Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Vaksin Nusantara yang digagas oleh mantan Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto bekerja sama dengan tim peneliti dari Laboratorium RSUP Kariadi Semarang, Universitas Diponegoro dan Aivita Biomedical Corporation dari Amerika Serikat ini digadang-gadang sebagai terobosan baru vaksin Covid-19 buatan Indonesia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Meski masih dalam tahap uji klinis, banyak pihak yang mendukung keberhasilan vaksin ini dalam waktu dekat, salah satunya bekas Menteri Badan Usaha Milik Negara Dahlan Iskan. Dahlan berharap Vaksin Nusantara ini bisa digunakan secara darurat pada Mei mendatang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Lalu apa sebenarnya Vaksin Nusantara ini dan Apa kelebihan dan kekurangannya? Berikut ini merupakan rangkuman fakta-fakta tentang Vaksin Nusantara.
1. Vaksin Nusantara diklaim menjadi vaksin pertama di dunia untuk Covid-19 yang dikembangkan menggunakan metode berbasis sel dendritik autolog.
Sel dendritik merupakan komponen dari sel darah putih atau sel imun yang menjadi bagian dari sistem imun. Sel dendritik bisa diperoleh dari darah seseorang, tapi bisa diambil dari sumsum tulang.
Sel dendritik ini dipisahkan dari sel darah merah dan kemudian dikenalkan dengan rekombinan dari SARS-CoV-
2. Teknologi sel dendritik selama ini dilakukan untuk pengobatan kanker melalui teknik rekombinan dengan mengambil sel, lalu dikembangkan di luar tubuh, sehingga dengan teknik tersebut dapat dihasilkan vaksin.
Demikian juga dengan proses pengembangbiakan vaksin Covid-19 dengan sel dendritik ini, dengan perlakuan yang sama nantinya akan terbentuk antigen khusus, kemudian membentuk antibodi yang bisa digunakan untuk vaksin. Prosesnya dapat ditunggu sekitar tiga hari sampai seminggu, lalu disuntikkan kembali ke dalam tubuh.
3. Perbedaan dari Vaksin Nusantara yang digagas Terawan dengan vaksin Covid-19 lainnya terletak pada motor aktivitasnya. Hal ini dijelaskan oleh Guru Besar dari Universitas Airlangga Chairul Anwar Nidom.
Menurutnya vaksin konvensional secara umum disuntikkan ke seseorang dengan antigen (virus inaktif atau subunit protein). Kemudian, tubuh dibiarkan melakukan proses pembentukan antibodi.
Sedangkan Vaksin Nusantara berbasis sel dendritik yang disebut Nidom sebagai pabrik antibodi. Sel tersebut yang sudah dirangsang/digertak di luar, lalu disuntikan ke seseorang. Diharapkan, sel dendritik ini akan memproduksi antibodi yang siap menetralisir virus yang menginfeksi.
4. Kelebihan dari Vaksin Nusantara ini, lantaran berasal dari sel yang diambil dari tubuh penerima, vaksin dari sel dendritik diklaim kecil kemungkinannya menimbulkan infeksi.
“Kemungkinan reaksi penolakan lebih rendah,” ucap Anggota Tim Peneliti Vaksin Nusantara, Dokter Yetty Movieta Nency. “Benda asing dibandingkan dari tubuh manusia itu kan beda. Itu dari darah kita diolah dimasukkan lagi. Di situlah keunggulannya,” imbuhnya.
Selain itu, Yetty menyebutkan, jika telah diproduksi masal, harga satu dosis Vaksin Nusantara hanya sekitar US$ 10. Menurut Yetty, harga Vaksin Nusantara lebih murah karena biaya produksi yang hemat. “Anggaran penyimpanan, distribusi, penambahan, bisa diminimalisir,” ujar dia pada Kamis, 18 Februari 2021.
5. Kekurangan dari Vaksin Nusantara ini menurut Epidemiolog Universitas Indonesia, Pandu Riono, dikarenakan vaksin dendritik ini sebelumnya banyak digunakan untuk terapi pada pasien kanker yang merupakan terapi yang bersifat individual maka tidak layak digunakan sebagai metode vaksinasi massal.
Pandu memberikan dua catatan. Pertama, terdapat perbedaan sel dendritik pada terapi kanker dengan vaksin dendritik, di mana untuk terapi kanker sel dendritik tidak ditambahkan apa-apa, hanya diisolasi dari darah pasien untuk kemudian disuntikkan kembali kepada pasien tersebut. Sementara pada vaksin, sel dendritik ditambahkan antigen virus.
Kedua, sel dendritik perlu pelayanan medis khusus karena membutuhkan peralatan canggih, ruang steril, dan inkubator CO2, dan adanya potensi risiko. Dengan demikian, sangat besar risiko, antara lain sterilitas, pirogen, atau ikutnya mikroba yang menyebabkan infeksi dan tidak terstandar potensi vaksin karena pembuatan individual.
6. Vaksin Nusantara telah rampung penelitian fase pertama. Anggota Tim Peneliti Vaksin Nusantara Yetty Movieta Nency menyebutkan fase satu untuk melihat keamanan telah dilalui.
“Alhamdulillah efek samping minimal, berjalan singkat, dan tak perlu pengobatan,” katanya pada Kamis, 18 Februari 2021.
Dia menyebutkan, dalam penelitian fase itu melibatkan 27 orang subjek penelitian. Dalam pengamatan singkat selama empat pekan tersebut, kata Yetty, terjadi peningkatan antibodi pada subjek. Pihaknya kini menunggu restu Badan Pengawas Obat dan Makanan atau BPOM untuk memasuki penelitian fase kedua.
Uji klinis fase I Vaksin Nusantara telah selesai dilaksanakan pada akhir Januari 2021 dan diklaim menunjukkan hasil yang baik. Dalam penelitian fase I yang melibatkan 27 orang subjek penelitian itu, dalam pengamatan singkat selama empat pekan terjadi peningkatan antibodi pada subjek.
Selain itu, uji klinis tahap pertama ini juga menunjukkan hasil efek samping yang minimal. “Hasil uji klinis fase pertama baik, tanpa ada keluhan berat yang dirasakan oleh 27 relawan vaksin,” kata Yetty Movieta Nency, dikutip dari Antara, Jumat, 19 Februari 2021.
Pihaknya kini menunggu restu Badan Pengawas Obat dan Makanan atau BPOM untuk memasuki penelitian fase kedua.
Subdirektorat Penilaian Uji Klinik dan Pemasukan Khusus BPOM, Siti Asfijah Abdoella mengatakan, vaksin nusantara yang digagas eks Menteri Kesehatan Terawan tersebut dapat berlanjut pada uji klinis fase II apabila kriteria fase I sudah terpenuhi terutama terkait keamanan, khasiat dan mutu produk farmasi.
Jika lolos uji klinis fase I, pihak pengembang mempersiapkan 180 relawan untuk uji klinis fase II guna menentukan efektivitas vaksin nusantara dan 1.600 relawan untuk uji klinis fase III guna menentukan pengaturan dosis.
HENDRIK KHOIRUL MUHID