Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Ekspresionisme Di Terik Matahari

Pelukis action painting, imam dhipo winoto, mendemonstrasikan kebolehannya melukis yang disebutnya "ekspresionisme kontemporer", di sirkuit jaya ancol. (sr)

11 Desember 1982 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEKITAR pukul 11.00 siang, hio pun dibakar. Imam Dhipo Winoto duduk bersila pada kanvas kain blacu yang digelar panjang sekitar 400 m, bersamadi. Pemuda 32 tahun ini cuma mengenakan kaus dan celana pendek, tapi bersepatu dan sebagai ganti kaus kaki sepotong kain blacu putih melilit pergelangan kedua kakinya. Beberapa pembantunya siap di sekelilingnya dengan kaleng cat. Ada dua belas kaleng cat tembok besar, dan sejumlah kaleng kecil. Tiga ember plastik besar berisi air pun disiapkan. Dan sejumlah kanvas berukuran sekitar 90 x 70 cm dan 90 x 90 cm tertumpuk di dekat Dhipo. Itulah suasana awal dari demonstrasi melukis yang rupanya disebut "ekspresionisme kontemporer," di Sirkuit Jaya Ancol, 28 November 1982. Sekitar dua ribu penonton yang merasa akan mendapat tontonan menarik, berkerumun di sekeliling Dhipo. "Saya pikir saya sudah melakukan semuanya," kata Dhipo, tamatan Sekolah Perindustrian Menengah Atas, Yogya, dan sempat dua tahun duduk di Sekolah Tinggi Senirupa Indonesia (STSRI) Asri. "Saya sudah menggambar bentuk, menggambar orang, kini saya ingin melukiskan yang lebih sukar lagi ialah jiwa orang," lanjutnya. Maka di Sirkuit ncol, sehabis samadi, ia lantas sedikit merundukkan tubuhnya. Seorang pembantunya kemudian mengguyurkan cat warna oker ke kepalanya. Kanvas yang telah direntang pada span diambil Dhipo, digosok-gosokkan ke kepalanya. Lalu cat warna lain diguyurkan pula ke pundaknya. Kanvas pun digosok-gosokkan ke pundak. Terkadang tangan Dhipo dicelupkan ke cat,lantas tangan itu dioser-oserkannya ke kanvas. Terkadang pula diambilnya cat minyak Greco dipelototkan pada kanvas itu. Bila ia sudah merasa selesai dengan satu kanvas, lukisan itu diberikannya kepada pembantunya untuk diganti kanvas baru. Dan sebelum 17 kanvas besar dan 16 kanvas kecil selesai dilukisi, rupanya sengatan matahari membuat Dhipo melepas baju kausnya. Ia telanjang dada sekarang. Selesai dengan 3 3 kanvas, Dhipo siap melukisi empat potong kain blacu putih 400 m, 300 m, 200 m dan 100 m. Tidak dengan kuas, pun tidak dengan tubuh. Tapi dengan sepeda motor yang telah dibalut dengan blacu putih pula. Caranya? Sepeda motor dijalankan pada kanvas terbentang itu perlahan-lahan sekali, sementara para pembantu Dhipo melumurkan cat pada ban sepeda motor yang telah dibalut blacu putih itu. Tentu saja dengan komando dari Dhipo kadang ia minta ban sepeda yang dilumuri banyak-banyak, kadang ia minta cat hitam untuk ban belakang. Selesai dengan sepeda motor, Dhipo kini kembali melukis dengan tubuhnya. Ia melumuri kakinya dengan cat. Lalu meloncat-loncat pada kain terbentang itu. Tangannya juga dilumuri cat pula, lalu menyentik-nyentikkan cat yang melekat. Bosan dengan cara itu ia lantas telentang. Seorang pembantunya menyi ram dada dan perutnya dengan cat hijau muda, kemudian Dhipo telungkup. Bagaikan seekor ular ia menjalar ke depan Kemudian punggungnya ganti disiram cat. Ia pun ganti posisi menelentang . Dengan bertolakkan kedua kakinya ia pun lantas beringsut-ingsut menggosok-gosokkan punggungnya ke blacu putih yang kini mulai berlepotan cat warnawarni itu. Demikian hingga dua kain blacu panjang yang 300 dan 400 m itu terlukisi. Sebagai penutup, Dhipo berdiri, meraup cat dari kaleng, memasukkannya ke dalam mulutnya, lalu menyemburkannya kembali ke kanvas. Hanya kuat beberapa kali ia melukis dengan sistem sembur ini. Cepat-cepat ia minta air minum untuk berkumur. Tiba-tiba Dhipo berlari ke arah band yang sejak awal tontonan ini terus-menerus menggebrak instrumen dengan musik rock. Dhipo berdisko. Demonstrasi melukis ekspresionisme kontemporer atau ekspresionisme tanpa alat pun selesai. Dulu, ketika di STSRI Asri Dhipo anak kedua dari empat bersaudara dari seorang tukang kayu dari Madukismo, Bantul, Yogyakarta -- melukis biasabiasa saja. Bahkan ia pernah pameran bersama rekan-rekannya di Seni-Sono yogya (1972). Tapi di STSRI Asri ia cuma betah dua tahun, "karena saya selalu tak cocok dengan dosen-dosen." Ia hmudian ikut pelukis Affandi. Dari pelukis ini ia mengaku mendapat pengetahuan teknik melukis yang cocok dengan dirinya. Ia pun pernah bergabung dengan Bengkel Teater Rendra, sebentar. 1976 Dhipo pindah ke Jakarta. Agaknya, perkenalannya dengan Affandi, dan Rendra membuat Dhipo ingin pula tenar. Dan jalan ke sana memang ada, ketika ia mendengar ada pelukis yang mengecat Gurun Sinai. Maka, setelah cukup merenung dan mendapat sponsor, 31 Mei 1981 untuk pertama kalinya ia berdemonstrasi melukis dengan tubuh di Gelanggang Remaja Planet Senen. Waktu itu ia melukisi kain sepanjang 50 m. Disusul kemudian 21 November 1981 ia melukisi kain 100 m di Gedung Granada. Dan 4 April yang lalu ia melukis kain 30 m di halaman Studio TVRI Senayan. Maka ia pun masuk siaran TVRI, ditonton di delapan penjuru tanah air. Semua itu bisa terwujud berkat pertemuannya dengan H. Abi Jamroh, 41 tahun, seorang pengusaha yang memiliki perkebunan cengkih. ABI, selama ini memikul semua biaya yang dibutuhkan Dhipo. Sebab, Dhipo hingga kini belum rela menua lukisan-lukisannya. Konon atraksi di Ancol itu memakan biaya sekitar Rp 30 juta. Dan KNPI yang isebutebut sebagai penyelenggara? "Nama KNPI terpaksa kami pinjam untuk melicinkan izin," tutur Abi. Tapi agaknya isyarat bagi Dhipo, ayah dari empat anak sudah terlihat di Sirkuit Ancol Minggu itu. Pertama-tama orang berkerumun, berdesak-desak ingin melihat yang dilakukannya. Tak lama kemudian kerumunan itu surut, "kok cuma gitu-gitu saja," kata seorang bapak yang lantas ngeloyor pergi. Dan 33 lukisan pada kanvas yang dipajang di tengah Sirkuit tak menarik perhatian penonton lagi. Lukisan-lukisan itu sendiri mengesankan seperti lukisan anak-anak usia 3 tahun coret moret tidak keruan, seperti tumpahan cat yang tidak sengaja. Memang di abad kini cara melukis tak lagi terbatas hanya dengan menghadapi kanvas dandengan tangan menggerakkan kuas atau pisau palet. Ketika yang disebut action painting lahir di AS, akhir 1940-an, dengan dedengkotnya bernama Jackson Pollock, ketika itulah dihalalkan cara melukis dengan tingkah polah yang bagaimanapun. Pollock sendiri melukis dengan melelehkan cat sambil naik sepeda mengitari kanvasnya yang dibentangkan di lantai. Bedanya dengan Dhipo, Pollock tidak butuh pennton sewaktu sedang melukis. Yang dipamerkannya adalah karyanya dan ternyata disambut para kritisi. Melukis dengan tangan itu hanya mengekspresikan sedikit dari diri, tapi dengan seluruh tubuh ikut aktif berarti mengekspresikan sepenuh jiwa, kata para tokoh action painting. Dhipo, yang mengaku sebelum melukis selalu cek kesehatan ke dokter pun ingin mengekspresikan jiwa. Tapi rupanya orang lebih tertarik menonton dirinya, sebentar. Apa boleh buat bila karya-karyanya yang dibuat di bawah terik matahari, dengan mempertaruhkan kesehatannya itu, tidak digubris orang.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus