Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kalaulah ada impian A.M. Hendropriyono yang belum terwujud, itu adalah cita-citanya memperluas kewenangan Badan Intelijen Negara (BIN). Dalam berbagai kesempatan, saat masih menjabat Kepala BIN, dia selalu mengeluhkan soal ini. Akhir September lalu, misalnya, tak lama setelah peristiwa bom di depan Kedutaan Besar Australia di Jakarta, ia bertemu Komisi Pertahanan DPR dalam rapat kerja. Di sini dia sekali lagi meminta agar lembaganya boleh menangkap orang yang dicurigai sebagai teroris. "Agar teror bom bisa dicegah," katanya.
Hendro tentu saja punya alasan. Menurut dia, intelijen perlu menangkap mereka yang dicurigai sebagai teroris justru untuk mencegah aksi teror. "Pengertian menangkap bukan untuk dihukum, tapi untuk dipakai menyusup," katanya. Hendro berandai-andi, orang yang dicurigai dan ditangkap bisa dimanfaatkan sebagai mata-mata. Ia yakin, kelak, mata-mata ini berguna untuk mengungkap sarang dan rencana aksi-aksi teror.
Dalam kesempatan yang lain, Hendro mengatakan, tugas intelijen bersifat preventif. Tugas itu berbeda dengan polisi yang, menurut dia, mengusut peristiwa setelah ada kejadian. Ia lalu mencontohkan seekor tikus rumah yang mencuri nasi di meja makan. "Maka, intelijen bekerja mencari sarang tikus dan menangkapnya," kata Hendro.
Ini adalah permintaan BIN yang kesekian kalinya. Akhir Februari 2003, Wakil Kepala BIN As'ad Said menyampaikan permintaan serupa saat bertemu panitia khusus RUU Antiterorisme DPR. Menurut As'ad, RUU Antiterorisme tidak memberikan wewenang luas bagi BIN untuk mencegah aksi teror. Ia lalu menyebut tiga alasan mengapa BIN mestinya boleh menangkap orang yang dicurigai. Pertama, memastikan yang ditangkap adalah teroris atau bukan. Kedua, jika yang ditangkap adalah teroris, ia bisa digunakan menggali jaringan dan rencana-rencananya. "Dan, ketiga, bisa digunakan untuk penumpasan terorisme yang lebih luas," kata As'ad.
Kewenangan penangkapan dan penahanan itulah yang kini menjadi salah satu poin penting Rancangan Undang-Undang Pokok Intelijen Negara. Naskah RUU Intelijen ini sudah digodok sejak tahun 2002 oleh tim BIN yang berjumlah sembilan orang. Mereka berasal dari berbagai kalangan, seperti tentara, polisi, ahli hukum, dan masyarakat sipil.
Menurut Wawan Purwanto, pengajar Institut Intelijen Negara yang terlibat dalam tim tersebut, sejak Undang-Undang Antisubversif dicabut, kewenangan badan intelijen praktis terpangkas. Dulu, kata dia, saat Undang-Undang Antisubversif masih berlaku, dengan mudah bisa menangkap siapa pun yang dicurigai terlibat aksi terror. Tapi kini, "Intelijen seperti anjing herder yang diikat kakinya."
Seperti yang dikatakan Hendropriyono, ia menekankan kewenangan intelijen menangkap orang bukanlah untuk memenjarakan. "Tapi untuk brainwashing (cuci otak)," katanya kepada Tempo, Selasa lalu. Tujuannya, jika yang ditangkap itu benar teroris, ketika dilepas kembali bisa diperoleh informasi baru, termasuk adanya rencana teror. "Kalau tidak menempel pada teroris itu, langkah preventif tidak bisa dilakukan," katanya. Ia lalu membandingkan dengan Malaysia, yang memiliki Internal Security Act (ISA). "Dalam ISA, orang bisa ditangkap sampai dua tahun tanpa proses pengadilan," katanya.
Permintaan kewenangan penahanan oleh BIN dengan berbagai pro-kontranya sebenarnya sudah pernah dibawa untuk dibahas di Komisi I DPR pada September 2003. Namun, ketika naskah itu dibahas dalam rapat tertutup di Komisi Pertahanan DPR, kor penolakan segera berkumandang. Alhasil, pembahasan pun mentok. Alasan utama penolakan, RUU Intelijen sangat potensial menimbulkan pelanggaran hak asasi manusia. "Juga masih ada trauma pada aparat yang represif di masa lalu," kata Wawan.
Kini, draf RUU Intelijen sudah rampung setelah mengalami tiga kali revisi. Menurut Wawan, draf RUU itu sudah berada di Direktorat Jenderal Hukum dan Perundang-undangan. Namun, kepada Tempo, Direktur Jenderal Hukum dan Perundang-undangan Abdul Gani Abdullah mengaku belum menerima naskah itu. "Belum ada di kami," katanya Senin lalu.
Jadi? Inilah yang dipersoalkan kalangan lembaga swadaya masyarakat. Menurut Direktur Eksekutif Imparsial, Rachland Nashidik, Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia semestinya tahu keberadaan RUU tersebut. "Status RUU itu sebenarnya di mana?" ujar Rachland. Soal ini penting, kata Rachland, karena isi RUU sangat sensitif. Publik, kata dia, berhak mengetahui keberadaan RUU itu sehingga bisa mengakses dengan mudah.
Di luar soal keberadaannya yang tidak jelas, Rachland menyoroti kewenangan penangkapan dan penahanan yang diminta BIN. Ia dengan tegas menolak permintaan penambahan kewenangan tersebut. "Kenapa tidak memperkuat institusi kepolisian saja?" katanya.
Menurut dia, BIN semestinya tidak bisa turut campur memasuki wilayah yudisial yang menjadi kewenangan polisi dalam penangkapan. BIN, katanya lagi, hanya boleh melakukan pengumpulan data dan menganalisisnya. Data-data itu pun harus diserahkan ke presiden atau kepolisian untuk dikembangkan. "Tambahan kewenangan yang diminta BIN itu mengabaikan ketentuan hukum pidana," katanya.
Penolakan juga datang dari Ketua Dewan Pengurus Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Munar-man. Menurut dia, jika RUU itu lolos, jangan-jangan BIN malah menjadi polisi rahasia seperti di negara-negara totaliter. "Wewenang penangkapan hanya dimiliki badan yudisial, yakni kepolisian," katan ya.
Sukma N. Loppies
Pasal-Pasal Rawan
Inilah pasal-pasal rawan yang dipersoalkan tiga LSM (Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, Lembaga Studi Advokasi Masyarakat, dan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan).
Pasal 1 ayat (5)
Penangkapan adalah tindakan petugas intelijen saat melakukan penyelidikan dalam mencari informasi sebelum peristiwa terjadi, berupa pengekangan sementara waktu kebebasan setiap orang yang diduga kuat akan melakukan kegiatan yang mengarah pada terjadinya ancaman nasional, dalam rangka pemeriksaan.
Pasal 20 ayat (1) dan (2)
- Pada saat melakukan penyelidikan dalam mencari dan atau mengumpulkan informasi, intelijen berwenang menangkap/memeriksa seseorang yang diduga kuat akan melakukan kegiatan yang mengarah pada ancaman nasional.
- Penangkapan sebagaimana ayat 1, untuk menghindari lepas atau larinya orang yang dicurigai, di samping untuk menggali keterangan serta hal-hal yang berkaitan dengan dugaan terjadinya ancaman tersebut.
Pasal 21 ayat (1), (2), dan (3)
- Penangkapan sebagaimana dimaksud dalam pasal 20, berlangsung selama 30 hari.
- Bila dari hasil pemeriksaan ditemukan petunjuk kuat terjadinya ancaman terhadap kepentingan nasional, yang bersangkutan diserahkan ke kepolisian.
- Apabila dari hasil pemeriksaan tidak ditemukan petunjuk tentang terjadinya ancaman, yang bersangkutan harus dilepaskan.
Tiga LSM: Wewenang penangkapan hanya milik badan-badan yudisial
Wawan Purwanto (anggota tim perumus RUU Intelijen): Kewenangan menangkap itu berbeda dengan kewenangan yang ada pada polisi. Polisi menangkap sesudah ada bukti, sesudah ada kejadian, dan bersifat represif. Sebaliknya, intelijen menangkap untuk mencegah suatu kejadian, bersifat preventif.
Pasal 18 huruf a dan b
Dalam mendukung keberhasilan tugas, Badan Intelijen Negara berhak:
- memperoleh alokasi anggaran melalui anggaran pendapatan dan belanja negara serta anggaran melalui upaya sendiri.
- memperoleh alokasi anggaran khusus dari presiden.
Pasal 23
- Kepala Badan Intelijen Negara berwenang melakukan pengadaan senjata api untuk kepentingan dinas, langsung kepada produsen atau melalui agen di dalam maupun di luar negeri.
- Penggunaan senjata api sebagaimana ayat 1 pasal ini diatur dengan keputusan Kepala Badan Intelijen Negara.
LSM: Pasal-pasal ini membuka peluang praktek bisnis senjata api.
Wawan Purwanto: Karena kedudukan BIN setingkat menteri, digunakanlah APBN.
Pasal 24 ayat 1 dan 2
- Kepala Badan Intelijen Negara berwenang melakukan pencegahan dan atau penangkalan.
- Pelaksanaan dari ketentuan sebagaimana ayat 1 dilaksanakan Direktorat Jenderal Imigrasi.
LSM: Yang berhak melakukan pencegahan dan penangkalan adalah Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia berdasar informasi dari intelijen.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo