Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Kepala Pusat Riset Tanaman Perkebunan Badan Riset dan Inovasi BRIN (BRIN) Setiari Marwanto mengatakan timnya telah merampungkan penelitian mengenai mitigasi emisi lahan gambut. Penelitian ini berlangsung hampir setahun. "Baru pada akhir Oktober pengukurannya selesai," katanya kepada Tempo, Rabu, 20 Januari 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Penelitian, kata Setiari, untuk mendukung komitmen Indonesia di National Determined Contribution atau NDC. Indonesia menaikkan komitmen pengurangan emisi gas rumah kaca (GRK) melalui usaha sendiri dari 26 persen menjadi 29 persen pada 2030.
"Salah satu tujuan penelitian ini adalah mengevaluasi pengaruh pengunaan dan kedalaman muka air tanah terhadap emisi gas CO2," ungkapnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Secara garis besar, penelitian ini menemukan adanya emisi CO2 dari berbagai penggunaan lahan. Selain itu hasilnya juga yakni adanya hubungan muka air tanah dan emisi CO2 , penurunan gambut, regenerasi lahan hutan bekas kebakaran, keragaman mikrobiologi di berbagai jenis pengunaan gambut. "Temuan terakhir yakni kajian dinamika hidrologi lahan gambut dan hubungan dengan tingkat kerentanan kebakaran," kata Setiari.
Penelitian ini dilakukan di Kesatuan Hidrologi Gambut Sungai Kapuas- Sungai Durian di Kabupaten Raya, Kalimantan Barat. Penelitian di lokasi ini terdapat 7 titik. Kemudian ada 6 titik di KHG Sungai Burnai- Sungai Sibumbung, Kabupaten OKI, Sumsel. "Hasilnya menemukan di Sumsel, CO2 flux meningkat seiring dengan meningkatnya kedalaman air tanah dan berfluktuasi sekitar 50-60 sentimeter, sedangkan di Kalbar C02 flux meningkat seiring dengan meningkatnya kedalaman muka air tanah," kata Setiari.
Hasil penelitian ini, kata Setiari, sejalan dengan hasil penelitian lain yang menunjukkan bahwa emisi CO2 menurun bila muka air tanah lebih dangkal (dekat ke permukaan). Namun, sifat spesifik dari tanah gambut bisa menyebabkan hubungan tersebut tidak linear.
Menurut Setiari, hasil lain dari penelitian ini adalah kebakaran lahan gambut memicu subsidence yang cepat. Setiap 1 sentimeter subsiden berasosiasi dengan kehilangan karbon sebanyak 10,58 ton CO2- e/hektar/tahun atau sekitar 2,9 ton C/ha/tahun.
Temuan berikutnya adalah soal restorasi gambut secara artifisial dapat meningkatkan serapan karbon, dibanding hanya dengan natural regeneration. "Hasil terakhir yakni kelengasan air tanah mengalami laju penurunan 0,10 meter kubik/meter kubik, bila tidak ada hujan selama 1 bulan," kata Setiari.
Pilihan Editor: Profesor Oxford Sebut Gurita Bisa Gantikan Manusia Kuasai Bumi, Dibanding Hewan Lain