Sufisme Orang Modern JAULUDDIN RAKHMAT PADA malam 23 Ramadan, ratusan mahasiswa berkumpul di sebuah masjid di Bandung. Mereka membaca Quran dan melakukan salat 100 rakaat. Pada pukul dua dinihari, mereka membaca Jawsyan alKabir, sebuah doa panjang yang berisikan 1.000 nama Allah. Setelah itu, kiai membacakan terjemahan doa Imam Ali Zain al-Abidin, mursyid keenam dalam silsilah Tarekat Qadiriyah Naqsabandiyyah dan juga imam Ahli Bayt yang keempat. Doa itu amat sukar diaminkan, karena lebih merupakan dialog antara seorang hamba yang sarat dosa dan Allah Yang Mahasuci. "Siapa gerangan yang keadaannya lebih jelek dari diriku. Jika dalam keadaanku seperti ini aku dipindahkan ke kuburku, aku belum menyiapkan pembaringanku. Belum kuhamparkan amal saleh untuk tikarku. Bagaimana aku tidak akan menangis padahal aku tak tahu akhir perjalananku. Kulihat nafsuku menipuku dan hari-hari melengahkanku. Padahal, maut telah mengepakkan sayapnya di atas kepalaku," demikian sebagian dari doa itu. Isakan tangis mulai terdengar, makin lama makin keras. Sebelum doa itu berakhir, masjid gemuruh dengan jeritan yang menyayat hati. Ketika fajar menyingsing, para mahasiswa itu merasakan pencerahan rohani. Mereka puas. Mereka pulang seperti makhluk yang baru dilahirkan kembali. Eine Wiedergeburt. Mereka adalah anak-anak masyarakat industri. Mereka tinggal di kota besar. Apa yang menarik mereka untuk menghabiskan seluruh malam dalam doa? Apa yang sedang mereka cari? Pertanyaan-pertanyaan itu sebetulnya tak berkenaan dengan mereka saja, tetapi juga dengan para penyair yang mulai "bersufi-sufian", dengan para cendekiawan yang mendalami pengalaman esoteris, dengan para pejabat dan pengusaha yang memasuki aliran-aliran tarekat (atau aliran kepercayaan), juga dengan orang-orang kecil yang berkumpul di sekitar tokoh mistik mereka. Salah satu jawaban adalah dampak modernisasi. Masyarakat modern adalah masyarakat yang rasional, didasarkan pada sains dan teknologi yang logis-empiris. Pengalaman spiritual telah disingkirkan oleh wacana-wacana intelektual dan transaksi-transaksi rasional. Masyarakat modern telah mencabut roh dari kehidupan, tapi ia tak bisa meninggalkannya. Karena itu, setelah kepuasan material terpenuhi, mereka mencari kenikmatan rohani. Ini terjadi di seluruh dunia. Sekte-sekte mistik tumbuh subur di negara-negara industri, di kalangan ilmuwan dan pada masyarakat yang affluent. Ketika globalisasi menyentuh Indonesia, umat Islam di sini mulai merasakan kekecewaan pada Islam yang berorientasi pada fikih lebih-lebih fikih kaum modernis yang menekankan aspek eksoteris. Islam kaum modernis hanya memuaskan orang secara kognitif Islam yang mengernyitkan kening. Orang sekarang mencari Islam yang menyentuh secara efektif Islam yang meneteskan air mata. Islam itu adalah Islam tasawuf. Jawaban ini mungkin tepat buat para ilmuwan, pengusaha, pejabat, dan sebagian mahasiswa tetapi tidak memberikan penjelasan apa-apa bagi orang-orang kecil. Mereka belum memenuhi bahkan kebutuhan pokok yang minim. Mereka tak pernah terlibat dalam wacana intelektual, apalagi transaksi bisnis yang canggih. Bagi mereka, modernisasi tampak sebagai tank-tank baja yang menggilas sawah, ladang, rumah, dan bahkan jatidiri mereka. Mereka adalah orang kebingungan, yang terempas tanpa daya. Dalam situasi tak berdaya, mereka akan putus asa bila harus mengikuti prosedur yang logis dan rasional. Apa yang dapat mereka lakukan menghadapi mesin raksasa birokrasi atau dasamukanya pemilik modal? Hanya ada dua alternatif: Bermimpi (misalnya, dengan membeli SDSB atau memenuhi petunjuk-petunjuk gaib dari mana pun sumbernya) atau mencari sandaran spiritual. Yang terakhirlah yang membawa mereka pada agama yang mistikal. Bila perut tak pernah kenyang, mengapa tak memilih saja kenikmatan dalam berzikir dan berdoa. Dan wirid pun bergema di masjid-masjid kecil di daerah-daerah kumuh, di kampung dan kota.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini