialisasi yang panjang dan terbuka dengan pihak Gabungan Koperasi Susu Indonesia (GKSI) Jawa Timur dan sejumlah koperasi susu selama November 2003 hingga Februari 2004. Setelah semua pihak terkait menyepakatinya, barulah langkah tersebut diberlakukan.

Ketentuan harga susu segar berdasarkan kandungan bakteri itu bertujuan memberikan penghargaan kepada para peternak yang tekun dan memperhatikan kualitas dalam menangani usahanya, karena semakin rendah bakteri dalam susu (TPC), akan semakin tinggi harga jualnya. Produk Nestle memerlukan bahan baku yang berkualitas tinggi.

Sedangkan pembatasan pembelian bahan baku susu segar terpaksa dilakukan mengingat terbatasnya kapasitas produksi pabrik di Kejayan serta perkembangan kebutuhan konsumen yang kian memilih produk dengan kandungan bahan yang bernilai tambah tinggi, yang otomatis mengurangi kandungan susu segar dalam produk Nestle.

Nestle tetap mendukung setiap upaya mencari solusi yang terbaik atas segala dampak yang ditimbulkan oleh langkah tersebut. Nestle tetap akan membeli susu segar pasokan koperasi Jawa Timur sesuai dengan kemampuan. Departemen Agricultural Service PT Nestle Indonesia juga akan terus melanjutkan program dan kegiatan pemberian bantuan teknis dan penyuluhan kepada koperasi susu untuk meningkatkan efisiensi, efektivitas, serta kualitas dan produktivitas sapi para anggotanya.

Syahlan Siregar
Direktur Corporate & Public Affairs
PT Nestle Indonesia


Ralat

DALAM rubrik Album Majalah TEMPO Edisi 8-14 Maret 2004 (halaman 12), tertulis bahwa A.M. Hanafi akan dimakamkan di Paris. Berita ini perlu diluruskan. Ternyata perundingan keluarga akhirnya memutuskan A.M. Hanafi dimakamkan di Tanah Air. Kabar terbaru ini tidak sempat termuat dalam TEMPO yang sudah naik cetak. Pada Rabu sore, 10 Maret lalu, jenazah Hanafi tiba di Jakarta dari Paris. Setelah disemayamkan di Gedung Joang, pada 11 Maret 2004 almarhum dimakamkan di Tempat Pemakaman Umum Karet Bivak, Jakarta.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus