Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Sapi memiliki lambung dengan empat kompartemen dan bakteri yang hidup dalam satu kompartemen itu--rumen--memproduksi enzim yang dapat mengurai material plastik yang banyak digunakan sehari-hari. Temuan ini bisa membimbing kepada teknologi baru pengolahan plastik bekas pakai.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Penemuan itu berawal ketika Georg Guebitz dari University of Natural Resources and Life Sciences, Austria, dan koleganya berkunjung ke rumah jagal setempat. Mereka mengumpulkan sampel cairan dari rumen seekor sapi muda yang biasa digembalakan di padang rumput Pegunungan Alpen. Guebitz dkk menemukan cairan itu mengandung banyak jenis enzim, termasuk cutinase.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Seperti yang diungkap dalam jurnal Frontiers in Bioengineering and Biotechnology, terbit 2 Juli 2021, studi oleh Guebitz dan timnya mendemonstrasikan kalau enzim itu mampu mengurai tiga jenis poliester yang luas digunakan. Ketiganya adalah polyethylene terephthalate (PET), polybutylene adipate terephthalate (PBAT) dan polyethylene furanoate (PEF).
Ketiga poliester kerap digunakan dalam produksi barang kebutuhan sehari-hari seperti botol, tekstil, dan tas. Aktivitas enzim cutinase mampu membuat ketiga macam poliester tersebut hancur dalam satu sampai tiga hari ketika suhu dipertahankan sekitar 40 derajat Celsius--untuk menyerupai kondisi dalam lambung si sapi.
Usut punya usut, Guebitz mengatakan, "Kami menemukan diet sapi engandung makanan yang memiliki sebuah 'cangkang' yang mirip dengan poliester." Ini yang menerangkan kenapa mikroba-mikroba dalam rumen memproduksi enzim-enzim yang dapat mencerna poliester sintetis.
Menurut Guebitz, enzim-enzim ini bisa digunakan untuk memecah poliester pada skala komersial, yang lebih besar, di masa depan. Ini, kata dia lagi, setidaknya berpotensi lebih murah daripada teknologi pengolahan plastik yang sekarang digunakan.
Sejumlah pakar yang lain memilih berhati-hati menanggapi antusiasme Guebitz dan tim. Ramani Narayan dari Michigan State University, Amerika Serikat, misalnya. Menurut dia, harus dibuktikan terlebih dahulu kalau aktivitas enzim sama efektif atau bahkan lebih baik daripada teknologi komersial yang diimplementasikan saat ini.
"Jika mereka terlalu cepat membawanya ke proses rekayasa, maka akan ada begitu banyak pekerjaan yang harus diselesaikan terkait apa yang dihasilkan oleh produk enzim sapi, seperti apa produktivitasnya, dan lain-lain, untuk dibandingkan dengan teknologi enzim eksisting."
NEWSCIENTIST | FRONTIERSIN