Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
RODA-RODA truk tronton setiap hari menggilas jalan beton yang membentang antara Bojonegoro, Jawa Timur, dan Cepu, Jawa Tengah. Jalan nasional itu menjadi tumpuan kendaraan berat saat menembus jalur tengah yang menghubungkan Surabaya dan Semarang. Di rute sejauh 36 kilometer itu, ada satu ruas jalan sepanjang 1 kilometer yang dibangun dengan konstruksi fondasi berbeda.
Sekilas, badan jalan selebar 10 meter yang berdampingan dengan rel kereta api lintas utara Jakarta-Surabaya itu terlihat biasa saja. Konstruksi betonnya berlapis aspal. Namun di bawah pelat beton itu tersusun jaringan atau grid lempeng beton tipis berisi tanah padat. Fungsinya agar fondasi kian kokoh. Inilah konstruksi ruas jalan pertama di Indonesia yang memakai fondasi menyerupai jaring laba-laba atau disebut Jalla.
"Teknologi ini dirancang untuk membangun jalan di atas tanah yang kondisinya sangat ekstrem dan labil," kata Kris Suyanto, Presiden Direktur PT Katama Suryabumi, pemegang paten teknologi fondasi jaring laba-laba itu, Senin pekan lalu.
Kebanyakan tanah di kawasan pantai utara Jawa atau pantura tergolong ekstrem lantaran bersifat ekspansif. Tanah jenis ini bisa mengembang dengan cepat ketika dipenuhi air pada musim hujan. Ketika kemarau tiba, tanah akan mengering dan mengkerut, yang mengakibatkan terjadi keretakan. Kondisi seperti ini memperbesar risiko kerusakan jalan.
Kerusakan jalan semakin masif karena beban yang ditanggungnya tidak sesuai dengan desain awal jalan yang dibangun pada masa pendudukan Belanda. Desain awalnya hanya untuk menahan beban sekitar 10 ton. "Sekarang lebih dari 30 ton," ucap Kris.
Risiko kerusakan bertambah karena volume kendaraan yang melintas terus meningkat. Dalam enam tahun terakhir, jalur Bojonegoro-Cepu menjadi tumpuan rute transportasi kendaraan berat yang mengangkut kebutuhan industri. Rute yang biasa ditempuh dalam 40 menit sekarang bisa molor hingga lebih dari satu jam.
Kepala Dinas Pekerjaan Umum Bojonegoro Andi Tjandra mengatakan kondisi tanah di Bojonegoro dan sekitarnya cenderung labil. Karena itu, ia berpendapat konstruksi jalan dengan fondasi jaring laba-laba cocok dengan kontur tanah di daerah tersebut. Sistem konstruksi jalan ini memang lebih mahal dibanding model jalan dengan beton dan aspal biasa. "Tapi pemeliharaannya lebih irit," ujar Andi, Selasa pekan lalu.
Teknologi fondasi jaring laba-laba adalah pengembangan konstruksi serupa yang diciptakan Sucipto dan Ryantori pada 1970-an. Hanya, pada saat itu konstruksi ini lebih ditujukan untuk pembangunan gedung, bukan jalan raya. "Saya mengenal teknologi ini saat bekerja bersama dengan mereka," kata Kris.
Bangunan pertama yang dibuat menggunakan fondasi jaring laba-laba adalah gedung dua lantai milik Departemen Agama di Surabaya. "Dibangun pada 1978. Waktu itu kami langsung coba saja meski belum ada riset akademis tentang fondasi semacam ini," ujar Kris.
Fondasi jaring laba-laba berupa susunan grid lempeng tipis beton bertulang atau ribs yang dipasang tegak. Susunan lempeng itu menyatu pada kolom-kolom beton yang menjadi titik berat bangunan. Satu kolom disokong oleh delapan lempeng. Koneksi antar-ribs berbentuk segitiga. "Bentuk ini paling stabil," kata Kris.
Ruang kosong di antara lempeng beton diisi tanah yang dipadatkan dan ditutup dengan pelat beton. Bentuknya menyerupai boks terbalik yang sangat kaku. Susunan fondasi ini mampu menyebarkan daya tekan dari beban yang diterima struktur bangunan.
Struktur jaring laba-laba lebih sedikit memakai beton dibandingkan dengan fondasi konvensional, yang memerlukan sekitar 350 kilogram beton per meter kubik. Adapun fondasi jaring laba-laba hanya 150 kilogram beton per meter kubik, 85 persennya adalah tanah dan sisanya beton. "Komposisi dan bentuk struktur ini membuat sistem fondasinya efisien, kuat, dan tahan gempa," ucap Kris.
Sudah lebih dari 25 tahun pemasaran teknologi fondasi jaring laba-laba tapi ternyata tak semulus yang diharapkan. Padahal, menurut Kris, dulu mereka sempat menawarkan membangun fondasi itu secara gratis. "Ada yang mau coba saja kami sudah bersyukur," ujarnya.
Teknologi fondasi jaring laba-laba yang digunakan kini sudah jauh lebih maju ketimbang saat dikembangkan sekitar 16 tahun lalu. Dalam merancang fondasi ini, turut dilibatkan para akademikus ahli di bidang tanah dan struktur bangunan. Atas persetujuan para penemunya, Kris mengajukan hak paten untuk perbaikan konstruksi fondasi ini pada 2004.
Gempa besar 12 tahun lalu yang menghantam Aceh dan Sumatera Utara pada 2009 menjadi ujian nyata kekuatan fondasi jaring laba-laba. Beberapa bangunan di Aceh dan Padang yang menggunakan fondasi ini bertahan dari gempa. Sembilan gedung Universitas Negeri Padang tetap utuh, sedangkan bangunan di sekitarnya rusak parah.
"Teknologi ini lantas ramai dibicarakan dan banyak pihak yang mengajak riset bersama," kata Kris, yang juga memperkenalkan teknologi ini saat bertemu dengan Presiden Joko Widodo di Istana Merdeka, Jakarta, pada pertengahan Juni lalu.
Herman Wahyudi, ahli geoteknik dari Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya, mengatakan struktur jaring laba-laba merupakan tipe fondasi dangkal yang sangat kuat dan kokoh. "Kekuatannya mirip dengan fondasi dalam yang biasanya menggunakan tiang pancang," ucapnya.
Saat dibangun di atas tanah dengan kondisi buruk, teknologi ini lebih unggul dibanding fondasi beton konvensional. Sebab, fondasi beton konvensional biasanya dibuat dengan beton tebal bertulang. "Masalahnya, model ini tidak memiliki sokongan lempeng pengaku di bawahnya," ujarnya.
Hasil riset menunjukkan bahwa teknologi fondasi jaring laba-laba, selain dapat diaplikasikan pada struktur jalan, bisa digunakan untuk landasan pacu ataupun apron di bandar udara. Menurut Kris, fondasi Jalla disiapkan untuk menahan beban hingga 50 ton. "Sudah diuji pula dengan beban hingga 100 ton."
Fondasi Jalla dirancang untuk membangun jalan di daerah dengan kondisi tanah ekstrem, seperti ekspansif, berawa, atau lahan gambut. Biaya pembangunannya 20 persen lebih mahal daripada metode beton konvensional tapi lebih tahan lama. "Jalan yang pakai cor biasa paling bertahan dua tahun. Sedangkan fondasi Jalla bisa 20 tahun," ucap Kris.
Rahasia struktur jaring laba-laba lebih kuat ada pada lempeng pengaku dan pelat beton lantai yang lebih luas. Dalam struktur ini, panjang pelat penutup tak terputus hingga 150 meter. Hal ini berbeda dengan lempeng penutup jalan beton konvensional, yang biasanya memiliki sambungan setiap enam meter. "Konstruksi Jalla sangat kaku, jadi tak mudah patah," ujar Herman.
Pemasangan fondasi jaring laba-laba harus dikombinasikan dengan perbaikan tanah lebih dulu jika area yang hendak dipasangi struktur itu kondisinya sangat buruk. Jenis tanah ini termasuk wilayah rawa berlumpur dan gambut. Jenis tanah ekspansif juga harus diperbaiki dulu agar menjadi padat. Gunanya untuk memperkecil risiko penurunan tanah.
Penurunan tanah adalah masalah yang biasa terjadi. Fondasi dangkal pasti menghadapi masalah ini. Penurunan tanah harus diperhitungkan dalam perencanaan pembangunan jalan. Bila penurunannya tidak merata, jalanan bisa retak. "Bangunan di sekitar jalan yang turun bisa retak karena terdorong," kata Herman.
Menurut Herman, jalur pantura dapat diperbaiki dengan membangun jalan yang stabil dan mampu bertahan untuk jangka panjang. Beban yang harus ditanggung jalur pantura sudah berlebih. Apalagi jalan ini tak dirancang untuk beban seberat sekarang. "Ibarat sebuah meja yang didesain untuk menahan beban dua orang dewasa, ternyata dinaiki oleh delapan orang. Pasti ambruk," ujarnya.
Wajar bila biaya pembangunan jalur pantura menjadi lebih mahal demi mengejar kualitas lebih baik. "Kalau tanahnya jelek, ya, diperbaiki dulu," kata Herman. Meski begitu, tak seluruh jalur pantura harus menggunakan fondasi jaring laba-laba. Untuk tanah yang sudah padat bisa memakai metode konvensional. "Dikombinasikan saja dan sesekali bisa pakai fondasi Jalla supaya lebih awet."
Gabriel Wahyu Titiyoga, Sujatmiko (Bojonegoro)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo