Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Bandung - Informasi cepat terkait gempa dan peringatan tsunami Banten-Lampung keluaran Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) menuai masalah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sebagian orang menuding informasinya ngawur dan lembaga itu bekerja asal-asalan. Kepala Bidang Mitigasi Gempabumi dan Tsunami BMKG Daryono menjelaskan perkaranya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Begitu terasa guncangan gempa, BMKG meluncurkan informasi cepat soal lokasi dan kekuatan gempa. Pada kondisi tertentu, kabar gempa itu disertai peringatan dini tsunami.
Lewat media sosial, misalnya, pada gempa Jumat malam, 2 Agustus 2019 yang menggemparkan sebagian warga Lampung, Banten, Jakarta, dan Jawa Barat hingga ke timur.
#Gempa Mag:7.4, 02-Aug-19 19:03:21 WIB, Lok:7.54 LS,104.58 BT (147 km BaratDaya SUMUR-BANTEN), Kedalaman:10 Km, Potensi tsunami utk dtrskn pd msyrkt #BMKG.
Menurut Daryono, informasi cepat seperti itu tuntutan standar kerja. Dalam kurun waktu lima menit informasi gempa harus sudah meluncur ke publik, terutama kaitannya dengan potensi tsunami atau tidak. “Kalau ada tsunami, masyarakat punya waktu untuk menyelamatkan diri dari pantai,” ujarnya.
Dalam kurun waktu lima menit itu, kata Daryono, data yang masuk diolah untuk segera dipublikasi. Namun kondisinya, data dari sensor gempa yang masuk belum banyak. “Sekitar 9-15 sensor, minimalnya dari 40-50 sensor dari total 720 sensor gempa BMKG se-Indonesia,” kata dia.
Dari data awal yang dimasukkan petugas ke sistem pengolahan data kemudian muncul pemodelan, termasuk peringatan dini tsunami. Informasi awal ini kemudian ditindaklanjuti dengan prosedur berikutnya, yaitu pemutakhiran data gempa.
Pada kasus gempa Banten misalnya, hasil informasi awal dan pemutakhiran jadi berbeda. Kekuatan gempanya menjadi 6,9. “Pada menit ke-9 setelah gempa kami sudah dapat angka pemutakhiran itu dari sensor gempa yang lebih banyak,” kata Daryono.
Proses pengolahan data hingga muncul perbedaan angka skala kekuatan magnitude gempa itu tidak banyak diketahui dan dipahami publik. “BMKG di-bully, dikira kerjanya asal-asalan dan ngawur,” ujarnya.
Selain itu ada yang membandingkannya dengan informasi gempa keluaran lembaga pemantau gempa di dunia seperti USGS Amerika Serikat dan GFZ dari German Research Centre for Geosciences.
Kedua lembaga itu ikut menginformasikan gempa Banten, dan hasilnya mirip dengan pemutakhiran data BMKG. Perbedaannya, kata Daryono, dari segi waktu pengelolaan datanya. “USGS dan GFZ dalam waktu lima menit belum bisa keluarkan hasil,” katanya. Mereka pun, ujar Daryono, tidak punya kewajiban untuk mengeluarkan peringatan dini tsunami.
ANWAR SISWADI