Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Event

Wisata Serajah, Puluhan Timbangan Kuno Dipamerkan di Yogyakarta

Timbangan juga memiliki sejarah panjang. Pameran khusus timbangan berlangsung di Bentara Budaya Yogyakarta.

10 Juli 2019 | 12.07 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Aneka timbangan kodok yang biasa dijumpai di pasar, salah satunya dengan kapasitas beban maksimal satu kilogram (nomer tiga dari kiri) yang dipamerkan dalam Pameran Alat Ukur dan Timbangan "Datcin" di Bentara Budaya Yogyakarta, Selasa, 9 Juli 2019. TEMPO | Pito Agustin Rudiana

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Yogyakarta - Bisa jadi timbangan digital di supermarket, timbangan bebek di pasar, timbangan barang di kantor pos, atau pun timbangan berat badan adalah jenis-jenis timbangan yang biasa ditemukan saat ini. Padahal rupa-rupa timbangan masa kini tersebut adalah hasil evolusi aneka bentuk timbangan kuno yang hadir pada masa lampau.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bahkan keberadaan timbangan dalam bentuk neraca sudah ada sejak zaman Mesir kuno yang digambarkan di lembaran kertas papyrus tentang dua sosok yang berdiri di antara timbangan gantung. "Timbangan di Indonesia sudah ada sejak zaman Hindu Budha, seperti yang terpahat di relief Candi Borobudur,” kata kurator Bentara Budaya Yogyakarta (BBY) Hermanu, Selasa, 9 Juli 2019.

Hermanu mengisahkan, semula setiap daerah di Nusantara mempunyai cara mengukur dan bentuk timbangan yang berbeda. Semisal, satu pikul di Jawa berbeda dengan 1 pikul di Sumatera. Akibatnya, sering terjadi perselisihan.

Aneka timbangan dan alat ukur yang dipamerkan dalam Pameran Alat Ukur dan Timbangan "Datcin" di Bentara Budaya Yogyakarta, Selasa, 9 Juli 2019. TEMPO | Pito Agustin Rudiana

Kemudian masa pemerintahan Kolonial Belanda, Gubernur Jenderal JP Coen pada 1621, ukuran timbangan mulai diatur dengan alat ukur berat bernama Daatse atau Dacing. Yang diberi hak untuk membuat dan menyebarkan alat ukur tersebut adalah para mayor atau pemuka bangsa Cina di Batavia. "Lidah orang Cina waktu itu sulit mengucap kata daatse atau dacing. Jadinya datjin," kata Hermanu.

Kemudian pada 1923, alat-alat ukur diperbarui dengan kehadiran aneka timbangan buatan Eropa. Sebelum digunakan, timbangan-timbangan tersebut ditera atau dicek keseimbangannya. Pengunjung di seputaran Yogyakarta yang ingin melihat aneka rupa model timbangan sejak buatan tahun 1800-an hingga saat ini bisa menyinggahi BBY yang menggelar Pameran Alat Ukur dan Timbangan 'Datjin' dari 2-11 Juli 2019. Puluhan timbangan kuno digelar di ruang pamer yang cukup luas.

Aneka timbangan dan alat ukur yang dipamerkan dalam Pameran Alat Ukur dan Timbangan "Datcin" di Bentara Budaya Yogyakarta, Selasa, 9 Juli 2019. TEMPO | Pito Agustin Rudiana

Ada timbangan untuk mengukur kertas yang ukurannya hanya tujuh sentimeter hingga timbangan jenis Bascule yang dapat menimbang barang seberat satu ton. Ada pula alat ukur untuk benda cair seperti minyak tanah, air, minyak goreng yang kian jarang ditemui di pasar. Ketika minyak tanah belum dikonversi menjadi gas elpiji, alat ukur benda cair yang berbentuk kerucut dengan posisi menyamping dengan berbagai ukuran itu masih mudah ditemukan.

Ada pula alat ukur untuk mengukur panjang, tinggi, dan lebar hewan ternak yang disebut Rondo atau pita korelasi. Bentuknya seperti pita meteran panjang untuk mengukur baju. Dari hasil pengukurannya akan diketahui bobot hewan ternak tersebut. Alat ukur itu disimpan dalam meja etalase berbingkai kaca.

Salah satu timbangan kuno dengan dua piringan yang bersisihan untuk wadah beban yang dipamerkan dalam Pameran Alat Ukur dan Timbangan "Datcin" di Bentara Budaya Yogyakarta, Selasa, 9 Juli 2019. TEMPO | Pito Agustin Rudiana

Aneka timbangan dan alat ukur kuno tersebut milik empat kolektor benda-benda antik yang bergabung dalam pecinta barang-barang lawasan, Komunitas Padmaditya. Mereka adalah Hermanu, Guru Besar Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada Sumadi, Didi Kapal, juga Subiyanto. "Lebih 90 persen timbangan yang dipamerkan adalah koleksi saya," kata Subiyanto, kolektor asal Klaten. Kondisi timbangan-timbangan tersebut masih bisa digunakan. Naamun sebagian sudah terlihat berkarat.

Pito Agustin Rudiana

Pito Agustin Rudiana

Koresponden Tempo di Yogyakarta

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus