Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Membangun kota dengan mimpi

17 Mei 1986 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

AHLI sosiologi politik perkotaan mengatakan kota dibangun untuk melayani selera borjuis. Berbagai undang-undang perkotaan dan segala aturan pelaksanaannya mencerminkan norma gedongan. Juga gambaran (self image) kota menjadi sangat bias mengacu impian kaum gedongan. Bila mendengar ceramah, pidato, atau membaca dokumen perencanaan dan pembangunan kota, kita akan menemukan impian ini: Kota yang bebas dari pengemis dan gelandangan karena mereka dianggap mencemarkan martabat kota. Kota yang terbebas atau sesedikit mungkin pengangguran. (Di Jakarta, misalnya, diisyaratkan, semua pendatang memiliki pekerjaan, dan membayar uang jaminan. Bila ternyata tidak bekerja dan tidak memperoleh pekerjaan, sewaktu-waktu dapat dikirim kembali ke desa). Bahkan kota yang ideal, menurut impian borjuis kota, ialah kota yang tidak dihuni orang miskin. Karena itu, penyair kolong berpuisi: ibu kota lebih kejam dari ibu tiri. Impian lain dari sebuah kota idaman ialah terciptanya alam surgawi, Kota Firdaus. Tidak ada pelacuran, tidak ada pencurian, kehidupan umat beragama semarak, majelis taklim ada di mana-mana. Masjid, gereja, dan rumah ibadat lainnya berdiri di semua sudut kota. Kerukunan warga terhimpun dalam berbagai lembaga kemasyarakatan. Karena impian menciptakan kota firdaus ini, konduk pembangunan dan pemerintah kota lalu tampak penuh hiprokrisi. Tidak ada pelacuran, tapi ada izin untuk panti pijat tradisional. Tidak ada izin perjudian, tapi ada porkas dan perjudian terselubung. Impian itu juga melanda para arsitek dan perencana kota. Mereka menatap medan garapannya, seolah bisa menciptakan kota seperti Venesia dalam dongeng. Kota terencana secara serba teratur, semua mengikuti rencana detail tunduk pada pertimbangan arsitektur kota. Amenities kota semua berfungsi saksama dan dapat melayani kebutuhan penduduk secara ambeg paramarta. Lalu, isi kota-kota itu ialah warga kota yang hidup bahagia sejahtera penuh sukacita. Sumber kehidupan ekonomi kota, berupa kegiatan industri, perdagangan, transpor, perbankan, semua berjalan harmonis. Pencemaran mereka urus dan bersihkan sendiri. Bahkan kota juga menengok diri sendiri sebagai manifestasi sebuah kayangan pusat pemerintahan. Kota ialah tempat tinggal, tempat bekerja, serta berandrawina pengatur negara dan penegak kekuasaan dari berbagai tingkatan. Bukan hanya kekuasaan pemerintahan, tetapi kota juga pusat kekuatan bisnis, seni budaya, dan pariwisata. Kota ialah trend-setter - model mesin untuk menggerakkan dinamik pencapaian sasaran, merealisasikan gagasan, tempat berhimpun para kesatria. Tidak heran bila semua itu akhirnya memuncak, melahirkan ide mengejawantahkan semua impian tadi secara kasat mata: dibangunlah Dunia Fantasi. Kota-kota di Indonesia tolok ukur gegayuhannya (sasaran yang hendak dicapai) ialah sebanding dengan kota-kota di dunia. Fantasinya, kota-kota Indonesia ialah tempat dilakukan karya-karya teknologi yang sederajat dengan perkembangan tantangannya. Dunia Fantasi secara mini menawarkan gaya hidup di alam fantasi, tanpa duka dan nestapa. Sejenak kita diajak mimpi ketawa, sukacita, dan gembira sepanjang masa. Tanpa kerja, sarat dana, dan digambarkan semua orang bisa menikmatinya dengan lima ratus perak saja. Sesungguhnya penduduk terbanyak yang jelata itulah pendukung kehidupan kota. Borjuis yang menikmati hasil kerja dan jasa mereka. Gaya hidup dan kemampuan nyata kaum pekerja itulah napas kota. Jumlah penduduk kelas pekerja di kota, baik di sektor informal maupun sektor formal, amat besar. Upah dan pendapatan mereka yang rendah memungkinkan sektor formal tegak beroperasi, dengan pekerja yang cukup dibayar pada tingkat upah nyaris di bawah hidup pas-pasan. Kota tiada habis-habisnya juga menyedot sumber-sumber manusia, alam, dan akal - dari luar kawasannya untuk menjamin kelestarian survival dan pembengkakan lanjutnya. Kota, suka atau tidak suka, harus diakui rentan untuk berbagai bentuk kemaksiatan. Apa boleh buat. Karena penduduk kota beraneka ragam asal dan latar belakangnya, maka kehidupan kota pun menjadi aneka warna - berinteraksi membentuk nilai-nilai barunya. Ikatan primordial lama lepas. Bentukan baru bercorak longgar. Begitu pula benang merah kendali peri laku sosial warga kota berupa sanksi sosial meredup. Maka, mo limo menjadi penyakit kemasyarakatan yang secara faktual ditemukan di semua kota. Lingkungan yang padat hunian, sarat beban, dan nyaris tanpa sarana, itulah tempat tinggal kaum pekerja di kota. Kondisi inilah yang sepatutnya dirujuk sebagai kenyataan kota yang menyentak, sisi yang menuntut perhatian para perencana arsitek dan pengambil kebijaksanaan kota. Pada saat ini, nadi kekuasaan dan pemerintahan lemah sekali dirasakan mendetak di lapis masyarakat terbawah. Sarana kekuasaan, berupa undang-undang, peraturan, dan keputusan, nglangut, sedikit dampaknya pada peri kehidupan sehari-hari mereka. Bila pengaruh itu harus terasa, bila nasib lagi celaka, dampaknya ialah penerapan sisi peraturan yang justru berarti mala petaka penertiban, pembersihan, penggusuran, operasi kamtibmas, dan sebagainya. Jarang sekali ada peraturan dan kebijaksanaan kota yang bersahabat dan memihak kepada nasib jelata di kota. Maka, sebelum Dunia Fantasi membuat kita terpana, mari kita bangkit dari lelap kelenaan. Pembangunan kota harus beranjak pada realita. Terlalu mahal tebusannya bila sikap emoh menerima realita tantangan kota ini berlanjut, sampai keadaan menjadi kedaluwarsa.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus