DEREGULASI perbankan bukan hal yang baru bagi Indonesia saja, juga bagi AS dan Jepang. Di kedua negara itu perbankan masih mengalami gejolak setelah dilakukan deregulasi. Puluhan bank di AS sudah berjatuhan karena deregulasi. Dan tiap hari lebih dari satu bank di AS bangkrut. Pembayar pajak di AS sudah mengeluarkan lebih dari US$ 3 milyar untuk membayar kerugian yang dialami nasabah bank-bank yang bangkrut ini. Penyelamatan bank-bank yang bangkrut sudah menjadi masalah nasional dan menyita banyak waktu Kongres dan pemerintah AS. Deregulasi perbankan mengharuskan perbankan melakukan transformasi yang tidak mudah. Peluang yang lebih makin terbuka, bertambahnya kebebasan untuk lebih banyak memprodusir produk keuangan, dan bertambahnya persaingan, telah membuka lahan baru yang belum dikenal, yang tidak semua bank bisa melakukan antisipasi yang tepat. Salah satu biaya yang harus dibayar adanya deregulasi perbankan adalah meningkatnya jumlah bank-bank yang tergelincir. Memang tidak semua deregulasi perbankan berdampak menyedihkan. Di Indonesia deregulasi perbankan telah memacu pertumbuhan industri keuangan dengan pesat. Aset bank-bank swasta tumbuh 49% setiap tahun setelah Pakto 1988. Sebelum Pakto, antara 1982-1988, pertumbuhan aset ini 36%. Aset bank-bank asing, pada waktu yang sama, pertumbuhannya meningkat dari 17% setiap tahun menjadi 43%. Jumlah dana yang dimobilisasi perbankan pada akhir 1988 baru mencapai Rp 38 trilyun. Tapi pada Juni 1992 dana yang dimobilisasi perbankan melonjak menjadi Rp 103 trilyun. Sampai April 1992 dana yang dikumpulkan bank-bank di Jakarta mencapai Rp 62 trilyun, atau tiga kali lipat Pendapatan Regional Bruto DKI Jaya. Ini menunjukkan bagaimana jumlah bank-bank membludak. Di Jakarta, tiap satu kantor bank untuk 7.000 penduduk. Bandingkan dengan Jawa Barat, di mana tiap kantor bank untuk 19.000 penduduk, dan di Lampung tiap kantor bank untuk 100.000 penduduk. Perkembangan perbankan tidak saja tercerminkan pada pertumbuhan kuantitatif, tapi di bidang produk kita juga melihat adanya diversifikasi. Berbagai bentuk tabungan ditawarkan kepada konsumen, paket-paket, kredit perumahan dan perusahaan juga sudah lebih banyak bervariasi. Bank-bank juga untuk pertama kalinya melakukan eksperimen dalam melakukan konsorsium. Tapi perkembangan kuantitatif yang positif ini ternyata dibarengi dengan berbagai perkembangan yang kemudian memberi banyak masalah. Pertama, munculnya persaingan yang tajam, menyebabkan bank-bank punya obsesi untuk merebut pangsa pasar dengan menawarkan kredit secara agresif, dengan harga dan syarat yang ringan. Kedua, dalam menetapkan "harga" ini (pricing the loan) bank-bank belum punya cukup pengalaman dan keahlian, karena selama ini mereka dimanja oleh adanya fasilitas kredit likuiditas Bank Indonesia. Ketiga, keadaan makro-ekonomi, setelah dilakukan kebijaksanaan kredit ketat, mengakibatkan kesulitan bagi banyak perusahaan yang mengurangi kemampuan mereka untuk membayar kembali utang dan bunganya. Hal ini terutama terjadi pada sektor properti, pembiayaan pembelian barang-barang konsumen, sektor-sektor nonmigas. Jumlah aset yang tidak menghasilkan (non-performing assets) bank-bank meningkat, yang tercermin pada meningkatnya rasio cadangan kerugian ini terhadap margin suku bunga (selisih antara penghasilan bunga dan ongkos bunga). Rasio ini meningkat dari 36% pada 1989 menjadi 48% pada 1991. Masalah lain yang mengganggu adalah adanya kenyataan bahwa banyak bank-bank dimiliki kelompok-kelompok perusahaan lain yang bergerak di bidang non-bank. Dengan keadaan seperti ini sulit untuk menghindari terjadinya pemusatan pinjaman kepada satu kelompok. Pengalaman di Amerika Latin, seperti dikemukakan oleh sebuah studi Bank Dunia, menunjukkan bahwa konsentrasi pemberian pinjaman kepada satu kelompok memperbesar risiko kebangkrutan bank sendiri. Bagi bank yang berada dalam satu kelompok perusahaan lain, penentuan pemberian pinjaman menghadapkannya dengan satu dilema. Kebutuhan dana oleh kelompoknya berarti satu pasar yang terjamin (captive market), yang kalau tidak diambil, akan diambil oleh bank-bank lain. Di lain pihak, penilaian objektif terhadap proyek-proyek yang diajukan kelompoknya sulit dilakukan. Yang dihasilkan akhirnya adalah sebuah kompromi, dalam bentuk keputusan pendanaan yang berisiko tinggi. Pemilikan bank oleh kelompok perusahaan lain memang tidak perlu dilarang dengan catatan adanya peraturan yang membatasi batas maksimal pinjaman kepada kelompoknya sendiri, dan bahwa bank sentral harus mengenakan sanksi yang keras terhadap pelanggaran. Di Indonesia risiko kebangkrutan sebuah bank diperbesar lagi dengan masalah yang terjadi pada mutu sumber daya manusianya. Setelah Pakto, dalam waktu tiga tahun jumlah kantor cabang bank-bank di seluruh Indonesia melonjak lebih dari empat kali menjadi hampir 2.700. Personel perbankan masih merupakan makhluk yang langka, dan karena itu perbankan mengalami kesulitan memenuhi jumlah cabang-cabangnya dengan personel yang ahli dan berpengalaman. Bisa dibayangkan bagaimana personel yang masih miskin pengalaman di bidang perbankan ini melakukan penilaian dan lalu pengawasan atas proyek-proyek yang dibiayainya. Kalau sekarang terlihat adanya kelemahan Bank Indonesia dalam melakukan pengawasan terhadap bank-bank, itu karena BI punya masalah yang sama. Sumber BI untuk melakukan pengawasan ini masih terbatas. Sebelum Pakto ada 111 bank dengan 1.700 kantor yang diawasi BI. Sekarang jumlah yang harus diawasi BI meledak menjadi 196 bank dengan 4.300 kantor cabang. Jumlah ini masih harus ditambah lagi dengan 13 LKBB, lebih dari 80 perusahaan "leasing", dan lebih dari 7.000 bank-bank desa termasuk BPR. Mampukah BI mengawasi ini semua? Wallahualam.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini