GELAR sarjana bisa dibeli. Tapi gelar itu juga bisa mengantar pembelinya ke polisi. Ini yang dialami tiga wakil rektor Universitas Asia Pasifik, Bandung. Tiga petinggi universitas itu adalah Drs Dudung Abdullah Iskandar SH, Drs Machmud Fauzi SH, dan Drs Wahyu Asmara. Ketiganya ditangkap polisi Bandung Rabu pekan lalu karena tuduhan kasus gelar palsu yang didapatnya dari Universitas Dipati Ukur (Unidu), Bandung. Machmud Fauzi misalnya, menurut pengakuannya kepada polisi, mendapat dua gelar (Drs dan SH) setelah membayar Rp 700 ribu kepada Karjani Akbar, Dekan Fakultas Hukum Unidu. Sedangkan Dudung, lulusan IAIN Sunan Gunungjati Cirebon 1976, dengan "salam tempel" Rp 50 ribu mendapat tambahan gelar SH. Semula polisi menangkap tiga wakil rektor itu hanya dikaitkan dengan kasus "bisnis gelar" oleh Unidu. Kebetulan Unidu sedang diusut karena tak punya izin, tak punya kampus, dan tak pernah pula melakukan kegiatan akademik, tapi menerbitkan ijazah sarjana. Rektor Unidu Prof Dr KH Jailani Sitohang dan Dekan Fakultas Hukum Karjani lebih dulu diperiksa polisi (TEMPO 28 November 1992). Ketika menyidik Unidu itulah polisi Bandung mendapat "hasil sampingan" yaitu membongkar perguruan tinggi lain yang juga tergolong "fiktif", yakni Universitas Asia Pasifik (Unaspa) tadi. Kebetulan, menurut polisi, Karjani Akbar sendiri adalah rektornya. Dari hasil pemeriksaan sementara, Unaspa sama saja dengan Unidu: tanpa izin. "Kami sudah cek, ternyata universitas itu memang tak punya izin," kata seorang penyidik. Koordinator Kopertis Wilayah IV, yang membawahkan perguruan tinggi swasta Jawa Barat, Djuanda Suraatmadja kepada TEMPO juga membenarkan bahwa Unaspa belum mengajukan permohonan akreditasi. Padahal ini menjadi syarat berdirinya sebuah perguruan tinggi. Bedanya, Unaspa punya kampus, walau "mini". Unaspa, yang didirikan tahun lalu, punya tujuh fakultas: Hukum, Ekonomi, Dakwah, Tarbiyah, Pangan dan Gizi, Kesehatan Masyarakat, plus Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan. Uniknya, perguruan yang tengah memasuki semester tiga itu hanya punya satu ruang kuliah berukuran 3 x 5 meter dan satu kamar untuk kantor. Bayangkan bagaimana 139 mahasiswa dari tujuh fakultas itu bisa kuliah di ruang seukuran kamar kos seorang mahasiswa, yang disewanya di kompleks SMP-SMA Alhadi di Jalan Achmad Yani. Menurut pemeriksaan polisi, usaha Unaspa menjaring mahasiswa pun unik. Sasarannya adalah lulusan SMTA yang tak lulus ujian masuk perguruan tinggi negeri. Unaspa mengirim surat panggilan kepada calon mahasiswa yang barusan gagal masuk perguruan tinggi negeri. "Kami memanggil Saudara untuk mendaftarkan diri ke salah satu fakultas (dapat memilih) yang ada pada Universitas Asia Pasifik Bandung untuk tahun akademik 1992/1993," demikian isi surat itu. Tak ada tes masuk. Uang kuliah tiap semester sekitar Rp 240 ribu. Dari gambaran itu saja, kata Koordinator Kopertis Djuanda, sudah ketahuan universitas macam apa Unispa itu. Sebab, katanya lagi, untuk mendirikan sebuah universitas setidaknya harus punya tanah satu hektare, dosen tetap dan guru besar, dan kegiatan akademik yang jelas. Tambah lagi, kini beberapa pimpinan dan dosennya diperiksa karena "membeli" ijazah dari Unidu. Selain mengusut pimpinan Unaspa, polisi juga tengah mencari informasi tentang Prof Dr Achmad Djaeni Sedyautomo, yang disebut-sebut para tersangka dalam pemeriksaan adalah rektor universitas itu. "Kami tak yakin, posisi rektornya benar atau tidak," kata seorang pemeriksa di Polwiltabes Bandung. Sebab, sejak dua bulan lalu, yang tercatat sebagai rektor adalah Karjani Akbar. Kartu mahasiswa ditandatangani oleh Karjani. Itulah sebabnya pihak penyidik mempertanyakan nama Sedyautomo, ahli pangan dan gizi dari Universitas Indonesia. Sedyautomo kaget ketika dihubungi TEMPO. "Tidak benar, itu bohong," kata guru besar lulusan Columbia University ini membantah. "Dudung memang beberapa kali datang ke rumah menawarkan jabatan rektor dan dekan kepada saya," katanya, "tapi saya tolak, karena kesibukan saya di UI dan Trisakti." Makanya, ia mengancam akan menuntut mereka ke pengadilan. "Masak nama saya dipakai untuk penipuan," katanya. Dudung Iskandar, ketika ditemui TEMPO di kantor Polwiltabes Bandung, mengakui sedikitnya empat kali menemui Sedyautama di Jakarta. Maksudnya, memintanya menjadi rektor Unaspa. "Ia mengatakan, Insya Allah, bila ia sudah pensiun. Saya pikir itu sudah persetujuan. Maka, namanya saya cantumkan dalam leaflet dan surat panggilan mahasiswa," kata Dudung kepada TEMPO. Namun, soal Unaspa tanpa izin, itu dibantah Dudung. "Kami pernah memberitahukan Kopertis setahun lalu dan Kopertis mengirim surat 28 Agustus 1991. Saya pikir itu sudah lampu hijau," katanya. Untuk menghidupkan universitas itu Dudung, yang juga guru sejumlah SMA, mengaku modal awal Unaspa sebesar Rp 500 ribu keluar dari kantongnya. "Kalau diizinkan, kami akan terus, tapi kalau tidak, ya, bubar saja," katanya. Dan soal gelar SH seharga Rp 50 ribu itu ia siap mencopotnya. Unaspa memang belum menghasilkan sarjana dan belum terbukti bakal "bisnis gelar". Tuduhan utama kepada Unaspa adalah tak punya izin. Maka Dirjen Pendidikan Tinggi Sukadji Ranuwihardjo, dalam keterangannya tentang universitas "bohong-bohongan", pekan lalu lantas mengumumkan bahwa ijazah yang dikeluarkan universitas semacam itu tak berlaku. "Jika ada yang menggunakannya, berarti melakukan tindak pidana," katanya. Agus Basri dan Ahmad Taufik (Bandung)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini