SETELAH api kebakaran padam di reaktor nuklir Chernobyl, 2 Mei lalu, Uni Soviet mengumumkan, dua korban yang meninggal bukan akibat radiasi. Seorang di antaranya, tulis kantor berita Soviet Tass, mati akibat tertimpa balok besi. Seorang lagi, karena tak sempat menghindari kebakaran. Seolah, kecelakaan di salah satu pusat tenaga nuklir Soviet itu tidak terlalu serius - padahal kebakaran, berdasar pengamatan satelit mata-mata Amerika, berlangsung hampir satu minggu. Radius kontaminasi kebakaran reaktor yang terletak sekitar 100 kilometer di utara Kiev, ibu kota Ukraina itu, kata Tass, juga cuma 30 kilometer - terhitung sejak kebakaran terjadi 26 April. Radiasi, katanya, segera bisa dinetralkan dengan jalan menjatuhkan karung-karung pasir dari helikopter. Seperti tak ada bahaya radiasi dan korban akibat kontaminasi radioaktif di situ. Mempropagandakan keadaan tak berbahaya itu, pekan lalu, Soviet menyelenggarakan turnamen balap sepeda di Kiev. Beberapa negara Barat otomatis menolak undangan itu, tapi negara-negara Eropa Timur hampir semua ambil bagian - dan turnamen, katanya, meriah. Padahal, diam-diam Soviet mengundang Dr. Robert Gale, ahli transplantasi tulang belakang - pusat saraf - dari Universitas California. Transplantasi tulang belakang adalah salah satu metode baru dalam ilmu kedokteran yang dipercaya sebagai satu-satunya cara mengatasi akibat-akibat radiasi. Kedatangan Gale, menurut kantor berita Reuter, adalah atas usaha pengusaha Amerika terkemuka Armand Hammer, yang sudah lama punya hubungan dagang dengan Soviet. Gale, yang dalam waktu 15 tahun telah berhasil melakukan transplantasi tulang belakang pada 9.000 pasien, tiba di Moskow, akhir minggu lalu. Ia, menurut para wartawan yang menyaksikannya, disambut sejumlah pejabat penting dan segera dilarikan dengan mobil tanpa sempat bertemu dengan para wartawan. Ini menurut beberapa spekulasi, menunjukkan bahwa ada hal yang dirahasiakan pada kebakaran Chernobyl. Juga semacam pengakuan bahwa korban radiasi, tak bisa disangkal, ada. Sudah diketahui dengan pasti bahwa reaktor nuklir Soviet yang terbakar itu terletak di sebuah pusat tenaga nuklir yang, antara lain, berfungsi sebagai pusat pembangkit tenaga listrik - berkekuatan 1.000 megawatt. Reaktor daya ini dikenal mempunyai sistem yang disebut LGR (Lightwater Graphit moderator Reactor) - menggunakan pendingin grafit. Tapi pangkal kebakaran hingga kini masih misterius. Menurut Boris Yeltsin, seorang tokoh Partai Komunis Uni Soviet yang kebetulan sedang mengikuti pertemuan Partai Komunis Jerman di Hamburg, kebakaran terjadi akibat kesalahan operatornya. Pernyataan Yeltsin, menurut penilaian para ahli, masuk akal. Kesalahan operator juga terjadi pada kebocoran reaktor nuklir Amerika Serikat, Three Mile Island pada 1979. Operator reaktor, entah bagaimana, telah mematikan alat pendingin reaktor. Suhu kemudian naik dan melelehkan tabung reaktor dan zat radioaktif yang terjadi akibat reaksi berantai, dan juga bahan bakar yang sangat radioaktif, lepas keluar dari tabung. Namun, ada perbedaan besar antara kebocoran Three Mile Island dan Chernobyl. Pada TMI, zat-zat radioaktif tak sampai lepas ke udara dan mencemari lingkungan sekeliling, karena TMI memiliki sumur pelindung - pengamanan paling luar - yang terbuat dari pelat baja dan beton yang diperkuat setebal 2 meter. Maka, tak ada korban yang jatuh. Chernobyl, malangnya, tak memiliki beton pelindung - yang memang tak ada pada sistem LGR. Karena itu, kebakaran dengan cepat merambat ke semua bagian lain bangunan pusat tenaga nuklir itu. Menurut laporan terakhir, kadar radioaktif di berbagai negara tetangga Soviet memang tercatat sudah menurun. Namun, dampaknya pada perekonomian tetap besar. Perdagangan sayur-mayur dan susu - yang dalam beberapa waktu diketahui terkontaminasi - kacau balau. Kepanikan masyarakat juga tak segera mereda. Kecelakaan di Chernobyl membuat orang kembali bertanya: seberapa besar manfaat reaktor nuklir, dan seberapa besar pula ancamannya. Ketika kesimpulan belum tercapai, perkembangan pembangunan reaktor pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) terus melaju. Kini, terdapat sekitar 400 PLTN, yang tersebar di 26 negara di dunia. Jumlah terbesar diduga berada di Soviet dan Amerika Serikat. Yang cukup mencemaskan, tidak semua PLTN itu didaftarkan pada IAEA (Perhimpunan Tenaga Atom Internasional, yang merupakan organ PBB). Satu di antara yang tidak didaftarkan itu ialah reaktor-reaktor di Chernobyl itu - yang seluruhnya berjumlah 4 buah. Maka, IAEA, yang dibangun untuk mengawasi semua penggunaan tenaga nuklir buat maksud damai, tak bisa melakukan kontrol. Selain tak bisa memperhitungkan sistem keamanan reaktor-reaktor itu, juga tak bisa memastikan apakah reaktor-reaktor itu sungguh-sungguh digunakan untuk maksud damai. Salah satu perdebatan yang santer dalam hal PLTN adalah pembuangan sisa-sisa pembakaran nuklir. Biasanya, sampah nuklir ini dibuang dengan jalan ditanamkan di tanah. Namun, sejumlah ahli lingkunan menilai pengamanan itu sama sekali tak memperhitungkan faktor stabilitas tanah. Misalnya, suatu kali terjadi gempa, zat-zat radioaktif itu akan lepas juga ke permukaan. Hal ini sangat berbahaya, khususnya bagi Jepang, yang sering dilanda gempa. Di negara ini 25% tenaga listriknya berasal dari PLTN. Bahaya zat-zat radioaktif memang tidak berakhir dengan sekali tanam. Walau di dalam tanah, zat radioaktif tetap bekerja. Dalam ilmu kimia unsur-unsur radioaktif adalah zat yang tidak stabil, dan senantiasa berusaha menjadi stabil. Ikhtiar menjadi stabil itu dikenal sebagai "peluruhan" (emisi). Dalam peluruhan itu, unsur radioaktif melepaskan radiasi alpha, beta, gamma (atau neutron), juga energi dan panas. Uranium tambang (U238) zat radioaktif yang paling sederhana membutuhkan 4,49 x 10 tahun (sekitar 4,5 milyar tahun) untuk menjadi stabil. Selama masa itu walau ditanam di mana pun, unsur radioaktif itu tetap berbahaya - dan segera aktif bila lepas. Dari sisi kebutuhan energi, PLTN memang jawaban. Pada mulanya usaha efisiensi ini dikejar dengan memperbesar daya reaktornya. Secara teoretis, semakin besar reaktornya - yang berarti semakin besar investasinya - semakin efisien energi yang bisa didapat. Indonesia, misalnya, sebagai negara berkembang sebenarnya cukup membuat reaktor dengan kekuatan 600 megawatt untuk kebutuhan tenaga listrik. Namun, untuk mengejar efisiensi, Indonesia merencanakan membangun PLTN dengan kekuatan 1.000-1.300 megawatt pada 1998. Guna mengejar efisiensi, akhir-akhir ini ada usaha lain untuk memperbesar daya reaktor yaitu mengembangkan daya bahan bakarnya. Caranya: mengganti bahan bakar yang kini umum digunakan, yaitu Uranium 235 (U235), dengan plutonium - yang jauh lebih kuat. Ikhtiar ini segera mengundang kecemasan karena plutonium tak lain dari bahan senjata nuklir dengan kata lain bahan bom. Uni Soviet dan Amerika Serikat sudah lama - secara tak terkontrol - memproduksi plutonium. Tujuannya memang untuk membuat senjata. Soviet diduga keras membuat plutonium di Chernobyl. Menurut Dirjen Batan (Badan Tenaga Atom Nasional) Ir. Djali Ahimsa, sistem LGR yang dimiliki reaktor Chernobyl efektif untuk membuat plutonium. "Tipe grafit ini bagus untuk membuat plutonium," katanya, "apalagi di Siberia banyak tambang grafit." Plutonium, yang punya daya besar itu, bukan bahan yang total lain dari uranium. Ia merupakan proses lebih lanjut. Bila dilihat unsur radioaktif yang awal, yang didapat dari penambangan adalah U238, maka dalam pembuatan bahan bakar nuklir U238 ini disaring hingga didapat unsur yang murni dan sangat kaya neutron, yaitu U235. Hasil saringan kemudian sekali lagi diperkaya dengan sistem yang dikenal sebagai "difusi gas", yang memiliki rangkaian turbin raksasa. Untuk bahan bakar reaktor nuklir PLTN, uranium yang diperkaya cukup mengandung sekitar 3% U235. Namun, untuk bahan-bom, diperlukan uranium yang mengandung 90% U235. Cara pembuatan plutonium adalah sekali lagi memasukkan U238 ke reaktor yang punya bahan bakar U235. Pada reaktor itu, dilakukan reaksi fisi (pemecahan) inti atom U238. Maka, terjadi dua reaksi berantai. Satu reaksi berantai bahan bakar, dan satu lagi reaksi berantai neutron-neutron U238, yang kemudian mengubah unsur ini menjadi plutonium. Setelah melalui pemurnian kimiawi dalam pabrik pengolahan, plutonium pun siap menjadi bahan bom, atau bahan bakar PLTN. Di sinilah kecemasan bahaya penggunaan tenaga nuklir semakin bertambah. Kekhawatiran terjadinya kebocoran sudah sedikit teratasi dengan ditemukannya berbagai pengamanan - yang dibuat sampai lima lapis. Tapi, kini, penyalahgunaan plutonium bisakah diatasi pula? Di samping itu, bila terjadi kecelakaan di sebuah reaktor yang menggunakan, atau membuat, plutonium akibatnya bisa lebih dahsyat. Dan Chernobyl itu sebuah contoh. Jim Supangkat
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini