Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teknologi & Inovasi

Bendera Sisingamangaraja di Belgia

Bendera yang dianggap milik Kerajaan Sisingamangaraja tersimpan di Museum Aan de Stroom, Antwerp, Belgia. Perlu dibuat katalog untuk benda-benda budaya Nusantara.

4 Maret 2018 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Bendera Sisingamangaraja di Belgia

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

NELSON Lumbantoruan, 51 tahun, merinding menatap bendera berbahan katun yang tergantung di dalam etalase di salah satu sisi ruang pamer Museum Aan de Stroom di Antwerp, Belgia, saat ia mengunjungi museum di pinggir Sungai Scheldt itu pada Agustus tahun lalu. Bendera bergambar pedang bermata dua dengan latar warna merah marun yang memudar itu dideskripsikan sebagai bendera Kerajaan Sisingamangaraja. "Saya yakin itu bendera Raja Sisingamangaraja. Pada bendera itu, tampak bercak darah," ujar Nelson, Kamis pekan lalu.

Ada tiga bendera lain yang juga dipercaya sebagai warisan Raja Sisingamangaraja XII. Pemimpin adat dan spiritual masyarakat Toba itu terbunuh dalam pertempuran di Desa Si Onom Hudon, perbatasan Kabupaten Tapanuli Utara dengan Dairi sekarang, pada 17 Juni 1907. Pahlawan nasional dari tanah Batak itu ditembak prajurit Koloni Macan, Kesatuan Marsose, pasukan Koninklijk Nederlands-Indische Leger (KNIL) di bawah pimpinan Kapten Hans Christoffel.

Ada puluhan benda budaya lain asal Batak yang menjadi koleksi Museum Aan de Stroom itu. Di antaranya meriam yang diduga sebagai senjata yang menewaskan sang raja, tombak gaib Tunggal Panaluan, artefak surat Sisingamangaraja XII kepada pemerintah kolonial Belanda, dan pustaha atau naskah Batak. Uli Kozok, ahli filologi asal Jerman yang juga pemerhati bahasa dan budaya Indonesia, termasuk yang pertama meneliti koleksi benda budaya Batak di museum itu.

Profesor dan Koordinator Program Bahasa Indonesia dan Melayu di University of Hawaii at Manoa, Amerika Serikat, itu mengatakan ia dihubungi Willy Durinx, ko-kurator museum, untuk mengidentifikasi benda-benda budaya tersebut lebih rinci. "Adanya benda budaya Nusantara di Belgia ini benar-benar pengetahuan baru. Biasanya, para peneliti mencari ke Belanda atau Jerman, yang diketahui banyak menyimpan benda-benda budaya dari Hindia Belanda," ujar Kozok saat dihubungi pada Senin pekan lalu.

Benda-benda budaya itu, menurut Kozok, sebelumnya merupakan milik pribadi Hans Christoffel yang membelinya dari KNIL ketika barang-barang rampasan perang itu dilelang. Christoffel, yang menikahi Adolphine van Rijswijckputri Wali Kota Antwerp Jan van Rijswijckmemang menyukai benda-benda budaya Nusantara. Tidak hanya yang berasal dari Batak, tapi juga Aceh (Alas), Kalimantan Selatan (Dayak), Sulawesi Selatan (Gowa), dan Jawa. Ketika ia mengundurkan diri dari ketentaraan Belanda pada 1910, semua koleksi itu ia angkut ke Belgia.

"Ada 1.153 benda budaya dan 670 senjata tradisional dari berbagai daerah dalam koleksi Christoffel," ucap Nelson Lumbantoruan. Hanya sebagian kecil, sekitar 100, yang dipamerkan di pameran permanen Museum Aan de Stroom dengan tajuk "Koleksi Christoffel". "Sebagian besar benda yang tersimpan itu belum dikatalogkan dan dideskripsikan," ujar Nelson, yang menjabat Kepala Bidang Pengendalian Penduduk, Penyuluhan, dan Penggerakan pada Dinas Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana Kabupaten Humbang Hasundutan, Sumatera Utara.

Koleksi benda-benda budaya itu, menurut Uli Kozok, ternyata membebani Christoffel di masa tuanya. "Ia pernah hendak membakar semua koleksi itu untuk menghapus ingatan tentang pengalaman di Hindia Belanda, yang disebutnya sebagai ’Masa Rimba’, ketika dia membantai tanpa ampun kampung-kampung di Aceh sehingga terkenal sebagai pemimpin Koloni Macan," ujarnya. Istri Christoffel-lah yang menyelamatkan koleksi itu dengan menghibahkannya ke Kota Antwerp, yang kemudian menyerahkannya ke Museum Aan de Stroom.

Bagi Kozok, yang sangat berminat pada bahasa dan budaya Batak, yang paling menarik diteliti dari koleksi Christoffel adalah dua pustaha dan empat helai bendera yang dianggap milik Sisingamangaraja. "Tapi saya tidak begitu yakin. Kemungkinan besar memang bendera itu milik Sisingamangaraja, tapi bukan buatan Sisingamangaraja," ucap Kozok, yang menulis buku Surat Batak: Sejarah Perkembangan Tulisan Batak Berikut Pedoman Menulis Aksara Batak dan Cap Si Singamangaraja XII.

Kozok memiliki argumen kuat bahwa bendera di museum itu merupakan bendera Kesultanan Aceh karena terdapat lambang-lambang Islam. Menurut Kozok, ada lambang pra-Islam seperti bulan dan bintang di bendera itu. Tapi, di bendera Sisingamangaraja itu, ada pedang Zulfikar yang jelas merupakan lambang Islam. Pedang sebagai simbol Islam menjadi populer ketika dipakai dan disebarkan oleh Turki. "Aceh juga mendapatkannya dari Turki dan Sisingamangaraja memperolehnya dari Aceh," tuturnya.

Kesangsian atas bendera itu juga diungkapkan Raja Sintong Maruhum Sinambelacicit Raja Parlopuk, abang kandung Pulo Batu (Sisingamangaraja XII)yang menjadi juru bicara keturunan biologis Sisingamangaraja. Meski belum melihatnya secara langsung, Sintong meyakini bendera di Museum Aan de Stroom itu bukan bendera Sisingamangaraja. "Bendera yang asli kami simpan. Selama penjajahan Belanda, bendera itu disimpan panglima Kesultanan Aceh sampai diserahkan kembali kepada kami pada 1962," ujar Sintong, tanpa menyebutkan di mana bendera itu disimpan.

Menurut Sintong, bendera asli diserahkan oleh keturunan panglima Kesultanan Aceh. "Waktu itu diserahkan kepada Raja Barita Putra Sisingamangaraja XII," ujarnya. Ia menduga bendera yang ada di Belgia merupakan duplikat yang dibuat tentara Sisingamangaraja.

Bagi Sintong, benda-benda yang dianggap warisan Sisingamangaraja di Museum Aan de Stroom itu hanya benda-benda budaya. Adapun benda-benda pusaka Sisingamangaraja, yang sampai saat ini tak diketahui rimbanya, ada tujuh macam. Ketujuh benda pusaka yang diwariskan secara turun-temurun sejak Sisingamangaraja I sampai Sisingamangaraja XII itu adalah Piso Gaja Dompak, batu gosok Pungga Haomasan, tikar kebesaran Lage Haomasan, tombak sakti Hujur Siringis, pedang sakti Podang Halasan, buli-buli penyimpan ramuan obat Tabu-tabu Sitarapullang, dan cap kerajaan. "Kami sudah pernah bertanya kepada pemerintah Belanda mengenai keberadaan benda-benda pusaka itu, dan mereka secara resmi menjawab tidak menyimpannya," ucap Sintong.

Selain itu, menurut Sintong, ada Pustaha Harajaon yang dibuat atas bimbingan langsung Ompu Sohahuaon (Sisingamangaraja XI). "Ini pustaha kerajaan beraksara Batak yang ditulis dengan tinta Cina di atas kertas watermark berukuran folio buatan Italia. Pustaha Harajaon ini terdiri atas 24 jilid, yang setiap jilid memiliki ketebalan lima sentimeter," tuturnya.

Walaupun koleksi Christoffel diduga bukan benda-benda pusaka Sisingamangaraja, keberadaannya dianggap sebagai temuan penting oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Direktur Jenderal Kebudayaan Hilmar Farid termasuk yang pertama mengetahui adanya benda-benda budaya Nusantara di Museum Aan de Stroom itu saat menyiapkan kegiatan untuk pergelaran Europalia Arts Festival 2017 di Belgia, dengan Indonesia menjadi negara tamu. "Mengapa koleksi yang begitu penting tidak diolah? Karena itu, kami kirimkan ahli untuk menelitinya," ujar Hilmar. Nelson adalah salah satu peneliti itu, dibantu Uli Kozok yang datang sendiri ke Belgia yang dekat dari kampungnya di Jerman.

Hilmar menyebutkan, dari penelitian tersebut, pihaknya sudah mendapatkan informasi mengenai benda-benda budaya yang menjadi koleksi museum di Antwerp itu. "Yang penting adalah perluasan akses dan publikasi informasi mengenai benda-benda itu bagi masyarakat Indonesia. Bentuknya apakah semacam katalog atau halaman web yang bisa diakses dari Indonesia, masih kami kaji," ucapnya. Ia juga menegaskan perlu mempelajari langkah lanjutan, termasuk opsi seperti repatriasi, replikasi, atau duplikasi terhadap benda-benda budaya itu.

Direktorat Jenderal Kebudayaan berencana kembali mengirim Nelson untuk melanjutkan penelitian di museum itu pada pertengahan tahun ini. Begitu pun Uli Kozok, yang mengaku bersedia jika diminta membantu pemerintah Indonesia. "Untuk membuat katalog dan mendeskripsikan benda-benda budaya dari berbagai daerah itu dibutuhkan tenaga-tenaga ahli yang menguasai bahasa dan budaya Aceh, Batak, Dayak, dan Gowa," ujar Nelson.

Dody Hidayat

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus