Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Yogyakarta - Pihak Rektorat Institut Sains dan Teknologi Akprind Yogyakarta menyatakan ikut tertekan atas tindakan Dwi Hartanto. Sosok Dwi Hartanto dalam sepekan ini disorot karena kebohongannya sebagai calon profesor bidang aeronautika terbongkar. Dwi pun sempat menyatakan pernah diminta banyak pihak untuk mengembangkan pesawat jet tempur generasi keenam hingga dijuluki 'the next Habibie'.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Lantas apa sikap kampus Apkrind terhadap Dwi? Apakah ijazahnya akan dicabut sebagai sanksi telah melanggar etika akademisi dengan melakukan pembohongan publik? Rektor Akprind Yogyakarta, Amir Hamzah, menyatakan, secara akademik Dwi Hartanto bukan lagi tanggung jawab kampus. Sekadar informasi, Dwi lulus dari Akprind Yogyakarta pada 2005 dari jurusan Teknik Informatika. Menurut Amir, Dwi merupakan lulusan terbaik dengan Indeks Prestasi Kumulatif 3,88.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Meski kami ikut terimbas, tapi Akprind tidak akan melakukan langkah apapun," ujar Amir, di Kampus Akprind, Selasa, 10 Oktober 2017. Amir mengatakan, sejak kasus pembohongan publik oleh Dwi terungkap, pihaknya mendengar ada informasi agar kampus segera mencabut ijazah Dwi. Namun desakan itu dianggap salah alamat.
Dia menjelaskan, kampus tidak bisa serta merta memberikan sanksi seperti pencabutan ijazah mengingat tindakan tersebut dilakukan setelah yang bersangkutan lulus. "Pembohongan itu tak terkait dengan gelar akademik selama berada di Akprind," ujarnya. Kecuali, misalnya, diketahui skripsi Dwi Hartanto ternyata plagiat, kampus bisa mencabut ijazahnya. Skripsinya berjudul "Membangun Robot Cerdas Pemadam Api Berbasis Algoritma Kecerdasan ANN (Artificial Neural Network)" dan mendapatkan nilai A.
Dwi Hartanto (Facebook/Dwi Hartanto)
Amir menuturkan, kasus pembohongan publik yang dilakukan seyogyanya tak bisa digeneralisir menjadi tanggung jawab Akprind. Sebab pembohongan itu soal mental pribadi Dwi. Hanya, dia dan staf pendidik di Akprind khawatir kasus Dwi ini akan berimbas pada Akprind. "Takutnya masyarakat melabeli kami jadi sarang intelektual pembohong," ujarnya.
Menurut Amir, dari terkuaknya pembohongan publik oleh Dwi ini menjadi bahwan evaluasi bagi kampus agar tidak ada mahasiswa yang melakukan hal serupa. "Kami mungkin akan menemui pak Habibie untuk minta maaf selaku kampus karena alumni kami secara tak langsung numpang tenar namanya untuk kebohongan," ujarnya.
Dwi Hartanto, kelahiran Madiun, 13 Maret 1982, masuk Akrpind tahun 2001 diwisuda tepat waktu, yakni tanggal 26 November 2005. Nama Dwi Hartanto naik daun dalam dua tahun terakhir setelah diberitakan berbagai media elektronik maupun televisi setelah mengaku diminta banyak pihak untuk mengembangkan pesawat jet tempur generasi keenam. Sosok Dwi Hartanto ditulis secara manis oleh berbagai media nasional sebagai doktor muda (28 tahun) calon profesor bidang roket dalam tiga tahun terakhir.
Adalah Deden Rukmana, profesor dan pakar urban studies di Savannah State University, Amerika Serikat, yang pertama kali mengungkap kebohongan Dwi Hartanto kepada publik dalam status Facebook miliknya. Menurut Deden, puncak kemarahan rekan-rekan ilmuwan Indonesia di Belanda timbul saat tersebar pesan di grup WhatsApp Ikatan Ilmuwan Indonesia Internasional (I-4). Deden termasuk anggota grup tersebut. Beberapa orang, menurut Deden, mengambil inisiatif membentuk tim untuk membongkar kebohongan Dwi.
Profil Dwi Hartanto di Technische Universiteit (TU) Delft Belanda. (www.tudelft.nl)
Baca: Ini 5 Dosa Dwi Hartanto
"Rasa kebanggaan dan kekaguman saya terhadap Dwi Hartanto 'terganggu' ketika saya menerima rangkaian pesan dari WA group Pengurus I-4 yang membahas tentang yang bersangkutan. Pada tanggal 10 September 2017 lalu, salah seorang anggota pengurus I-4 secara terpisah mengirimkan dua dokumen lengkap berisikan investigasi terhadap beragam klaim yang dibuat oleh Dwi Hartanto," tulis Deden dalam akun Facebook-nya.
Dalam statusnya, Deden menyebutkan dokumen pertama terdiri 33 halamam berisi beragam foto-foto aktivitas Dwi Hartanto termasuk dari halaman Facebook-nya dan link berbagai website tentangnya. Salah satunya termasuk transkrip wawancara di program Mata Najwa pada Oktober 2016, serta surat-menyurat elektronik dengan beberapa pihak untuk mengklarifikasi aktivitas yang diklaim Dwi Hartanto.
Dokumen kedua, tulis Deden, sebanyak delapan halaman berisikan ringkasan investigasi terhadap klaim yang dibuat oleh Dwi Hartanto termasuk latar belakang S1 (Strata-1), umur, roket militer, PhD in Aerospace, Professorship in Aerospace, Technical Director di bidang rocket technology and aerospace engineering, interview dengan media international, dan kompetisi riset.
Dalam dokumen sepanjang lima halaman yang dimuat di situs ppidelft.net (Persatuan Pelajar Indonesia di Delft), Dwi mengaku berbohong atas semua informasi terkait dirinya yang diberitakan media nasional dan media sosial dalam tiga tahun belakangan ini. Surat klarifikasi bermaterai 6.000 tersebut tertanggal 7 Oktober 2017.
Dwi Hartanto, ilmuwan Indonesia yang mengaku sebagai asisten profesor bidang roket dan pesawat terbang. (Facebook/Dwi Hartanto)
Dalam dokumen klarifikasinya, Dwi menyatakan bukan lulusan Tokyo Institute of Technology di Jepang. Melainkan lulusan strata-1 dari Institut Sains dan Teknologi AKPRIND Yogyakarta, Fakultas Teknologi Industri, Program Teknik Informatika, yang lulus pada 15 November 2005.
Setelah dari AKPRIND, Dwi mengambil program master di TU Delft, Faculty of Electrical Engineering, Mathematics, and Computer Science, dengan tesis "Reliable Ground Segment Data Handling System for Delfi-n3Xt Satellite Mission".
Saat ini, Dwi masih menjalani program doktoral di grup riset Interactive Intelligence, Departement of Intelligent Systems di fakultas yang sama di Delft di bawah bimbingan Prof. M.A. Neerincx dengan judul disertasi "Computer-based Social Anxiety' Regulation in Virtual Reality Exposure Therapy". "Informasi mengenai posisi saya sebagai post-doctoral apalagi assistant professor di TU Delft adalah tidak benar," tulis dia.
Di surat klarifikasi itu, Dwi berjanji tak akan mengulangi kesalahannya tersebut dan tetap berkarya di bidang kompetensinya yang sebenarnya, yakni sistem komputasi. Dia berjanji akan menolak pemberitaan maupun undangan berbicara di luar kompetensinya. "Perbuatan tidak terpuji/kekhilafan saya, seperti yang tertulis di dokumen ini adalah murni perbuatan saya secara individu yang tidak menggambarkan perilaku pelajar maupun alumni Indonesia di TU Delft secara umum," tulis Dwi.
Simak artikel Dwi Hartanto lainnya hanya di kanal Tekno Tempo.co.
PRIBADI WICAKSONO