Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pada sebuah ajang Perkemahan Ilmiah Remaja Nasional 2004 di Tenggarong, Kalimantan Timur, seorang Listya Chandra Ayu Kusuma, remaja 17 tahun siswi SMA YP Vidya Dahana Patra, menampilkan gagasan orisinal: memanfaatkan serbuk kayu ulin untuk dijadikan bahan batako.
Dan benar saja, batako ciptaannya tersebut berhasil mengantar remaja berkerudung yang biasa dipanggil Tya itu meraih gelar juara I di Lomba Karya Ilmiah Remaja Tingkat Nasional 2004. Pada pertengahan Mei 2005 lalu, bersama seorang siswa dari Yogyakarta, ia terpilih mewakili Indonesia dalam International Exhibition for Young Inventors, di Kuala Lumpur, Malaysia.
Mulanya karena rasa gemas. Setiap berangkat ke sekolah, pulang dari sekolah, ikut ibu ke pasar, atau ke mana pun aktivitas membawanya keluar dari rumahdi kompleks PT Badak LNG, Bontang, Kalimantan Timurmatanya selalu terantuk pada pemandangan yang sama: limbah serbuk kayu ulin. Hampir di sepanjang jalan yang dilaluinya, ia melihat limbah itu habis dibakar di lubang-lubang buatan sedalam hampir dua kali tinggi orang dewasa atau dibuang ke sungai. "Jumlahnya melimpah dan terbuang percuma," tutur Tya.
Tya tahu benar, kayu ulin atau kayu besi dikenal sebagai kayu yang paling kuat dan keras di antara kayu-kayu yang ada di Indonesia. Dengan menjadikannya bahan batako, itu artinya tidak saja memanfaatkan limbah yang tersebar di daerahnya, tapi sekaligus mengurangi impor pasir dari Palu, Sulawesi Tengah. Sebab, sementara ini kualitas pasir di kampung halamannya sangat jelek sebagai bahan dasar batako. Harapannya melambung setelah usulannya itu ternyata dipilih oleh tim juri di Tenggarong untuk direalisasi.
Untuk merealisasi gagasannya, gadis berkerudung itu mendiskusikan dengan guru pembimbingnya di SMA, Agus Priyono. Tya juga menggelar eksperimen selama tiga hari di rumahnya. "Saya me-ramunya dalam berbagai perbandingan antara semen, pasir, dan serbuk kayu," kisah anak pertama dari dua bersaudara ini. Total ada lima adonan yang dicobanya. Masing-masing dituang ke dalam cetakan kubus berukuran 10 x 10 x 10 sentimeter, lalu dijemur. Setelah kering, tiap cetakan batako dimasukkan ke oven bersuhu 300 derajat Celsius selama 30 menit.
Selanjutnya, semua batako diletakkan di atas kompor listrik selama 30 menit secara bergantian. Kompor listrik dimanfaatkan karena memakai bara, tidak ada api terbuka. "Sehingga, apabila sampai timbul api atau debu, itu berarti berasal dari batako yang terbakar," Tya menjelaskan. Hasilnya, tiga batako yang komposisi pasirnya lebih sedikitbahkan noldaripada serbuk kayu tidak tahan dan menghasilkan debu. Tersisa dua cetakan, masing-masing batako biasa (tanpa serbuk kayu) dan batako dengan perbandingan semen: pasir: serbuk kayu = 1: 3 : 1.
Pengujian berikutnya terhadap kedua jenis batako dilakukan dengan alat semacam dongkrak yang dipinjamnya dari Politeknik Universitas Mulawarman. Ketika diuji, batako yang dibuat dari campuran serbuk kayu ulin ternyata kuat menahan tekanan dari alat uji hingga 32,54 kgf per cm2. Wajah Tya pun tampak berseri-seri. "Batako biasa hancur pada sekitar 20 kgf per cm2," ujarnya.
Adonan terpilih itu juga menyimpulkan bahan baku pasir belum dapat dieliminasi sepenuhnya. Tapi, menurut Tya, itu sudah cukup untuk melampiaskan rasa gemasnya untuk bisa memanfaatkan limbah kayu ulin. Anung Kusnowo, peneliti di Pusat Penelitian Fisika Pusat Penelitian Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, Serpong, Banten, yang juga anggota tim juri LKIR 2004, menilai batako Tya sebagai karya yang orisinal. "Saya sudah cek di balai-balai, belum ada gagasan yang seperti itu," kata dia. "Pemikiran yang cukup baik untuk ukuran siswa SMA."
Batako karya Tya ini, selain kuat, unik karena warna, juga lebih murah. Haryono, seorang pengelola pabrik batako di Bontang yang tiap bulannya mencetak hingga 50 ribu batako untuk bahan bangunan, menyebut ongkos produksi mencetak sebuah batako Rp 1.000. Sedangkan Tya memperkirakan tidak sampai Rp 200. "Karena serbuk kayunya kan tersedia melimpah, gratis," kata Tya. Sang pembimbing, Agus, mengabarkan saat ini hasil rancangan batako serbuk kayu ulin itu sedang diusahakan dipatenkan. "Belum tahu setelah itu," katanya.
Wuragil, Redy M.Z. (Bontang)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo