Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SELAMA dua bulan terakhir, Tian Bachtiar, wartawan ANTV, punya kesibukan baru. Lelaki yang sedang kena skorsing karena melaporkan tempat kerjanya ke polisi lantaran menunggak iuran Jamsostek itu kerap dipanggil ke Kejaksaan Agung. Jadi tersangka?
Tidak, rupanya. Malah terbalik, ia kini narasumber. "Mereka banyak bertanya soal kasus saya," katanya. Beberapa "narasumber" lain juga sudah didengar. Semuanya punya kaitan dengan perusahaan pengumpul duit kaum pekerja itu.
Tuntas babak diskusi, penyidik di Tim Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi mulai bertindak. Pada akhir Juni, status tersangka dilekatkan pada Andi Rahman Alamsyah, mantan Direktur Investasi PT Persero Jamsostek.
Rahman disangka melanggar Peraturan Pemerintah Nomor 28/1996 tentang Investasi, dan merugikan negara Rp 100 miliar dalam investasi di Bank Global. Menurut Wakil Ketua Tim Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Timtas Tipikor), Brigjen Pol. Indarto, tersangka yang kini ditahan di sel Mabes Polri itu mengambil kebijakan sendiri saat berinvestasi lebih dari Rp 25 miliar.
Menurut aturannya, investasi di atas Rp 25 miliar harus mendapat kata putus juga dari direktur utama dan direktur keuangan. Fakta memberatkan lain, sebenarnya ada masukan dari Divisi Riset dan Investasi PT Jamsostek, yang menyatakan investasi di bank itu tidak menguntungkan.
Dalam audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), yang jadi dasar penyidikan, investasi dalam bentuk obligasi subordinasi, atau sejenis utang jangka panjang, itu janggal. Masalahnya, Jamsostek membeli 25 persen dari Rp 400 miliar total obligasi yang diterbitkan oleh bank yang kini sudah tewas itu. Namun, Rahman berdalih mereka membeli karena menduga investasi itu menguntungkan. "Apalagi waktu itu Bank Indonesia menyatakan bank itu sehat," katanya kepada penyidik.
Menurut Ketua Timtas Tipikor yang juga Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (JAM Pidsus), Hendarman Supandji, selain terlibat pembelian obligasi subordinat Bank Global, Rahman juga diduga bertanggung jawab dalam investasi Jamsostek di PT Volgren senilai Rp 49,2 miliar dan PT Sapta Prana Jaya senilai Rp 105,5 miliar. Total kerugian ditaksir Rp 250 miliar. Karena perbuatannya itu, Rahman dijerat dengan Undang-Undang Korupsi.
Hanya selang sepekan, giliran mantan Direktur Utama Jamsostek, Ahmad Djunaidi, dinyatakan tersangka. Sebelumnya, ia empat kali diperiksa sebagai saksi dalam kasus Rahman. Sama dengan mantan koleganya, Djunaidi juga dinyatakan terlibat kasus pembelian obligasi subordinasi Bank Global.
Djunaidi juga diduga terlibat dalam investasi di empat perusahaan penerbit atau surat berharga jangka menengah (medium term notes), yakni di PT Sapta Prana Jaya, PT Volgren Indonesia, PT Surya Indo Perdana, dan PT Hari Prima Perdana. Berbeda dengan Rahman, proses pemanggilan Djunaidi sebagai tersangka cukup menggegerkan.
Ketika ia mendapat panggilan polisi, 5 Juli lalu, Djunaidi malah pergi umrah. Padahal ia dalam status cegah-tangkal. Djunaidi memang akhirnya kembali ke Indonesia, tak jelas dipulangkan atau pulang sendiri.
Menurut versi Timtas Tipikor, ada dugaan ia sengaja memalsu paspor. Djunaidi menyatakan ia berangkat dengan rombongan umrah. "Masa, kabur dengan rombongan," katanya kepada penyidik.
Kasus lima perusahaan ini, menurut kuasa hukum Djunaidi, tidak bersifat pidana. "Karena ini pelanggaran kredit, sebenarnya ini soal perdata," kata Tjokorda Made Ram. Ia menyatakan heran, Timtas Tipikor menggiringnya ke arah tindak pidana korupsi. "Namanya investasi, bisa untung tapi juga bisa rugi," katanya.
Jamsostek sendiri bukannya tak berusaha mengembalikan duit mereka yang kandas. Menurut Tjokbegitu Made Ram biasa dipanggilupaya pengembalian aset itu kini ditangani Denny Kailimang, pengacara Jamsostek. "Kalau disebut kerugian negara, nyatanya duit itu tidak hilang," katanya.
Dari empat pembelian MTN, menurut Tjok, satu di antara yang dituduhkan bahkan sudah lunas. "Informasi polisi ketinggalan," katanya. Denny Kailimang membenarkan. "Ada dua perusahaan yang kami tangani," katanya. "Satu sudah lunas, bahkan membayar berikut bunganya."
Indarto mengakui ada kemungkinan sangkaan berubah. "Itu tergantung hasil pemeriksaan," katanya. "Tapi, kalau sudah dinyatakan sebagai tersangka, kemungkinan benar."
Bila sangkaan sumir ini dipaksakan, akibatnya bisa berat. Tersangka bisa lepas di pengadilan. "Ya, silakan saja polisi memaksa," kata Tjok. "Saya sebagai pengacara malah senang." Timtas Tipikor, berbeda dengan KPK yang tidak bisa menghentikan perkara, bisa saja menerbitkan surat perintah penghentian penyidikan (SP3).
Di sinilah rumitnya kasus Jamsostek. Bila polisi tak pandai-pandai memeriksa dan menemukan bukti pidana, bisa-bisa kasusnya masuk wilayah perdata.
Dari audit BPK 2003, terlihat jelas masalah justru berada pada proses investasi yang tidak dilakukan berhati-hati. Misalnya kasus MTN Sapta Prana Jaya. Ketika jatuh tempo, 3 Agustus 2002, perusahaan itu ternyata tidak mampu membayar utang pokok senilai Rp 100 miliar.
Sapta Prana kemudian menyerahkan jaminan tanah yang tersebar di Kabupaten Pandeglang dan Lebak, Banten, serta Bogor, Jawa Barat, melalui PT Rifan Financindo Asset Management, perusahaan penjamin. Ternyata tanah yang diserahkan tidak sepenuhnya bersertifikat.
Dari tujuh jaminan tanah yang bersertifikat pun, tak ada yang dipegang Jamsostek. Nilainya, menurut taksiran BPK, jauh di bawah nilai utang mereka. Demikian juga pada pengikatan jaminan tanah Volgren. Jaminan tanah di Desa Kamarung, Pegaden, Subang, Jawa Barat, itu digelembungkan nilainya.
Dari dokumen akta pemberian hak tanggungan tahun 2003, tanah yang "diaku" bernilai Rp 600 juta itu disetarakan dengan nilai utang Rp 10 miliar. Penelusuran BPK berdasarkan nilai jual tanah itu tahun 2000 menemukan nilai jaminan tersebut ternyata tak lebih dari Rp 199, 42 juta.
Bila merujuk pada dua kasus ini, kerugian berganda dialami Jamsostek, perusahaan yang tercatat memiliki anggota 23 juta pekerja. Selain duitnya tak kembali dalam jumlah utuh, potensi keuntungan yang diharapkan sudah pasti tak bisa diraih. Padahal, investasi perusahaan yang tercatat pada 2003 memiliki aset Rp 26 triliun ini berasal dari duit pekerja.
Nasib duit pekerja ini tentu paling parah terjadi di kasus Bank Global. Sebagai perusahaan yang diberi tugas mengembangkan sistem jaminan sosial tenaga kerja, seperti tercantum dalam Undang-Undang tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja, Jamsostek berkewajiban mengembangkan sebesar-besarnya kesejahteraan pekerja. Kini duitnya malah bablas.
Menurut sumber Tempo di Timtas Tipikor, penyidikan kasus Jamsostek ini tidak akan terhenti pada lima perusahaan itu saja. Berdasarkan surat Jamsostek kepada Kantor Badan Urusan Piutang dan Lelang Negara pada 2002 saja, tercatat tak kurang dari 20-an perusahaan penunggak utang duit Jamsostek. Di antara perusahaan itu terdapat nama-nama orang penting yang kini duduk di kursi pemerintahan sebagai pemiliknya.
Para direksi perusahaan ini, pada gilirannya, akan dipanggil untuk diperiksa. Bisa dipastikan di antara mereka ada yang bakal menyusul jadi tersangka. "Pemeriksaan kasus Jamsostek ini baru tahap permulaan," kata Indarto.
Arif A. Kuswardono, Mohamad Nafi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo