Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teknologi & Inovasi

Ebu Gogo dari Liang Bua

Arkeolog Indonesia menemukan spesies baru manusia di situs Liang Bua, Pulau Flores. Tapi misteri baru malah bermunculan.

8 November 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Siang 7 September lalu itu berlalu seperti hari-hari biasa bagi Wahyu Jatmiko. Matahari menyengat, angin terasa kering. Sambil sesekali menyeka keringat di dahi, Wahyu meneruskan penggaliannya di situs Liang Bua, Kabupaten Manggarai, Flores, Nusa Tenggara Timur.

Tiba-tiba, sudip (sendok semen pipih) di tangan arkeolog dari Pusat Penelitian Arkeologi Nasional itu menyentuh benda keras. Wahyu mengamati sejenak. Sebongkah tulang seperti menyembul dari tanah berdebu. "Awalnya saya belum yakin itu kerangka manusia. Setelah menggali lagi, ternyata memang kerangka manusia. Tapi kok ukurannya kecil," kata Wahyu.

Tak terpikir di benak Wahyu bahwa kerangka manusia kecil itu ternyata sebuah penemuan besar yang menghebohkan dunia. Tengkorak yang kemudian diberi nama Liang Bua 1 atau LB1 ini diidentifikasi sebagai spesies baru pada genus Homo: Homo floresiensis atau manusia dari Flores.

Inilah "homo" yang berbeda dibanding temuan-temuan arkeologi sebelumnya. Sosok manusia Flores itu kecil, mirip hobbit, tokoh rekaan karya J.R.R. Tolkien, dalam buku legendarisnya, The Lord of The Rings. Tubuhnya kira-kira setinggi anak-anak 5 tahun. Jika berdiri tegak, kerangka berjenis kelamin perempuan itu diperkirakan setinggi 1 meter dengan berat 25 kilogram. Saat meninggal sekitar 18 ribu tahun lalu, usianya ditaksir sekitar 25 tahun.

Keunikan "hobbit" ini segera membuat tim peneliti Liang Bua yang dipimpin Prof. Dr. Raden Panji Soejono dan beranggotakan Thomas Sutikno, Jatmiko, Wahyu Saptomo, Sri Warsisto, dan Rokhus Due Awe menjadi perbincangan para paleoantropolog sejagat. Maklum saja, kerangka yang mereka temukan boleh dibilang merupakan penemuan spektakuler paleoantropologi dalam setengah abad terakhir.

Kerangka yang terbenam di kedalaman 5,90 meter di sektor 7 dari 10 sektor gali yang ada di Liang Bua memiliki semua syarat untuk disebut manusia, yaitu berjalan tegak dengan dua kaki (bipedal). Dibanding manusia modern yang volume otaknya sekitar 1.300-1.500 sentimeter kubik, otak manusia Flores ini kira-kira sebesar jeruk Bali atau 380 sentimeter kubik.

Ciri lain adalah tonjolan di dahi, lubang mata besar dan bulat, hidung datar?ciri khas tengkorak manusia purba. Penelitian lanjutan menunjukkan gigi dan geraham pada tengkorak kepala itu sudah dewasa, sedangkan susunan tulang juga proporsional. "Dari situlah kami yakin ini adalah kerangka manusia dewasa, tapi dalam ukuran kerdil," kata Wahyu.

Menurut Thomas Sutikno, anggota tim penggali, di lokasi yang sama juga ditemukan 3-4 kerangka lain. Juga, ada seperangkat perkakas batu yang biasa ditemukan di era stegodon, gajah purba seukuran kuda atau kerbau kontemporer. Lalu ada tulang-belulang binatang seperti tikus, hewan pengerat, kelelawar, komodo, ikan, serta tanda-tanda aktivitas memasak.

Penemuan ini, menurut Thomas, adalah terobosan baru bidang studi prasejarah. Pasalnya, sebelumnya tidak pernah ditemukan stegodon berada dalam satu situs hunian. "Belum pernah ada temuan manusia prasejarah beserta sisa-sisa aktivitas dan hunian mereka di rumah mereka. Ini pertama kali di dunia," katanya.

Apakah Homo floresiensis ini jawaban dari rangkaian evolusi manusia? Dari hipotesis sementara, diperkirakan manusia Flores ini adalah sempalan dari spesies lain, yaitu Homo erectus yang otaknya lebih besar, berukuran besar, setinggi manusia modern, dan menyebar dari Afrika ke Asia sekitar dua juta tahun yang silam.

Setelah berbagai temuan Homo erectus di Pulau Jawa, seperti manusia Trinil, Sangiran, dan Wajak di Tulungagung, yang berasal dari masa 40 ribu tahun lalu, informasi tentang keberadaan mereka seolah terputus. Missing link, begitu para ahli arkeologi menyebut. Apalagi kemudian tiba-tiba di Mungo (Australia) ditemukan Homo erectus dari masa yang jauh lebih muda, yakni sekitar 16 ribu tahun lalu.

Munculnya "hobbit" itu seolah menunjukkan bahwa manusia purba melakukan penjelajahan dari belahan bumi barat ke timur, dan sebagian terdampar di Pulau Flores. Tubuhnya yang kecil diperkirakan karena lingkungan tempat hidupnya yang terisolasi, keterbatasan makanan, dan kurangnya predator. Di wilayah Flores sendiri, ada legenda mengenai orang kerdil yang disebut Ebu Gogo atau "nenek pemakan segala". Dalam legenda ini, Ebu Gogo digambarkan setinggi satu meter dan menggunakan bahasa yang berbeda dengan penduduk setempat.

Situs Liang Bua atau goa dingin dalam bahasa Flores terletak sekitar 14 kilometer sebelah utara Roteng, ibu kota Kabupaten Manggarai, Nusa Tenggara Timur. Gua selebar 30 meter, tinggi maksimal 25 meter dan panjang ke dalam sekitar 40 meter sudah diteliti sejak 1950-an oleh Pastor Verhoeven, ahli bahasa Yunani dan Latin Kuno, yang menjadi misionaris di Flores. "Penggalian pertama kali dilakukan Juli 1965. Saat itu ditemukan tujuh kerangka manusia modern (Homo sapiens). Juga ditemukan periuk, beliung persegi, dan beberapa benda lain," kata Rokus Due Awe, yang ikut membantu sang pastor kala itu.

Setelah sempat vakum, R.P. Soejono mengambil alih penelitian pada 1978-1989 dengan membuka 10 kotak gali. Dalam periode itu ditemukan tiga kerangka lain yang jenisnya sama dengan penemuan pada 1950. "Dari penemuan-penemuan ini terlihat bahwa Liang Bua memiliki potensi keragaman," kata Thomas.

Hobbit sudah bangkit dari kuburannya. Tapi menurut Jatmiko, ini justru memancing banyak pertanyaan baru, misalnya bagaimana tubuh mereka bisa kerdil? Bagaimana mereka bisa sampai di Pulau Flores? Mengapa mereka bisa punah? "Masih banyak rahasia manusia kerdil dari Flores ini yang belum terjawab," katanya.

Raju Febrian

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus