Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Berita terkait klaim alat pendeteksi gempa Early Warning System atau EWS yang dikembangkan Tim Peneliti Sistem Peringatan Dini (EWS) Gempa Universitas Gadjah Mada atau UGM mampu mendeteksi gempa tiga sampai tujuh hari kejadian, yang dirilis di laman resmi UGM www.ugm.ac.id hilang. Saat mengunjungi tautan berita tersebut, halaman yang ditampilkan menunjukkan keterangan kode 404, yang berarti halaman tersebut tidak ditemukan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“404, Page not found,” begitu bunyi keterangan, saat Tempo menelusuri laman tersebut pada Minggu, 6 Juni 2021. Berita tersebut sebelumnya tayang dilaman ugm.ac.id pada Rabu 2 Juni 2021. Tempo kemudian memberitakannya pada Kamis 3 Juni 2021.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sebelumnya, Tim Peneliti Sistem Peringatan Dini (EWS) UGM mengambangkan alat pendeteksi gempa yang disebut dapat memberikan prediksi gempa tiga hari sebelum kejadian. Ketua Tim Peneliti Sistem Peringatan Dini (EWS) Gempa UGM, Prof Sunarno mengatakan dalam lima tahun terakhir, belum pernah terjadi gempa dengan magnitudo kuat di Daerah Istimewa Yogyakarta atau DIY. Meski begitu, EWS buatan tim peneliti dari UGM ini memang dirancang untuk memprediksi gempa dengan kekuatan minimal 4,5 skala Richter.
Namun saat ini alat EWS buatan UGM ini baru terpasang di wilayah DIY, karena terbatas oleh alokasi anggaran dari Kementerian Riset dan Teknologi lima tahun lalu, padahal menurut Sunarno alat dengan teknologi triangulasi ini akan lebih optimal jika ditanam di banyak tempat. “Alat ini baru kami pasang di wilayah DIY, belum kami pasang di luar itu, jadi pembacaannya terbatas masih wilayah DIY saja,” tutur Sunarno kepada Tempo, pada Kamis, 3 Juni 2021.
Sementara untuk wilayah di luar DIY, EWS buatan UGM dapat membaca prediksi gempa namun alat ini hanya mampu menunjukkan gejala dan belum dapat menunjukkan lokasi pasti. ”Belum bisa menunjukkan lokasi pastinya di luar DIY itu di sebelah mana. Kalau di DIY bisa dipastikan lokasinya karena sudah alat itu,” terang Sunarno.
Kelemahan alat tersebut, menurut Sonarno yaitu agar bisa mendapatkan lokasi dan waktu yang presisi, harus ditanam lebih banyak alat, setidaknya telah dipasang sebanyak 60 titik EWS dari Aceh hingga NTT. Pemasangan dilakukan dengan jarak 100 hingga 160 kilometer. Tim Peneliti Sistem Peringatan Dini (EWS) UGM sengaja tidak mendaftarkan hak paten karena dibuat berdasarkan pertimbangan kemanusiaan. Sunarno tidak keberatan jika ada yang berminat untuk meniru pembuatannya.
Adapun Kepala Bidang Mitigasi Gempa Bumi dan Tsunami BMKG, Daryono, mengungkapkan keraguannya atas klaim kemampuan alat deteksi gempa buatan tim peneliti UGM. Daryono menerangkan, di Indonesia gempa bumi dapat terjadi hingga belasan kali di setiap harinya, bahkan gempa-gempa dengan magnitudo di bawah 5,5 memiliki sebaran yang sangat banyak.
Daryono menyebutkan, memprediksi gempa kecil sama halnya dengan berburu di kandang domba, “Tanpa diprediksi pun muncul sendiri,” kata Daryono di media sosial Twitter, Kamis, 4 Juni 2021 lalu. Untuk itu, jika memang ada alat pendeteksi gempa yang diklaim mampu memprediksi kejadian gempa, Daryono menantang untuk memprediksi kejadian gempa dengan magnitudo kuat di atas 6,0. “Supaya tidak dibilang kebetulan,” tulisnya.
HENDRIK KHOIRUL MUHID