TEKA-TEKI pusat Kerajaan Sriwijaya akhirnya terjawab juga. Gubernur Sumatera Selatan Ramli Hasan Basri di depan Presiden Soeharto di Bina Graha, Jakarta, Senin pekan lalu, memastikan Palembang sebagai ibu kota kerajaan maritim itu. Menurut Ramli, bermacam prasasti, reruntuhan bangunan, dan puing-puing artefak (kepingan barang pecah belah) sisa masa silam jadi bukti keberadaan Sriwijaya di Palembang. Keterangan Gubernur Ramli itu seolah isyarat akan segera berakhirnya silang pendapat tentang pusat Kerajaan Sriwijaya. Selama ini ada pendapat bahwa Ibu Kota Sriwijaya di Muara Jambi. Bahkan ada yang berspekulasi Ibu Kota Sriwijaya berada di sebuah hulu sungai di pedalaman Provinsi Riau. Namun, bukti-bukti yang diungkapkan Pusat Penelitian Arkeologi Nasional (Puslit Arkenas), lewat riset yang dilakukan sejak 1984, menunjukkan Ibu Kota Sriwijaya ada di tepi Sungai Musi. Penelitian yang dilakukan bekerja sama denganLembaga Arkeologi Prancis EFIO itu mengungkapkan, antara lain, sepuluh anak tangga (undak) pada beberapa tempat di sepanjang tepi Sungai Musi. Tapi situs yang dianggap sebagai lokasi Keraton Sriwijaya ada di Karanganyar, sebelah utara Kota Palembang. Di situ para arkeolog dari Arkenas dan EFIO pada 1984menjumpai bekas-bekas galian parit mengelilingi sebidang tanah yang menyerupai pulau. Di pulau buatan itu diperkirakan sang raja bermukim. Perkiraan itu bersandar pada kosmologi Hindu dan Budha, yang menganggap raja sebagai turunan dewa. Para dewa, menurut kosmologi tadi, tinggal di Mahameru, sebuah gunung yang dikitari samudera. Maka, pulau buatan itu sengaja dibangun sebagai miniatur Mahameru. Pada penggalian yang dilakukan di Karanganyar setahun kemudian, ditemukan 828 potong manik-manik, 330 butir manik-manik kaca, dan sejumlah pecahan keramik. "Melihat motif hiasannya, artefak itu berasal dari sekitar abad ketujuh sampai sebelas," ujar Arkeolog Bambang Utomo dari Arkenas. Tak jauh dari Karanganyar, tim Arkenas juga menemukan sisa-sisa lantai bangunan 10 x 10 meter, terbuat dari batu bata. Tk jelas betul fungsi bangunan itu. Tapi di situs itu dijumpai serpihan keramik Cina. "Keramik itu diperkirakan berasal dari sekitar abad kesembilan sampai tiga belas, dari Dinasti T'ang-Song," ujar Bambang Utomo lebih lanjut. Kehidupan maritim Sriwijaya juga terungkap berkat ditemukannya fosil perahu sepanjang 22 meter di Desa Samireji, Kabupaten Musi Banyuasin. "Perahu itu dibuat tanpa paku," kata Arkeolog Y.P. Manguin dari EFIO. Ia hingga kini masih sibuk mengais sisa-sisa peninggalan Sriwijaya. Bilah-bilah kayu perahu itu, menurut Manguin, diikat dengan tali ijuk. Pada semua elemen perahu -- di ujung lunas, rusuk, dan linggi -- terdapat tonjolan semacam cincin untuk pancangan tali ijuk. "Berdasarkan analisa karbon (C), diperkirakan perahu itu dibuat pada abad ketujuh," tambah Manguin. Barang bukti yang diangkat tim arkeologi Arkenas dan EFIO memang mengukuhkan temuan arkeologi sebelumnya -- Prasasti Kedukan Bukit, yang ditemukan tak jauh dari situs Karanganyar, pada 1920 -- yang menyimpulkan Palembang sebagai Ibu Kota Sriwijaya. Prasasti Kedukan Bukit, kata Arkeolog Boechari, berisi catatan tentang akhir perjalanan Raja Dapunta Hiyang. Raja Sriwijaya itu, kata ahli huruf kuno tersebut, datang dari Mananga bersama dengan 20.000 marinir, 1.312 pasukan infanteri, dan membawa bekal 200 peti. "Mereka datang untuk mendirikan wanua (permukiman) baru," katanya. Menurut Boechari, hijrahnya Raja Dapunta Hiyang ke tepi Sungai Musi terjadi pada 16 Juni 682 M. Tapi Minanga, tempat asal Raja Dapunta Hiyang, hingga kini masih gelap. Boechari menduga Minanga itu ada di dekat Kecamatan Bangkinang, di sebelah barat Pekanbaru. "Tapi ini masih kira-kira," ujarnya. Prasasti itu masih didukung lagi oleh Prasasti Telaga Batu -- juga ditemukan di sekitar Karanganyar. Batu bertulis ini berisi sumpah keluarga raja, pejabat negara, dan para prajurit, untuk setia terhadap raja. "Jika ingkar dari kesetiaan, kalian akan mati oleh sumpah ini," begitu tertulis di batu itu, yang dibuat tak lama sesudah Prasasti Kedukan Bukit. "Sumpah itu menandai berdirinya kerajaan baru," ujar Boechari. Di luar peninggalan di tepi Sungai Musi itu, ada pula bekas jejak zaman terserak di sekitar tepi Sungai Batanghari. Di situ ada dua situs utama, Muara Jambi dan Solok Sipin, serta sejumlah situs kecil. Situs Muara Jambi menempati areal 17,5 km2, dan di situ terdapat tak kurang dari 50 buah candi, antara lain Candi Koto Mahligai, Candi Kedaton, Candi Gunpung, dan Candi Astono. Di situs ini juga terdapat bekas telaga dan alun-alun yang dikelilingi parit selebar 4 sampai 6 meter. Konon, Muara Jambi dulu merupakan kampus pendidikan agama Budha. "Muara Jambi bisa menampung 1.000 biksu," kata Sudarto dari Universitas Jambi, yang pernah meneliti kompleks bersejarah itu. Komples percandian juga terdapat di sekitar Solok Sipin, di wilayah Kodya Jambi, seluas 10 km2. Di situ, menurut Sudarto, ditemukan prasasti yang isinya memberitakan diresmikannya taman oleh raja. Sudarto mengklaim situs Jambi itu merupakan peninggalan Sriwijaya. "Palembang boleh saja diklaim sebagai Ibu Negeri Sriwijaya, tapi pusat pendidikan agamanya ada di Jambi," kata Sudarto. Bagi Boechari, baik Jambi maupun Palembang memang pernah menjadi Ibu Kota Sriwijaya. Jambi mula-mula jadi ibu kota Kerajaan Melayu. Sewaktu Raja Dapunta Hiyang hijrah ke Palembang, sambil jalan tentaranya sempat pula menyerang dan menaklukkan Kerajaan Melayu. Keluarga Raja Melayu kemudian mengungsi ke hulu Sungai Batanghari. Di kemudian hari, keluarga Kerajaan Melayu itu membangun negeri baru, dan jadi cikal-bakal Kerajaan Pagaruyung di Sumatera Barat. Kerajaan Sriwijaya, entah apa alasannya, kemudian dipindahkan ke Jambi. Lempengan emas yang ditemukan di salah satu candi di Muara Jambi pada 1970-an menunjukkan eksistensi Sriwijaya itu. "Kepindahan Sriwijaya ke Jambi terjadi sekitar abad sebelas," kata Boechari.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini