TENTUNYA ini pameran yang menarik: yang dipamerkan bukan
bahanbahan bangunan atau potongan jendela seperti biasanya
pameran yang memakai predikat "arsitektur". Pameran kali ini,
Pameran Karya Arsitektur Indonesia I, baru merupakan pameran
arsitektur sesungguhnya: menyuguhkan perencanaan para arsitek
dalam membangun sebuah gedung atau rumah - dilengkapi pula
dengan foto-foto.
Namun perencanaan yang ditampilkan 14-19 April di TIM, terlalu
teknis. Gambar-gambar rencana yang ditempel di panil-panil
pameran seperti langsung dibawa dari meja gambar para arsitek.
Seorang mandor bangunan barangkali akan menyimaknya dengan
bergairah. Tapi pengamat awam belum tentu.
Materi pameran terdiri dari dua kelompok. Rumah tinggal dan
bangunan umum berupa gedung-gedung bertingkat termasuk pencakar
langit. Dari segi jumlah, seleksi materi seperti kurang
proporsional. Kelompok rumah tinggal tidak sampai 10% dari
kelompok gedung-gedung raksasa. Padahal bukankah kelompok ini
yang lebih banyak - dan lebih kaya dengan masalah - di
Indonesia, yang masih belum kenal betul dengan kultur rumah
tinggal bersusun (flats)?
Pada kenyataannya kelompok rumah tinggal pula yang menarik
pengunjung pameran. Sudut pameran foto-foto rumah tinggal,
penuh. Sementara bagian ruang pameran yang menampilkan
perencanaan gedung-gedung bertingkat - lengkap dengan bestek,
tampak dan potongan - kelihatan lengang. Barangkali karena
jumlahnya terlalu sedikit, tidak banyak yang bisa disimak dari
kelompok rumah tinggal.
Dari kelompok bangunan umum, bisa ditarik beberapa kesimpulan,
yang menggambarkan kecenderungan arsitektur di Indonesia. Dengan
catatan, bila pameran ini cukup representatif menggambarkan
"kekuatan" para arsitek di Indonesia.
Yang segera nampak, kurangnya bangunan-bangunan yang menyertakan
"teknologi tinggi" - pencakar langit umpamanya. Cuma dua
kelompok perencana yang menampilkan karya macam ini: Grup Encona
dan Arkonin. Yang pertama menampilkan perencanaan gedung Wisma
Bumi Putera, sementara yang kedua menyuguhkan rencana dan foto
maket Gedung Kantor Departemen Perindustrian RI.
Contoh yang cuma dua itu pun masih perlu diberi catatan kaki.
Encona masih menampilkan nama konsultan - Timothy Seow.
Mungkinkah ini menunjukkan tingkat rata-rata kemampuan grup
arsitek di Indonesia - termasuk pula persepsinya tentang
manajemen dan perhitungan konstruksi yang bukan tugasnya.
Selain kedua pencakar langit itu, kelompok bangunan umum
rata-rata menampilkan Ferencanaan gedung-gedung ukuran "medium".
Perhitungan konstruksinya tidak istimewa: konstruksi baja untuk
atap dan beton kongkrit untuk tubuh bangunan. Karena itu, faktor
yang menarik untuk dimasalahkan ialah bentuknya. Dan dalam hal
ini, rata-rata arsitek Indonesia nampaknya kurang peka.
Sekadar beberapa contoh. Bentuk kantor PT Alcan, yang dibangun
Grup Paraman, Jadinya lucu: bangunan yang nyaris beton
seluruhnya itu mempunyai "hidung" mosaik kaca di atas
gerbangnya. Juga kantor cabang Departemen Keuangan Balikpapan,
karya arsitek Sumarsono, bentuk atapnya mengikuti bentuk
konvensional rumah tinggal - jadi seperti rumah tinggal raksasa
yang menakutkan. Di samping itu, arsiteknya mencoba memperkaya
permukaan dinding, namun kurang cermat dalam menyusun
lubang-lubang jendela. Akibatnya ritme dan pola jendela tidak
tersusun. Maka dari jauh, permukaan dinding terlihat jadi lebih
mirip kurai, alias tekstur.
Kurangnya perbendaharaan pengetahuan para arsitek, juga membuat
bentuk gedung jadi rusak, ketika mereka mencoba memasukkan
unsur-unsur arsitektur tradisional. Sekadar satu contoh dari
sekian banyak gejala, bentuk kantor BBD Palembang, karya Grup
Ciriajasa. Di depan gerbang gedung bak kotak yang kaku ini,
muncul kanopi berbentuk rumah Joglo, tanpa pengolahan sama
sekali. Karena jauhnya perbedaan bentuk, tak bisa terhindar
kesangubuk di depan gedung.
Toh tidak semua materi pameran menampakkan kelemahan bentuk. Di
antara beberapa yang baik, Grup Atelier 6 dan Grup Gubah Laras
(dibentuk arsitek terkemuka Almarhum Sujudi), patut diunggulkan.
Pengetahuan bentuk membuat karya kedua grup ini bagus dan
sekaligus berhasil mengawinkan bentuk-bentuk arsitektur
tradisional dan bentuk-bentuk arsitektur masa kini.
Grup Atelier 6, yang menampilkan beberapa karya, menampakkan
kecenderungan mengubah imaji "rumah kotak". Sejumlah bangunan
yang mereka rencanakan kelihatan dengan jelas mencoba mengolah
bentuk-bentuk segi enam. Dalam merencanakan denah juga mencoba
mencari corak yang tidak umum. Antara lain, menempatkan bangunan
tidak di tengah, melainkan di salah satu sudut. Akibatnya, bisa
didapat lapangan yang sangat luas.
Grup Gubah Laras, sebagian besar menyuguhkan karya-karya Arsitek
Sujudi. Almarhum di masa hidupnya, sangat dikagumi
rekan-rekannya. Memang, karya-karyanya bisa dikatakan
"mengganggu". Misalnya, kedutaan besar RI di Malaysia. Yang
menonjol dari keseluruhan bentuk yang bisa dikatakan sangat
sederhana, adalah menara yang berbentuk atap bersusun.
Mengingatkan bangunan-bangunan tradisional dari segi
strukturnya. Ini barangkali keistimewaan Arsitek Sujudi. Ia
tidak memaksakan rinci-rinci bangunan tradisional (yang memang
kaya ornamen, misalnya) ke dalam karya-karyanya. Ia nampak lebih
tertarik pada strukturnya, seperti menara Kedubes RI di Malaysia
itu.
Yang mengganggu, sulit untuk segera mengatakan gedung kedutaan
ini bagus. Namun toh juga sulit segera beranjak meninggalkan
foto bangunan itu. Keterpakuan akhirnya membuahkan kesimpulan,
jangan-jangan ini yang disebut bangunan khas Indonesia. Dan
ketika nama perencananya disimak, muncul kesimpulan lain:
pantas!
Jim A. Supangkat
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini