Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teknologi & Inovasi

Bentuk ditiru. isi tidak

Gedung dprd sul-teng dibangun dengan perpaduan arsitektur suku tolore & arsitektur modern. kelemahan masih terdapat pada arsitektur suku toraja dan suku tolore, terutama pada bagian dalam rumah.(tek)

30 September 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ARSITEKTUR tradisionil makin populer di mana-mana. Potongan atap joglo (Jawa) kini menghiasi gudang Bulog di seluruh Indonesia. Daerah lain di luar Jawa juga mulai mengadaptir arsitektur asli daerahnya pada corak bangunan masa kini. Baik arsitektur rumah gadang (Minang), arsitektur tongkonan (Toraja), dan paling akhir ini arsitektur tambi (Tolore, Sulawesi Tengah) mulai diperkenalkan dalam bentuk bangunan modern. Gedung DPRD Sulawesi Tengah, tempat berlangsung pelantikan Gubernur Munafri minggu ini, telah dibanggakan oleh harian Sinar Harapan sebagai "perpaduan antara arsitektur tradisionil Sulawesi Tengah dan arsitektur modern, untuk pertama kalinya." Perpaduan itu merupakan hasil perencanaan Dinas PU setempat. Seluruh kompleks bangunan kembar tiga itu telah menelan biaya Rp 423 juta. Modelnya memang rumah asli suku Tolore di pegunungan Takolekaju, pedalaman Sul-Teng. Dalam bahasa sana, namanya tambi. Kecuali atap bambunya yang harus diganti 40 tahun sekali, tambi tosae (rumah orang dulu) di Bada dan Besoa yang seluruhnya terbuat dari balok dan papan kayu koronia itu bisa tahan sampai ratusan tahun. Di Besoa misalnya, ada satu rumah adat yang sudah 200 tahun umurnya, dan sudah dua kali digotong pindah kampung. Bukan digotong dalam keadaan utuh -- beratnya nauzubillah. Tapi dibongkar lagi. Ini memang mungkin karena tak ada sambungan mati. Apa Tahan Gempa? Sambungannya yang seluruhnya tanpa paku itu membuatnya juga tahan gempa. Gempa bumi memang suka menggelitik Teluk Palu sampai Palopo. Makanya seluruh konstruksi bangunan merupakan satu kesatuan yang seimbang. Mulai dari panggungnya, ruang rumahnya, dan atap yang sekaligus berfungsi sebagai dinding. Seluruh struktur itu bertumpu di atas empat batu pengalas tiang panggung, yang menahan amblasnya tiang-tiang panggung rumah itu ke dalam tanah. Sekaligus berfungsi sebagai bantalan getaran, yang dalam dunia teknik sipil dikenal sebagai 'sambungan rol'. Apakah gedung DPRD nan megah di Palu pun tahan gempa, seperti rumah asli penduduk di pegunungan itu? Entahlah. Bangunan ini hampir seanteronya dari beton, dengan fundasi dan sambungan corcoran. Jadi mungkin sulit menahan getaran horisontal. Para arsitektur dan pemborong memang sering melakukan adaptasi yang hanya menyangkut bentuk, tanpa menyentuh fungsi dan isi arsitektur tradisionil. Sebagai usaha supaya cantik dan "berkepribadian". Atap joglo yang ditiru pada berbagai bangunan modern sekarang, umumnya hanya perlambang kejawaan saja. Fungsi atap yang lebar kemudian tinggi ramping menjulang itu, sebagai 'penjebak udara' dan penyejuk isi bangunan, seringkali tak berlaku pada bangunan modrn beratap joglo -- sebab loteng dan ruang di bawahnya disekat oleh langit-langit (plafon). Sehingga terpaksa pasang AC juga kalau kepinginhawa sejuk. "Modern" Dan Praktis Di pedalaman Sulawesi Tengah sendiri, tempat arsitektur tambi itu berasal, belum tampak usaha pemerintah melestarikan sambil memperbaiki arsitektur tradisionil agar lebih memenuhi kebutuhan manusia. Malah pesawat terbang MAF yang merupakan jalur penghubung dengan lembah terpencil di sela gunung itu sibuk mengangkut semen dan seng untuk proyek-proyek Inpres. Paik puskesmas, sekolah, maupun balai desa Inpres. Atap seng dan bangunan semen sudah dianggap lambang modernisasi, yang pelan-pelan mulai menyingkirkan bangunan kayu beratap bambu menurut struktur yang tahan-gempa. Atap seng yang harus didatangkan dengan pesawat terbang -- atau dipikul puluhan kilometer dari toko di kaki gunung -- sebelumnya sudah menghianati gereja dan mesjid. Dan setelah itu gedung-gedung pemerintah. Maka orang pun mulai berfikir 'modern' dan praktis. Pemasangannya lebih cepat dari pada atap bambu yang dipilah-pilah, lebih ringan, dan tak perlu mengupah terlalu banyak orang. Gejala serupa juga diamati oleh rombongan mahasiswa Arsitektur dan Sosiologi UI yang kuliah kerja ke Tana Toraja (Sul-Sel) September 1975. Dalam laporan kuliah kerja itu, anak-anak UI agak menyayangkan hal itu. Ada keindahan dan kepribadian yang spesifik Toraja dikorbankan pada penggantian atap bambu ke atap seng itu. Seperti diungkapkan dalam salah satu kesimpulan laporan "Ekspresi bentuk yang menggunakan atap bambu lebih natural dari pada yang menggunakan seng atau sirap. " Namun di samping pertimbangan estetika, atap bambu dapat tahan lebih lama dari pada seng (sampai 40 tahun) karena terlindung dari hujan dan panas matahari oleh lumut yang menutupinya. Air Kotor Di samping itu, bambu merupakan bahan baku lokal yang tak perlu diimpor dari luar. Dan lebih cocok untuk sambungan ikat dan jepit tanpa paku, yang bisa beresonansi dengan gempa. Karena lebih berat dari pada atap seng, atap bambu itu pun tak mudah diterbangkan angin ribut. Itu tak berarti, tim Arsitektur-Sosiologi UI itu tak melihat segi kelemahan pada rumah adat Toraja yang perlu diperbaiki. Misalnya tak adanya kamar mandi dan kamar kecil di lingkungan rumah. Rumah adat Toraja juga tak dilengkapi saluran air -- bak air bersih maupun air kotor dan air hujan -- sehingga kolong dan pekarangan rumah sering becek. Ventilasi udara minim sekali. Rumah Toraja memang dibikin begitu rapat untuk mencegah serangan hawa pegunungan di malam hari, tapi ada juga efek buruknya. Penghuni rumah terpaksa banyak menyedot asap api pediangan di ruang tengah, yang sekaligus berfungsi sebagai dapur. Berbagai kelemahan arsitektur tradisionil Toraja itu juga tampak pada arsitektur tradisionil Tolore. Kebudayaan kedua suku itu memang banyak persamaan, begitu pula habitat mereka. Tantangan yang lebih sulit dari pada seke= dar membuat tiruan rumah Toraja atau tambi Tolore di ibukota propinsi adalah bagaimana memperbaiki arsitektur tradisionil suku-suku pegunungan itu hingga menjadi lebih sehat, tapi tetap murah, tahan lama, dan tahan gempa. Tanpa menciptakan ketergantungan baru pada bahan luar seperti semen dan - seng, dan tanpa menurunkan derajat penduduk setempat menjadi kuli harian.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus