Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Bandung - Kepala Bidang Informasi Gempabumi dan Peringatan Dini Tsunami BMKG Daryono mengatakan, masyarakat perlu menjadikan gempa yang terasa kuat sebagai peringatan dini tsunami, terutama bagi warga yang sedang atau tinggal di daerah pantai.
Baca: Buta Soal Tsunami Palu, Ini Kata BMKG
Baca: Ahli ITB Duga Longsor Bawah Laut Picu Tsunami Palu, Ini Tandanya
Baca: Gelombang Pasang Berperan pada Tsunami Palu? Simak Penjelasannya
"Kalau ada gempa kuat lagi sedang di pantai jangan tunggu peringatan dini, langsung lari karena yang bisa menyelamatkan diri itu evakuasi mandiri," katanya, Ahad, 30 September 2018.
Gempa kuat yang dimaksud, kata Daryono, berdasarkan skala intensitas gempa. Patokannya bukan skala besaran atau magnitudo, karena itu terkait juga dengan jarak kedalaman sumber gempa.
Dia mencontohkan gempa bermagnitudo skala 4, tapi dangkal dengan kedalaman 10 kilometer, bisa menjadi gempa kuat. Sebaliknya andai gempa bermagnitudo 8 namun di kedalaman 600 kilometer lebih, guncanganya tidak signifikan. "Gempa kuat itu minimal berskala intensitas V-VI MMI," katanya.
Berdasarkan keterangan BMKG, tanda gempa berskala intensitas V itu getaran dirasakan oleh hampir semua penduduk, orang banyak yang terbangun ketika tidur, gerabah pecah, barang-barang terpelanting, tiang-tiang dan barang besar tampak bergoyang, dan bandul lonceng dapat berhenti.
Adapun gempa berskala intensitas VI ditandai oleh getaran yang dirasakan oleh semua penduduk. Kebanyakan semua terkejut dan lari keluar, plester dinding berjatuhan dan cerobong asap pada pabrik rusak, atau terjadi kerusakan ringan pada bangunan.
BMKG merupakan lembaga resmi yang bertugas mengeluarkan peringatan dini tsunami ke publik. Namun teknologinya yang menggunakan Indonesia Tsunami Early Warning System (INA TEWS) itu diakui Daryono tidak bekerja efektif untuk pantai-pantai rawan yang dekat dengan sumber gempa. "Karena golden time-nya itu sangat singkat," katanya.
Misalkan tsunami sampai ke pantai kurang dari sepuluh menit, sementara petugas BMKG perlu waktu menganalisisnya sekitar empat hingga lima menit. Sisa waktu lima menit sudah mepet untuk upaya evakuasi dan penyelamatan diri.
"Yang paling bagus menjadikan gempa kuat itu sebagai peringatan dini tsunami, entah apa akan terjadi tsunami atau tidak, itu urusan belakangan yang penting nyawa selamat dulu," katanya.
Sebelumnya diberitakan, Gempa Donggala bermagnitudo 7,4 yang disertai tsunami pada Jumat sore, 28 September 2018, mengakibatkan korban jiwa dan luka. Menurut data Badan Nasional Penanggulangan Bencana, jumlah korban tewas hingga Ahad, 30 September 2018 sebanyak 832 orang.
Mayoritas atau 821 orang diantaranya berasal dari Kota Palu, dan 11 korban tewas dari Kabupaten Donggala. Kebanyakan korban tewas dilaporkan akibat tertimpa reruntuhan dan terjangan tsunami.
"Yang meninggal dan telah teridentifikasi akan segera dimakamkan secara massal, karena pertimbangan kesehatan," kata Kepala Humas Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Sutopo Purwo Nugroho di kantornya, Jakarta, Ahad, 30 September 2018. Adapun korban luka tercatat 540 orang. Jumlah pengungsi sebanyak 16.732 orang yang berada di 24 titik.
Simak artikel lainnya tentang tsunami di kanal Tekno Tempo.co.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini