Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Reaksi oksidasi bahan pangan, khususnya lipida, selalu menarik untuk diteliti. Ilmuwan dan ahli bioteknologi Indonesia, Irwandi Jaswir-koordinator riset di Halal Industry Research Centre, Universitas Islam Internasional Malaysia (IIUM), Kuala Lumpur-mengatakan hal itu menarik lantaran pola makan orang Indonesia yang cenderung menggunakan bahan lemak dan minyak.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Apalagi Indonesia adalah salah satu produsen minyak sawit terbesar di dunia. Ini membuat riset tentang reaksi oksidasi menjadi signifikan," kata Irwandi dalam orasi ilmiah berjudul "Menjadi Periset Berkelas Dunia di Era Industri 4.0", pekan lalu. Peraih King Faisal International Prize ini menambahkan, menggoreng adalah cara memasak paling populer. "Disukai karena memberikan cita rasa dan tekstur yang khas."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut Irwandi, minyak yang terkena panas berlebihan akan mengalami proses oksidasi. Asam lemak akan bereaksi dengan oksigen untuk menghasilkan berbagai komponen yang berbahaya bagi kesehatan. Reaksi oksidasi sebenarnya hanyalah satu dari empat reaksi utama yang terjadi selama minyak berada pada suhu tinggi. "Tiga reaksi lainnya adalah perubahan warna, hidrolisis, dan polimerisasi," ucap dia.
Irwandi menjelaskan, oksidasi lipida merupakan salah satu reaksi utama yang merusak lemak dan bahan pangan sehingga menurunkan kualitas makanan tersebut. Banyak laporan menyatakan oksidasi lipida dapat menyebabkan penurunan nilai fungsional, organopletik, nilai gizi, dan keamanan bahan pangan.
Pemanasan berlebihan selama proses menggoreng juga dapat membentuk komponen baru yang bersifat anti-nutrisi, seperti inhibitor enzim, dan mempercepat hilangnya vitamin antioksidan, seperti vitamin E. "Lipida yang teroksidasi akan menyebabkan peroksidasi molekul makro pada membran yang berpengaruh pada terjadinya mutagenisitas, genotoksisitas, dan angiotoksisitas," ujar dia.
Kelainan pada level seluler seperti ini disinyalir sangat berkaitan dengan beberapa indikasi lain, seperti terhambatnya pertumbuhan, karsinogenesis pada usus besar, dan kelainan pada sistem reproduksi. Oksidasi lipida juga akan mengurangi kualitas organoptetik produk makanan itu sendiri.
Minyak sawit yang beredar di pasar telah melalui proses yang secara sengaja atau tidak dapat menghilangkan berbagai komponen antioksidan. "Masyarakat yang menyukai minyak goreng berwarna bening atau keemasan membuat kalangan industri justru menghilangkan zat warna (karotenoid) di dalam minyak itu," ujar Irwandi.
Bila dibandingkan dengan refined, bleached, dan deodorized palm olein (minyak sawit yang sering dijumpai di pasar), minyak sawit merah yang mengandung karotenoid malah kurang diminati. "Padahal minyak yang mengandung karotenoid sangat berkhasiat untuk kesehatan."
Belum lagi kalangan industri biasanya memisahkan komponen antioksidan dan dijual tersendiri sebagai suplemen. Akibatnya, minyak goreng menjadi kekurangan antioksidan alami. "Untuk mengatasinya, mereka menggunakan bahan antioksidan sintetis dengan maksud memperpanjang umur simpan minyak," kata dia.
BHA, BHT, dan TBHQ adalah antioksidan sintetis yang sering digunakan di Indonesia. "Padahal di beberapa negara Uni Eropa sudah dilarang karena dapat menyebabkan karsinogen," kata Irwandi. Karena itu, dia menegaskan, dibutuhkan riset ihwal eksplorasi bahan alami yang mengandung antioksidan tahan suhu tinggi. "Juga kajian seputar pola kerusakan minyak untuk setiap tipe pengolahan makanan."
AFRILIA SURYANIS
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo