TAK mudah menentukan mutu sake. Penilaian kualitas minuman beralkohol khas Jepang itu selama berabad-abad menjadi monopoli juru cicip yang cuma mengandalkan lidah dan hidungnya. Pelbagai alat tes elektronik, bahkan dilengkapi dengan komputer, gagal menggantikan peran tukang cicip. Sebab, tak jelas betul unsur fisik dan kimia apa yang menentukan cita rasanya. Baru belakangan muncul alat elektronik yang bisa menggantikannya. Alat tes ini lebih sederhana, cara kerjanya berbeda dengan komputer. Dia mampu mewarisi kepintaran para ahli cicip sake. Alat ini bekerja berdasarkan teknologi artificial neural network alias jaringan saraf tiruan (JST). Diam-diam teknik JST ini telah lima tahun diadopsi di ITB. Lewat sebuah lokakarya di Kampus Ganesha Bandung dua pekan lalu, program saraf tiruan ITB itu dievaluasi oleh belasan perancang sistem komputer yang berminat pada jaringan saraf buatan. Hasilnya adalah sebuah optimisme, bahwa teknologi JST bisa dibangkitkan di Indonesia. Yang telah dilakukan di ITB memang baru eksperimen-eksperimen sederhana. Pada salah satu sudut ruangan laboratorium JST ITB, tampak sebuah motor butut yang diputar oleh arus listrik. Lantaran kondisinya yang sudah rombeng, kecepatan putarannya pun tak beraturan, kendati pasokan arusnya stabil. Sistem JST yang dirancang di laboratorium ITB itu diberi tugas mengontrol putaran mesin. Dan nyatanya "saraf-saraf" elektronik bikinan Bandung ini lumayan pintar. Instruksi untuk memutar motor pada pelbagai kecepatan bisa dilayani dengan memainkan arus listrik yang masuk. Semua itu dilakukan tanpa harus dilengkapi program rumit, sebagaimana yang biasa diminta komputer. "Ini kelebihan JST dibanding komputer," kata Hakim A. Dairi, salah seorang dosen ITB yang meneliti JST. Jaringan saraf tiruan itu memang dirancang dengan konsep yang berbeda dari komputer. JST, menurut Dairi, merupakan rangkaian komponen elektronik yang bekerja seperti jaringan saraf pada otak manusia. "Kepintarannya tak diperoleh dari program, melainkan dari hasil latihan," tutur dosen muda elektro yang pernah belajar teknik di Jepang itu. "Semakin berpengalaman, dia makin pintar," tambahnya. Memang, seperti halnya komputer, JST memerlukan komponen yang berfungsi sebagai otak, yaitu prosesor alias chip. Tapi prosesor pada JST jauh lebih sederhana, cuma memiliki unsur pengali, penjumlah, dan pembangun fungsi aktifasi. Sedangkan prosesor komputer memiliki unsur yang jauh lebih besar dan kompleks dengan kapasitas jutaan kali dalam pengolahan data informasi, katimbang chip pada JST. Komputer, tutur Dairi, punya spesialisasi mengolah data informasi yang deterministik, yang sudah pasti pola-polanya. Program komputer dirancang untuk membangun pola-pola itu. Maka, komputer mati angin bila dihadapkan pada pekerjaan seperti menilai mutu sake. Perbedaan sifat-sifat fisik dan kimia antara sake kualitas tinggi, sedang, dan rendah, tak jelas polanya. Hasil penilaian komputer sering tak sejalan dengan juru cicip profesional. Pekerjaan itu, menurut Dairi, lebih cocok diserahkan kepada perkakas yang punya kemampuan sebagai JST. Sensor-sensor dibuat untuk mengenali satu-dua sifat fisik dan kimia sake. Dan prosesor sederhana, model JST, dibikin untuk mengolah data itu. Berikutnya, alat tes itu disuruh belajar kepada para ahli cicip sake. Cara belajarnya sederhana. Sampel sake diambil, dan sensor-sensor pengindera itu dipekerjakan mengenali aroma dan rasa minumuman keras yang menjadi sasaran pencicipannya. Pada saat yang sama, beberapa juru cicip berpengalaman dimintai penilaianya. Hasil penilaian para juru cicip itu lantas digunakan sebagai bahan masukan untuk alat tes itu. Dengan cara ini, si alat mengalami proses belajar, walau tanpa program khusus. Semakin banyak dia menerima pelajaran, alat itu akan kian tangkas menilai. Tentu saja, pemanfaatan jaringan saraf tiruan itu tak cuma untuk menilai sake atau minuman lainnya. Perangkat JST ini bisa dilatih pula untuk mengenali suara orang atau bentuk benda. Pintu-pintu canggih di kantor penting di Amerika yang bisa membuka-tutup dengan perintah suara lewat JST itu, kabarnya, mulai digemari. Rudal Patriot yang berjaya di Perang Teluk tempo hari, konon, dibekali dengan instrumen JST itu agar bisa mengenali dengan baik bentuk rudal Scud Irak yang menjadi sasarannya. JST ini banyak dipakai pula untuk pembuatan robot. Konsep JST sendiri sebetulnya sama tuanya dengan konsep komputer, muncul pada awal dasawarsa 1940. Tapi dalam perkembangannya, JST kalah populer dengan komputer yang praktis kegunaannya. Munculnya konsep kecerdasan buatan, artificial intelligent (AI), pada tahun 1960-an makin menenggelamkan JST. Namun, nyatanya AI, yang memakai pendekatan psikologis dalam pemecahan masalah, tak terlalu berhasil di lapangan. Pemakaian AI masih sangat terbatas. Kesempatan ini pula yang mendorong bangkitnya kembali JST pada pertengahan 1980-an. Di ITB kehadiran teknologi JST ini masih terasa langka. Sejauh ini, baru ada tujuh makalah, sebuah laporan teknis, dan dua perangkat keras, yang lahir dari laboratorium JST ITB. Putut Trihusodo dan Ida Farida (Bandung)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini