Setelah dua tahun lalu memajang karya-karyanya di Galeri Nasional,kini perupa Chusin Setiadikara mengulangi pameran tunggal. Pameran itu berlangsung dari 4 Maret hingga 1 April 2004. Dibanding pameran sebelumnya, format kali ini jauh lebih kecil, hanya menyajikan 14 karya. Pasar Kintamani I, lukisannya yang sangat terkenal, diikutkan kembali.
Itulah pameran yang juga berfungsi sebagai "mukadimah" peristiwa lain. Pameran dengan kurator Jim Supangkat itu sekaligus penanda peresmian ruang pamer CP Artspace seluas sekitar 200 meter persegi, berlantai dua, di bilangan Harmoni, Jakarta.
Di ruang pameran, kita menyaksikan fragmen kehidupan pasar tradisional Kintamani, Bali. Tempat itu paling sering dikunjungi Chusin dan merupakan sumber mata air karya-karyanya. Pasar Kintamani telah digarapnya sejak 1994 ( Pasar Kintamani I), kemudian dengan sudut pandang lain diulangi pada 1997 ( Pasar Kintamani II). Karya terakhir dikoleksi oleh Museum Seni Rupa Kontemporer Fukuoka, Jepang.
Chusin adalah saksi atas ketakberdayaan sebuah situs yang berubah, karena kehendak modernisasi, dari pasar tradisional menjadi pasar modern, dengan segala implikasinya. Sebuah gambaran yang sesungguhnya terjadi di mana-mana di seluruh wilayah Indonesia. Pada Chusin, pasar adalah teks yang dapat dibaca sebagai sebuah metafora tapi sekaligus representasi realitas yang dilihat dengan kecermatan foto realistis.
Chusin menampilkan rinci yang kadang-kadang terasa remeh-temeh, tapi justru menjadi kekuatan estetis pada karya-karyanya. Lihat, umpamanya, kesan beban pada kantong plastik warna-warni berisi ikan asin. Inilah subject matter yang senantiasa menimbulkan gereget pada sejumlah lukisannya. Dalam Kintamani I, Chusin meletakkan posisi benda-benda dan gerak manusia secara wajar, dilihat dengan perspektif mata burung ( bird eye view). Pelukisnya seperti tengah bergerak menuruni anak tangga. Kehidupan di Pasar Kintamani, sebagaimana dialaminya, tak terganggu oleh keadaan di luar habitusnya. Chusin menyatakan keterpesonaannya dengan kenyataan itu, terutama ketika menggarap Ikan Asin Tahun 2000. Di masa krisis Indonesia, katanya, ia tak melihat tanda-tanda muram pada ekspresi sosok-sosok tersebut. Mereka tak hirau dengan atau tanpa adanya krisis, berganti atau tidaknya penguasa di negeri ini. Demikianlah daya hidup yang mungkin melampaui kekuatan foto realistis pada lukisan itu sendiri.
Keterpesonaan Chusin membuatnya tergerak memeriksa sosok-sosok perkasa Pasar Kintamani. Ia menyingkap selubung pada sosok itu satu per satu. Hasilnya, kita temukan sosok-sosok kerawang yang satu sama lain saling bertembusan, seperti bukan pemandangan dalam kehidupan nyata.
Kini, emosi yang bergelora, sebagaimana tampak pada seri karya " nude"-nya di tahun 2002, mulai dikuranginya. Pada 2004 ini Chusin justru kembali merapat ke kecenderungan menggambar, sebagaimana karya berjudul Rp. 100.000. Beberapa hal teknis sesungguhnya hampir sama dengan kecenderungan sebelumnya. Lebih dari itu, senarai karya-karyanya menyodorkan pertanyaan berulang tentang realitas. Namun, jawaban yang didapatkan masih belum memuaskannya.
Jawaban terakhir ditemukannya pada alat rekam gambar gerak video yang dibaurkannya dengan gambar tangan. Secara sembunyi-sembunyi, direkamnya beberapa kali gerak-gerik pedagang nasi bungkus di dekat rumahnya di kawasan Kuta. Hasilnya, benda-benda dan gerak orang itu hampir sama posisinya dari hari ke hari. Untuk membuktikan kebenaran realitas itu, di ruang pamer Chusin membuat sketsa, mengikuti hasil rekaman video pertama. Memang mengejutkan, rekaman video kedua dan seterusnya menumpuk persis pada sketsanya. Pemandangan macam itu kurang-lebih sama seperti yang dilihatnya di Kintamani. Benda-benda dan orang-orang seolah memiliki ruangnya yang tetap.
Bergeraknya Chusin dengan pelbagai media—gambar, lukisan, instalasi, dan kemudian video—merupakan isyarat bahwa penjelajahannya akan makin kompleks. Era yang oleh Walter Benjamin disebut sebagai mechanical reproduction ini, tempat perkakas modern menjadi bagian penting dalam berkarya, akan mengubah cara pandang dan cara kerja seorang perupa.
Asikin Hasan
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini