SEKITAR pukul 11.00 siang, hio pun dibakar. Imam Dhipo Winoto
duduk bersila pada kanvas kain blacu yang digelar panjang
sekitar 400 m, bersamadi. Pemuda 32 tahun ini cuma mengenakan
kaus dan celana pendek, tapi bersepatu dan sebagai ganti kaus
kaki sepotong kain blacu putih melilit pergelangan kedua
kakinya.
Beberapa pembantunya siap di sekelilingnya dengan kaleng cat.
Ada dua belas kaleng cat tembok besar, dan sejumlah kaleng
kecil. Tiga ember plastik besar berisi air pun disiapkan. Dan
sejumlah kanvas berukuran sekitar 90 x 70 cm dan 90 x 90 cm
tertumpuk di dekat Dhipo.
Itulah suasana awal dari demonstrasi melukis yang rupanya
disebut "ekspresionisme kontemporer," di Sirkuit Jaya Ancol, 28
November 1982. Sekitar dua ribu penonton yang merasa akan
mendapat tontonan menarik, berkerumun di sekeliling Dhipo.
"Saya pikir saya sudah melakukan semuanya," kata Dhipo, tamatan
Sekolah Perindustrian Menengah Atas, Yogya, dan sempat dua tahun
duduk di Sekolah Tinggi Senirupa Indonesia (STSRI) Asri. "Saya
sudah menggambar bentuk, menggambar orang, kini saya ingin
melukiskan yang lebih sukar lagi ialah jiwa orang," lanjutnya.
Maka di Sirkuit ncol, sehabis samadi, ia lantas sedikit
merundukkan tubuhnya. Seorang pembantunya kemudian mengguyurkan
cat warna oker ke kepalanya. Kanvas yang telah direntang pada
span diambil Dhipo, digosok-gosokkan ke kepalanya. Lalu cat
warna lain diguyurkan pula ke pundaknya. Kanvas pun
digosok-gosokkan ke pundak. Terkadang tangan Dhipo dicelupkan ke
cat,lantas tangan itu dioser-oserkannya ke kanvas. Terkadang
pula diambilnya cat minyak Greco dipelototkan pada kanvas itu.
Bila ia sudah merasa selesai dengan satu kanvas, lukisan itu
diberikannya kepada pembantunya untuk diganti kanvas baru. Dan
sebelum 17 kanvas besar dan 16 kanvas kecil selesai dilukisi,
rupanya sengatan matahari membuat Dhipo melepas baju kausnya. Ia
telanjang dada sekarang.
Selesai dengan 3 3 kanvas, Dhipo siap melukisi empat potong kain
blacu putih 400 m, 300 m, 200 m dan 100 m. Tidak dengan kuas,
pun tidak dengan tubuh.
Tapi dengan sepeda motor yang telah dibalut dengan blacu putih
pula. Caranya? Sepeda motor dijalankan pada kanvas terbentang
itu perlahan-lahan sekali, sementara para pembantu Dhipo
melumurkan cat pada ban sepeda motor yang telah dibalut blacu
putih itu. Tentu saja dengan komando dari Dhipo kadang ia minta
ban sepeda yang dilumuri banyak-banyak, kadang ia minta cat
hitam untuk ban belakang.
Selesai dengan sepeda motor, Dhipo kini kembali melukis dengan
tubuhnya. Ia melumuri kakinya dengan cat. Lalu meloncat-loncat
pada kain terbentang itu. Tangannya juga dilumuri cat pula, lalu
menyentik-nyentikkan cat yang melekat. Bosan dengan cara itu ia
lantas telentang. Seorang pembantunya menyi ram dada dan
perutnya dengan cat hijau muda, kemudian Dhipo telungkup.
Bagaikan seekor ular ia menjalar ke depan Kemudian punggungnya
ganti disiram cat. Ia pun ganti posisi menelentang . Dengan
bertolakkan kedua kakinya ia pun lantas beringsut-ingsut
menggosok-gosokkan punggungnya ke blacu putih yang kini mulai
berlepotan cat warnawarni itu. Demikian hingga dua kain blacu
panjang yang 300 dan 400 m itu terlukisi.
Sebagai penutup, Dhipo berdiri, meraup cat dari kaleng,
memasukkannya ke dalam mulutnya, lalu menyemburkannya kembali ke
kanvas. Hanya kuat beberapa kali ia melukis dengan sistem sembur
ini. Cepat-cepat ia minta air minum untuk berkumur.
Tiba-tiba Dhipo berlari ke arah band yang sejak awal tontonan
ini terus-menerus menggebrak instrumen dengan musik rock. Dhipo
berdisko. Demonstrasi melukis ekspresionisme kontemporer atau
ekspresionisme tanpa alat pun selesai.
Dulu, ketika di STSRI Asri Dhipo anak kedua dari empat
bersaudara dari seorang tukang kayu dari Madukismo, Bantul,
Yogyakarta -- melukis biasabiasa saja. Bahkan ia pernah pameran
bersama rekan-rekannya di Seni-Sono yogya (1972). Tapi di STSRI
Asri ia cuma betah dua tahun, "karena saya selalu tak cocok
dengan dosen-dosen." Ia hmudian ikut pelukis Affandi. Dari
pelukis ini ia mengaku mendapat pengetahuan teknik melukis yang
cocok dengan dirinya. Ia pun pernah bergabung dengan Bengkel
Teater Rendra, sebentar. 1976 Dhipo pindah ke Jakarta.
Agaknya, perkenalannya dengan Affandi, dan Rendra membuat Dhipo
ingin pula tenar. Dan jalan ke sana memang ada, ketika ia
mendengar ada pelukis yang mengecat Gurun Sinai. Maka, setelah
cukup merenung dan mendapat sponsor, 31 Mei 1981 untuk pertama
kalinya ia berdemonstrasi melukis dengan tubuh di Gelanggang
Remaja Planet Senen. Waktu itu ia melukisi kain sepanjang 50 m.
Disusul kemudian 21 November 1981 ia melukisi kain 100 m di
Gedung Granada. Dan 4 April yang lalu ia melukis kain 30 m di
halaman Studio TVRI Senayan. Maka ia pun masuk siaran TVRI,
ditonton di delapan penjuru tanah air.
Semua itu bisa terwujud berkat pertemuannya dengan H. Abi
Jamroh, 41 tahun, seorang pengusaha yang memiliki perkebunan
cengkih.
ABI, selama ini memikul semua biaya yang dibutuhkan Dhipo.
Sebab, Dhipo hingga kini belum rela menua lukisan-lukisannya.
Konon atraksi di Ancol itu memakan biaya sekitar Rp 30 juta. Dan
KNPI yang isebutebut sebagai penyelenggara? "Nama KNPI
terpaksa kami pinjam untuk melicinkan izin," tutur Abi.
Tapi agaknya isyarat bagi Dhipo, ayah dari empat anak sudah
terlihat di Sirkuit Ancol Minggu itu. Pertama-tama orang
berkerumun, berdesak-desak ingin melihat yang dilakukannya. Tak
lama kemudian kerumunan itu surut, "kok cuma gitu-gitu saja,"
kata seorang bapak yang lantas ngeloyor pergi. Dan 33 lukisan
pada kanvas yang dipajang di tengah Sirkuit tak menarik
perhatian penonton lagi. Lukisan-lukisan itu sendiri mengesankan
seperti lukisan anak-anak usia 3 tahun coret moret tidak keruan,
seperti tumpahan cat yang tidak sengaja.
Memang di abad kini cara melukis tak lagi terbatas hanya dengan
menghadapi kanvas dandengan tangan menggerakkan kuas atau pisau
palet. Ketika yang disebut action painting lahir di AS, akhir
1940-an, dengan dedengkotnya bernama Jackson Pollock, ketika
itulah dihalalkan cara melukis dengan tingkah polah yang
bagaimanapun. Pollock sendiri melukis dengan melelehkan cat
sambil naik sepeda mengitari kanvasnya yang dibentangkan di
lantai. Bedanya dengan Dhipo, Pollock tidak butuh pennton
sewaktu sedang melukis. Yang dipamerkannya adalah karyanya dan
ternyata disambut para kritisi. Melukis dengan tangan itu hanya
mengekspresikan sedikit dari diri, tapi dengan seluruh tubuh
ikut aktif berarti mengekspresikan sepenuh jiwa, kata para tokoh
action painting.
Dhipo, yang mengaku sebelum melukis selalu cek kesehatan ke
dokter pun ingin mengekspresikan jiwa. Tapi rupanya orang lebih
tertarik menonton dirinya, sebentar. Apa boleh buat bila
karya-karyanya yang dibuat di bawah terik matahari, dengan
mempertaruhkan kesehatannya itu, tidak digubris orang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini