Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Hati dan pikiran Jeihan terbenam pada fenomena pasang-surut air laut. Pelukis itu terpesona. Kala pasang, air asin itu seolah membelai perahu, lalu menari bersama. Saat air surut, tak seorang pun sanggup mencegah perahu terdampar di bibir pantai. Laut begitu perkasa, perahu paling canggih pun harus tunduk pada kuasa laut.
Tiga tahun menjelajahi laut di perairan Ujung Kulon, Jeihan kini rajin bertafakur. Pekan lalu, lelaki kelahiran Solo ini memamerkan 42 karyanya—semua hasil kreasinya selama setahun terakhir—dalam sebuah pameran tunggal di Jakarta. Ombak (2004), salah satu karya yang ditampilkan dalam pameran bertajuk Misteri dan Harmoni itu, menggambarkan suasana batinnya yang begitu tergugah akan kuasa laut. Ombak berbentuk lima garis putih di lautan biru. Permukaan kanvasnya nyaris tertutup lima garis yang membentuk gundukan layaknya bukit itu.
Dan Jeihan cukup reflektif. Di puncak ombak, dua perahu kecil tampak pasrah, mengikuti keinginan gelombang. Seperti garis-garis dalam lukisannya, Jeihan memang tampak tegas dan kaku, tapi juga bersahaja. Dan tamsilnya juga tak terkesan mengada-ada: ombak sebagai jalan hidup yang dijalani manusia, sedangkan laut adalah kehidupan yang mesti diselami bersama romantikanya. "Kadang kita memang harus mengikuti irama hidup yang sudah digariskan," kata Jeihan.
Jeihan adalah pelukis yang sudah berjalan jauh. Dulu, pada era 1970-an, ia ikut serta dalam gerakan puisi mbeling. Jeihan memang tak cuma melukis. Ia aktif sebagai penyair dalam gerakan itu bersama Remy Sylado lewat majalah Aktuil. Sekarang ia tak banyak lagi menampik, tapi sibuk memetik pelajaran pasang-surut dalam hidup manusia. Keberuntungan-kemalangan datang silih berganti—suasana hati jadi gayeng—seperti ketenangan lima perahu putih di atas hamparan air laut putih dan di bawah langit oranye dalam lukisan Perahu (2004).
Jeihan cukup bersahaja memainkan warna dan bentuk obyek untuk menggambarkan ketenangan, seperti juga saat melukiskan riak besar kehidupan lewat lukisan Perahu dan Laut (2003) atau Ombak. Dalam Perahu dan Laut, Jeihan mempertahankan warna putih untuk lima perahu yang sedang berlayar. Hanya, laut tak didominasi warna tertentu. Empat warna berbeda ditabalkan secara bersama pada empat bagian yang sama besar.
Jeihan kini memikirkan sesuatu yang transendental. Pada prakteknya, lelaki yang belajar melukis pertama kali di bawah bimbingan Sumitro Hendronoto di Himpunan Budaya Surakarta pada 1953-1955 ini cuma ingin "mendamaikan" kehendak individu dengan kehendak Sang Pencipta. Ada satu kesadaran yang digambarkan Jeihan dengan garis vertikal putih tepat di tengah kanvas. Garis tak berujung itu jauh melampaui batas laut, bahkan tak terbatas oleh bingkai lukisan itu sendiri.
Ya, Jeihan, yang lahir pada 26 September 1938, telah berjalan jauh. Namun, meski telah menapaki sesuatu yang sangat abstrak, ayah enam orang anak ini tak menanggalkan corak realis dalam karyanya. Ia tetap menggambarkan sesuatu yang nyata untuk membahasakan sesuatu yang tak nyata. Ini memang sebuah paradoks. Persis seperti ungkapan Jeihan sendiri yang mengatakan, "Setiap lukisan saya adalah diri saya, tetapi saya bukan lukisan itu." Ungkapan tadi, kata budayawan Jacob Sumardjo, merupakan paham emanasi manusia Jawa tua yang menjadi fenomena. "Semua yang ada dan aneka ini berasal dari Yang Tunggal," tutur Jacob dalam pengantar pameran ini.
Pengembaraannya ke Bandung—ia kuliah di Institut Teknologi Bandung tapi tak selesai—memberinya energi lebih untuk berkreasi. Apalagi Kota Kembang pada awal 1960-an identik dengan pusat pemikiran modern kontemporer yang rasional. Benturan antara Barat dan Timur tak membuat dirinya larut secara fanatik di dalamnya. Ia justru berdiri tegak dan menemukan identitas diri sebagai seniman.
Sebagaimana sosoknya yang membawa bibit paradoksal, puisi Jeihan punya muatan serupa. Bentuk puisi berjudul Amin yang ditulis pada 1970 menyerupai piramida yang tersusun dari sekitar 60 huruf "A" saja. Pola paradoks tergambar dari bagian atas yang "tunggal" dan bagian bawah yang "plural". Begitu pula bagian kiri dan kanan yang bertentangan. Namun pertentangan itu justru melahirkan harmoni dalam bentuk segitiga piramida.
Sebagai pelukis pun, ia tak meninggalkan unsur paradoksal tadi. Bahkan ia menemukan satu bentuk baku yang menjadi identitasnya: lukisan perempuan dengan mata bolong. Kedua mata obyek lukisnya dibiarkan hitam seperti mata sumur di pedesaan Jawa. Jika kita melongok, yang tampak adalah diri kita sendiri. Pilihan ini, kata Jacob, merupakan representasi orang Jawa yang sinkretis, suka mengharmonikan segala hal yang berkebalikan. "Mereka yakin tak ada konflik yang tak bisa diharmonikan," katanya.
Sinkretisme itu digambarkan Jeihan dalam pola yang sederhana lewat garis-garis tegas dalam setiap karyanya. Garis itu masih dipertahankan hingga usianya menyentuh 65 tahun sekarang. "Bedanya, garis yang sekarang lebih matang dan tidak kaku," kata Mamannoor, kritikus seni rupa yang menulis buku Jeihan Jeihan Jeihan terbitan Yayasan Pengembangan Rupa Seni Indonesia pada 1999. Apalagi sekarang Jeihan sudah tak terpenjara oleh tema perempuan dalam berkarya.
Penjelajahan tema ini menarik karena Jeihan kelewat identik dengan lukisan perempuan bermata bolong. Hampir dalam setiap pamerannya, pose perempuan bermata hitam ini tak pernah absen. Tak aneh jika muncul ungkapan bernada sinis bahwa karyanya dari itu ke itu juga. Kini Jeihan telah menjawab lewat tema bunga matahari dan laut. Apalagi ia meninggalkan sebaris pesan dalam karya terbarunya: laut adalah kehidupan/ perahu adalah kita/ kita perlu tahu/ gelombang pasang surut/ perlu tahu imbang/ agar selamat.
Arif Firmansyah
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo