Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

Tiga Anak Panah dan Satu Pandiangan

Sebuah upaya berkisah tentang tiga atlet panahan yang pertama kali meletakkan nama Indonesia di dunia Olimpiade.

1 Agustus 2016 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BEGINI. Fokuskan mata kita seperti halnya Nurfitriyana Saiman berkonsentrasi mengarahkan anak panahnya pada sasaran. Targetkan tontonan kita pada Reza Rahadian, Tara Basro, Donny Damara, dan bahkan Indra Birowo, yang sesekali muncul. Nah, Anda akan menyaksikan film ini dengan aman karena mereka aktor dan aktris yang jarang mengecewakan.

Chelsea Islan, yang biasanya tampil agak "heboh" dalam film lain, ternyata di tangan sutradara baru ini jadi lumayan mengasyikkan, asalkan kita melupakan cara Chelsea mengucapkan "matek aku" yang repetitif itu.

Film ini memang bukan film olahraga semacam Garuda di Dadaku (Ifa Isfansyah, 2009), King (Ari Sihasale, 2009), Tendangan dari Langit (Hanung Bramantyo, 2010), dan Cahaya dari Timur (Angga Dwimas Sasongko, 2014), tapi lebih menceritakan drama persiapan tiga pemanah, Nurfitriyana Saiman, Lilies Handayani, dan Kusuma Wardhani, menuju Olimpiade Seoul, Korea, 1988. Panahan sebetulnya cabang olahraga yang tak mudah mengangkat emosi penonton, termasuk penonton di lapangan yang menyaksikan secara langsung—karena ini bukan olahraga ribut-ribut, ramai-ramai, dan heboh seperti sepak bola.

Ini olahraga yang sebetulnya sangat soliter, membutuhkan konsentrasi dan suasana diam dalam diri sang atlet agar anak panah menuju target. Kalaupun para srikandi atau para arjuna (bagi pemanah pria) sudah melepaskan anak panah, kita tak langsung bisa jingkrak, karena akan ada proses para juri menghitung dan menentukan pemenang. Dengan kata lain, jeritan kemenangan harus ditunda.

Maka tak mengherankan jika film ini lebih didominasi cerita persiapan, drama di dalam pelatnas, dan drama keluarga ketiga atlet. Tapi apakah betul ketiga atlet itu memang memiliki orang tua yang tidak mendukung kegiatan keren putrinya seperti yang digambarkan dalam film? Sulit untuk saya mempercayai itu, bukan hanya karena keluarga Indonesia umumnya justru sangat bangga jika anak-anaknya jagoan olahraga, tapi alasan-alasan yang dikemukakan tidak meyakinkan. Tentu ini tahun 1980-an ketika beberapa keluarga masih suka menjodoh-jodohkan anaknya dengan pria yang "menjamin masa depan", tapi drama ayah Yana melempar medali ke lantai? Buang saja, Mas Bro. Ini berlebihan.

Sutradara Iman Brotoseno mengatakan kepada wartawan bahwa film ini terdiri atas 70 persen kisah nyata dan 30 persen fiksi. Itu tentu harus dipahami karena ini memang film layar lebar, bukan dokumenter, tapi tantangan ketiga atlet tersebut bisa lebih kreatif daripada persoalan orang tua versus anak (apalagi ketiga atlet itu malah kepingin mengharumkan nama bangsa, lho).

Seperti saya katakan tadi, kalau kita berfokus pada seni peran beberapa pemain dan sesekali lagu-lagu 1980-an yang membuat penonton angkatan "sepuh" jadi merasa muda kembali, kita aman. Bahkan adegan-adegan mereka berlatih pun masih asyik ditonton, dengan Chelsea Islan dan Indra Birowo sebagai comedy relief. Bahkan kostum tahun 1988—yang astaga betul penampilannya—dipenuhi dengan baik. Poster Onky Alexander atau lagu Astaga Ruth Sahanaya adalah hal kecil yang perlu dihargai sebagai ketelitian sutradara.

Sayang sekali, justru ketika kamera menyorot kehidupan keluarga mereka (yang premisnya tidak meyakinkan) atau justru ketika acara puncak pertandingan, energi terasa melorot. Film-film yang melibatkan pertandingan, zero to hero, ketika si negara kecil ternyata tampil melawan si raksasa besar sebetulnya menarik dan adegan-adegan itu bisa dijelajahi dengan asyik. Tapi sineas film memilih jalan pintas. Si Goliath Amerika menyenggol si kecil Indonesia hingga jatuh. Secara visual, pada akhir film kita juga tak teryakinkan apakah itu memang Olimpiade di Seoul atau di Senayan. Meski lokasi syuting tak penting karena ini dunia rekaan, kami—para penonton—harus diyakinkan bahwa gambar di depan itu memang benar sebuah adegan puncak: Olimpiade di Seoul 1988.

Jika kita ingin mengambil hikmah film ini, paling tidak kita tahu betapa menyedihkan situasi dan kondisi infrastruktur olahraga kita dan betapa hebatnya trio srikandi itu bisa menyambar medali perak dalam situasi kita yang serba minim. Hal lain: arahkan anak panah kita pada para pemain saja. Mereka tampil bagus.

Leila S. Chudori

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus