IR. Harry Sosrohadisewoyo mengembangkan alat pengendali
frekuensi (governor elektronis) yang diperlukan untuk pembangkit
listrik dengan aliran air irigasi. Bekas Kepala Laboratorium
Konversi Energi Listrik ITB jtu, pekan lalu berbicara dalam satu
Seminar di gedung BPP (Badan Pengkajin dan Penerapan)
Teknologi, Jakarta. Inovasinya didasarkan pada konsep sistem
beban komplemen yang akhir 50-an mulai dijajaki di Inggris.
Di negara maju itu tak begitu besar minat orang untuk
mengembangkan sistem itu, yang dianggap tak cocok untuk
pembangkit listrik berkapasitas besar. Tapi penerapannya di
Indonesia kini dipertimbangkan pada pembangkit listrik
berkapasitas kecil seperti PLTM (lihat box). Investasinya untuk
memanfaatkan aliran air irigasi menjadi layak asalkan memakai
alat penendali frekuensi yang tidak terlalu maha harganya.
"Yang baru kini bukan konsepnya, tapi alatnya," ujar Harry.
Agar frekuensi listrik yang dihasilkar pembangkit tetap sekitar
50 Hz, putaran turbin harus konstan. Putaran itu bisa pelan bila
beban (jumlah listrik yang dipakai konsumen) bertambah,
sebaliknya bisa cepat bila beban itu berkurang. Perubahan
frekuensi dari standar (47,5 Hz - 52,5 Hz) bisa merusak
peralatan pembangkit maupun peralatan listrik konsumen. Untuk
mengimbangi efek perubahan beban atas putaran turbin itu, arus
air yang masuk harus diperbesar atau diperkecil dengan cara
mengatur bukaan pintu air. Biasanya inilah yang diatur secara
otomatis oleh sebuah governor.
Governor itu terdiri dari dua atau lebih bandul logam pada ujung
tangkai yang melekat pada sebuah poros vertikal. Poros ini
langsung berhubungan dengan poros turbin, hingga bila putaran
turbin meningkat, putaran bandul JUga makin cepat. Akibat gaya
sentrifugal, perangkat bandul itu naik ke atas. Melalui
peralatan mekanis, gerakan itu menutup pintu air, mengecilkan
arus air yang menendang daun turbin. Tentu saja proses itu
terbalik bila putaran turbin cenderung berkurang akibat bebannya
mendadak naik.
Bisa saja pengaturar pintu air itu dilakukan manusia. "Tapi
manusia bisa alpa," ujar Harry. "Apalagi kecepatan tanggapnya
rendah."
Prinsipnya sederhana, tapi karena governor itu suatu alat
presisi, harganya cukup mahal. "Di Jerman Barat untuk pembangkit
50 kw, harganya 13 ribu DM (Rp 3 ,3 juta), " ujar Harry. Kalau
diimpor, dengan bea masuk 100%, harganya hampir Rp 7 juta --tak
layak lagi untuk pembangkit listrik berkapasitas kecil seperti
PLTM.
Ir. Harry Sosrohadisewoyo, 48 tahun, alumnus Jurusan Elektro
ITB tahun 1966, memulai penelitiannya di tahun 1977. Untuk bisa
mengimbangi perubahan besarnya beban yang dikenakan pada
pembangkit, maka diperlukan sebuah beban pelengkap. Ini
dinamakannya beban komplemen, yang menjaga agar beban total
selalu konstan. Karena beban konsumen selalu berubah-ubah, beban
komplemen itu juga harus variabel. Artinya bisa diatur dari nol
sampai besaran tertentu dan sebaliknya.
Untuk beban itu komplemen itu dipecah menjadi serangkaian beban
kecil, masing-masing dengan sebuah sakelar. Semakin banyak
pecahannya semakin halus tentunya perubahan dari tahap ke tahap,
tapi semakin mahal pula alat itu. Berbagai sakelar itu bisa
digerakkan tangan manusia atau secara otomatis. Harry
menggunakan sakelar elektronis. Prototipe ini ia namakan
"kendali frekuensi jenis digital" karena perubahan dari nilai ke
nilai terjadi melalui lompatan.
Harry dibantu tujuh mahasiswa yang mengambil tugas akhir mereka
di bawah bimbingannya. Mereka juga membuat prototipe "kendali
frekuensi jenis analog". Dalam sistem ini perubahan dari nilai
ke nilai berlangsng tanpa lompatan -- seperti jarum jam
menunjuk perubahan waktu--hingga pengendalian frekuensi bisa
lebih sempurna.
Namun sist-ern ini masih ada kelemahan juga. Penyaluhn daya ke
beban komplemen menggunakan sebuah triac, alat elektronis yang
memotong gelombang arus secara kontinyu dari nol sampai 180
derajat listrik. Tapi ini menghasilkan juga harmonisa pada
frekuensi tinggi hingga menimbulkan gangguan pada saluran radio.
Karenanya, tim yang bekerja di Laboratorium Konversi Energi
Listrik ITB itu mengembangkan prototipe ketiga. Harry di sini
masih mempertahankan sifat analog, tapi menghilangkan sifat
gangguan radio. Ini tercapai karena daya yang disalurkan ke
beban komplemen menggunakan arus dengan kelipatan setengah
gelombang. Sistem ini dinamakan "kendali frekuensi jenis
hibrida". "Yang hibrida ini sekarang sedang dicoba di Kali
Kuning, daerah Wonosobo ujar Harry ialam suatu wawancara TEMPO
di Bandung.
Alat yang tampaknya cukup sederhana itu memakai komponen
elektronika yang ada di pasaran, "supaya dapat dibuat secara
lokal," ujar Harry. Hampir separuh dari biaya Rp 470 ribu untUk
alat itu terpakai untuk membeli kawat nikelin, komponen utama
yang bertin dak sebagai beban. Nilai tahanan nikelin terhadap
arus listrik sangat tinggi hingga timbul panas. "Saat ini panas
itu memang terbuang percuma," ujarnya. Tapi Harry sedang
menjajaki kemungkinan memanfaatkan panas ini untuk mengeringkan
hasil pertanian.
Pemborosan energi dalam bentuk panas tak terpakai itu masih
merupakan kritik utama terhadap inovasi Harry itu. Di luar
negeri kelebihan energi listrik, di saat beban konsumen menurun,
dipergunakan untuk memompakan sebagian air kembali ke dalam
waduk untuk dipergunakan lagi. Tapi Harry merancang alat
pengendali frekuensi itu memang tidak untuk pembangkit listrik
dengan waduk, upi bagi PLTM yang memanfaatkan aliran air
irigasi. "Air irigasi," katanya sambil tertawa, "kan tidak bisa
dipompa kembali karena dibutuhkan di pertanian."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini